#7
Icha kembali berguling-guling di kasur milik sahabat nya. Rumah Jean sebagai basecamp ke dua mereka setelah kos Icha tentu nya.
"Tapi... kayaknya gw harus stop ngedeketin Dimas deh, Jen." ujar Icha tiba-tiba yang tentu saja menarik kepala Jean untuk langsung menatap nya.
"Gimana ya, Cha, kayaknya emang udah hukum alam kalau lo iya, gw enggak. Karena kemaren gw nyuruh lo mundur tapi lo maju, sekarang kasih gw penjelasan kenapa lo mau mundur jadi gw bisa nyuruh lo maju."
Tawanya lepas mendengar ucapan Jean. Kalau dipikir-pikir memang benar sih, mereka mana pernah tidak bertolak belakang tiap mengahadapi sesuatu.
"Dimas segitu cuek nya, gw jadi ambis banget buat naklukin dia. Tapi makin ke sini, apalagi setelah dia nganter gw balik dan nawarin pamit ke orang tua... Kayak nya ambisi gw ilang, udah jadi rasa suka beneran. Gw takut punya perasaan duluan. Nanti gw nya suka, sayang beneran, kan repot kalau kejebak di permainan sendiri."
Jean menghela napas nya. Ia yang sudah diusir Icha dari kasur nya sendiri kini duduk bersila di lantai. Awal nya sibuk dengan laptop yang tengah memutarkan lagu untuk mengisi keheningan ruangan, tapi ia lantas menekan tombol pause. Menyatakan keseriusan untuk membahas hal ini.
"Untuk pertama kali setelah sekian abad kita kenal, gw sepemikiran sama lo. Bahaya banget sih kalau lo beneran sayang, pasti lo yang sakit sendiri. Maksud gw tuh dari sisi manapun walaupun kita anggap lo dan Dimas pacaran, nggak akan mungkin hubungan kalian bisa lanjut. Dari umur, latar belakang keluarga, pendidikan, nggak akan cocok. Gw bukan nya mau ngerendahin lo, tapi emang gitu kenyataannya kan."
Untuk beberapa saat Icha terdiam mendengarkan Jean, tapi saat ia menunjukkan cengiran nya, Jean tau mereka sudah kembali memiliki dua pendapat yang berbeda. "Ah udah terlanjur. Nanggung banget udah segini jauh, malah mundur sekarang. Gw ga bakal baper beneran, ini mungkin cuma ngerasa respect aja ada cowok yang mau tanggung jawab. Pulangin anak gadis ke orang tua nya. Gw lanjut ah." putus Icha memaksudkan niat nya hari ini untuk menghampiri Dimas akan tetap ia laksanakan.
"Halah nanggung, ntar lo sakit hati gw yang nanggung." omel Jean tak suka dengan keputusan yang begitu mudah nya berubah.
"Ya anggep aja gw bisa sekalian nyariin jodoh lo lewat Dimas. Tenang, seorang Icha nggak bakal kalah sama Dimas."
Jean mengedikkan bahu nya bodo amat. Ingin menyatakan tak mau ikut campur kalau Icha jadi menangis-nangis setelah Dimas meninggalkan nya, tapi tak bisa juga. Mana mungkin Jean tak peduli melihat Icha sedih sedikit. "Jadi hari ini lo lanjut nyamperin dia lagi? Tiga minggu berturut-turut, ngacauin kerjaan orang."
"Lanjut lah." Icha lalu bangkit dan mendekati cermin untuk memastikan penampilan nya.
"Lo gak bawain apa-apa sekarang?" mengingat sebelum-sebelum nya Icha selalu membawa sesuatu setidaknya sebagai alasan.
"Bawa."
"Apaan?"
"Hati gw," jawab Icha sekena nya lalu tertawa. Ia segera berlari keluar sebelum bantal-bantal di kamar Jean menimpuk nya.
*
"Kak Dimas!" panggil Icha sok akrab ketika melihat Dimas di lobby.
Dimas yang sudah mengenali suara itu pun tak acuh dan tetap melanjutkan jalan nya menuju lift.
"Kak Dimas tumben baru dateng ke kantor jam segini," basa-basi Icha setelah berhasil mengejar dan menyamakan langkah nya dengan Dimas.
"Tau apa kamu soal kebiasaan saya?" tanya Dimas tanpa menolehkan kepala nya dan memasuki lift. Tentu diikuti Icha.
Gadis itu hanya diam selama mereka berada di lift berhubung ada pegawai lain di sana. Ia terus mengekor Dimas yang didampingi sekretaris nya menuju ruangan. Dan dengan santai, Icha ikut masuk saat sekretaris Dimas membukakan pintu.
"Siapa yang mengizinkan kamu masuk?"
"Gak ada... tapi kan minggu kemarin Kak Dimas udah Icha tolongin, sekarang Kak Dimas yang tolongin Icha belajar fotografi. Ini kan jam istirahat, Kak, boleh ya ajarin?" pinta Icha tak memedulikan sekretaris Dimas yang menatap nya tak suka.
"Tugas Pak Dimas cukup banyak tanpa tambahan interupsi kamu. Jangan ganggu jadwal pekerjaan nya." Sekretaris itu akhirnya membentak Icha yang memang amat pantas untuk dibentak. Sekalian diusir bahkan lebih pas, tapi ya bagaimana, hama seperti Icha tidak mudah dibasmi.
"Gini loh, mbak, kita tuh lahir beda jaman. Saya mesti berjuang segala cara kalau mau dapetin doi apalagi Kak Dimas. Nggak bisa pake sistem jaman lahir mbak nya. Jaman Siti Nurbaya gitu." balas Icha asal jeplak, yang entah juga apa hubungannya. "Nah sekarang saya lagi berjuang nih, jangan dipersulit dong. Kak Dimas aja udah sering ngomel, nggak usah dibantuin ngomel lagi."
Dimas tersenyum samar mendengar tanggapan jujur sekaligus konyol gadis SMA ini.
Apalagi dengan cengiran tak merasa bersalah Icha teguh menyelip melewati blokade si sekretaris. "Kamu masih sekolah tapi sibuk ngejar-ngejar cowok."
"Cukup, Rina, kamu bisa melanjutkan pekerjaan kamu." perintah Dimas pada akhirnya sebelum perdebatan terus berlanjut.
Icha tersenyum penuh kemenangan menyadari dukungan yang diterima nya. Langsung saja ia membahas hal lain demi memanfaatkan tiap detik yang didapat. "Kak, tadi Icha cobain pakai manual-"
"Kamu jangan berisik kalau nggak mau saya usir keluar juga," potong Dimas tanpa mengalihkan tatapan dari monitor nya.
Senyum Icha semakin mengembang.
Berarti gw boleh terus nemenin Dimas dong mulai sekarang!
Icha memilih duduk di sofa seperti sebelum nya. Tak berselang lama suara ketukan pintu mengalihkan perhatian kedua orang yang ada dalam ruangan. Icha hanya bisa berharap ini bukan tamu Dimas yang akan mengerjainya lagi.
"Masuk," perintah Dimas seketika.
Dari balik pintu menampilkan pria yang sepertinya merupakan asisten pribadi Dimas dengan sebuah nampan terisi di tangan nya.
"Ini pesenan nya, Den."
"Tolong taruh di meja aja, Pak. Oh iya, Eve di rumah?"
Pria itu meletakkan nampan yang berisi paperbag kopi berukuran kecil dan cangkir di meja. Mengangguk sopan pada Icha yang jadi terkejut karena lebih masuk akal memperkirakan tatapan tak bersahabat yang dilayangkan.
"Non Eve di rumah nya. Den Bryan kata nya harus lembur besok. Jadi besok pagi dianter ke rumah lagi."
"Eve udah mau persalinan tapi Bryan masih ngambil lembur?" ujar Dimas tak membutuhkan jawaban siapa-siapa.
"Ini kopi nya nggak mau dibikinin sekalian, den?"
"Nggak usah, Pak. Ayah juga lagi minta tolong Pak Rahman kan? Yang ini saya bisa sendiri, Pak Rahman ke Ayah aja. Terimakasih ya, Pak."
Pria itu membungkuk hormat lalu keluar dari ruangan tersebut.
"Icha yang bikinin kopi nya ya, Kak?"
"Saya nggak yakin kamu bisa bedain gula dan garam."
Icha berdecak sebal mendengar nya. Dimas bangga sekali menyatakan bahwa ia tak menyentuh makanan buatan Icha kemarin. Padahal Icha yakin makanan itu enak, atau setidak nya terjamin lah Dimas tetap hidup setelah memakan nya.
"Kan Icha bilang, Icha tuh anak kos. Nggak ada yang nggak bisa." ujar nya memuji diri sendiri dan berjalan keluar ruangan membawa nampan. Menuju pantry untuk membuat kopi itu.
Sebenarnya ia agak heran sih, jika Dimas suka kopi, seharus nya mesin ekspreso akan tersedia di ruangan nya sendiri. Kebanyakan pemimpin perusahaan setau Icha seperti itu. Ya mungkin saja Dimas lebih suka merepotkan orang, tak apa lah.
"E to the nak ba to the nget. Enak banget pasti, Kak." ucap Icha masih saja percaya diri sekembalinya ia ke ruangan Dimas. "Aku sih nggak gitu suka minuman kalau nggak pake es-"
"Saya nggak peduli," selak Dimas kejam.
Icha yang masih berdiri di samping meja Dimas karena baru meletakkan cangkir kopi itu mendelik tajam. "Iya, sama-sama, Kak." ujar nya penuh penekanan pada tiap kata seolah celetukan Dimas tadi adalah apresiasi atas bantuan nya.
Karena tak ada tanda-tanda Dimas akan bergerak meraih kopi buatan nya selama ia masih berdiri di sana, Icha kembali menempati sofa.
"Enak kan, Kak?" serang Icha semangat begitu Dimas menyesap kopi buatan nya.
Tak ada jawaban.
"Kan, kan, kan? Enak kan, Kak?" cecar Icha lagi.
"Hm." Hanya satu dehaman yang berhasil membuat Icha senang bukan kepalang. Rasa nya kupu-kupu berterbangan dari perut nya. Tanpa malu pun Icha menyuarakan senang nya ia akan tanggapan Dimas.
"Kan. Emang dasar nya Icha tuh jago." lanjut nya masih memuji diri sendiri.
Siap-siap Jean waktu nya disita Icha untuk pamer atas hal ini.
