Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

#6

Gadis itu tak lagi meringsut ke sofa. Begitu pintu ruangan Dimas tertutup, ia langsung saja berjongkok di lantai untuk menghilangkan kelelahan dan napas terengah-engah nya.

Tak begitu lama, Dimas kembali memasuki ruangan. Ia langsung menatap Icha atau tidak, entah Icha tak tau. Gadis itu sibuk menghapus keringat di wajah nya dengan tissue yang kebetulan saja tersedia dalam tas nya. Biasa juga tas hanya berisi HP, charger, earphone, dan uang -kalau ada.

"Tamu nya Kak Dimas jahat banget sih. Dikira aku atlet marathon apa? Lari-larian bolak-balik cuma untuk ngingetin kalau berkas nya udah dibawa."

Bertolak belakang seratus delapan puluh derajat dengan sikap tak acuhnya sebelum ini, Dimas kini menanggapi walaupun tak positif. "Salah kamu ngaku-ngaku karyawan magang."

Icha mengalihkan pandangannya pada Dimas dan berdiri seolah ingin menyamakan tinggi, padahal jelas-jelas Icha paling tinggi hanya sebahu laki-laki itu. "Jadi salah aku gitu karena udah kasih jawaban paling aman, saat Kak Dimas aku tanya malah nggak jawab." omel gadis itu sudah lupa jika keberadaan nya di sini adalah untuk mendekati Dimas, bukan untuk mengibarkan bendera perang.

"Ya kalau nggak mau disalahin, pergi aja. Nggak ada yang nahan kamu juga."

Icha berdecak dan kembali manyun, melangkahkan kaki nya ke sofa walaupun tidak dipersilahkan. "Orang capek bukan nya ditawarin minum malah diusir."

Dimas tak menanggapi omelan gadis yang  mengaku lelah tapi kini sudah bercerita secara rinci bagaimana perjalanan nya mengambil berkas yang diperintahkan. Ia kembali ke meja nya, mengurungkan niat lembur yang selalu saja gagal tiap mahluk ini muncul, dan membereskan peralatan kerja milik nya.

"Saya mau pulang, terserah kamu mau apa."

"Mau ikut!" tanggap Icha bodoh yang untung nya tak perlu waktu lama untuk segera ia revisi.

Icha ikut berdiri. "Maksudnya anterin Icha pulang juga ya, Kak? Aku nggak bawa motor makanya tadi juga lari-lari. Please..."

Dimas tak menanggapi, ia hanya berjalan melewati Icha. Icha tak tau harus senang atau sedih karena Dimas tak kunjung menjawab permintaan nya.

"Udah mau malem, Kak. Icha juga capek banget lari-lari, nggak kuat lagi berdiri nunggu ojek. Nanti kalau Icha pingsan-"

"Iya, kamu pulang sama saya, tapi berhenti bicara." ujar Dimas singkat, padat, dan jelas sebelum membuka pintu dan keluar dari ruangan.

Secepat mungkin Icha berusaha menahan mulut nya agar tak terus bercerocos dan terutama memekik saking senang nya.

Dari ruangan Dimas hingga parkiran, Icha dibayangi tatapan penasaran dari pegawai kantor yang sudah cukup terganggu dengan bolak-balik nya beberapa menit lalu.

Icha memasuki mobil dengan senyum mengembang. Tak bisa menahan mulut nya, mungkin karena segini puas nya memenuhi ambisi. Selama perjalanan, ancaman Dimas untuk Icha berhenti bicara sepertinya tak berlaku. Icha bisa bebas menyuarakan bagaimana senang nya ia sekarang, dan mulai membeberkan berbagai alasan atas hal itu. Tapi seperti biasa juga, Dimas tak menanggapi. Hanya diam, tanpa bisa dipastikan menyimak atau malah merutuki keputusan nya untuk berbaik hati.

Ucapan Icha akhirnya terinterupsi sejenak oleh dering telepon pada ponsel Dimas. Laki-laki di samping nya itu lebih dulu melihat siapa penelepon dan segera mengangkatnya.

"Ada apa?"

"..."

"Kamu tau junkfood nggak baik buat kandungan kamu. Kak Di nggak mau beli."

Icha dapat mendengar rengekan seseorang dari sebrang telepon setelah penolakan Dimas.

Dimas menghela napasnya. "Vee..."

"..."

"Kalau Bryan tau pasti kamu kena omel. Yaudah Kakak beliin. Tunggu, mungkin 20 menit."

"..."

"Iya-iya, 15 menit, sayang."

Icha menegang saat mendengar panggilan Dimas untuk lawan bicaranya, yang dapat disimpulkan merupakan Eve -adik perempuan nya. Ia merutuk diri yang kala itu menatap sinis pada adik kesayangan pria dingin ini.

Sesuai perintah, Dimas menolakkan mobil menuju salah satu restoran cepat saji. Ia memesan makanan secara drivethru agar tak banyak membuang waktu.

Dimas memesan satu cheeseburger dan satu milkshake coklat. Icha tertawa dalam hati. Belom gajian kali yak, buat adek kesayangan aja dibeliin satu doang, batin Icha tengil.

"Pelit amat, Kak, buat adek nya aja dikasih satu doang," ucap Icha setelah Dimas selesai memesan.

Dimas yang biasanya mengacuhkan ucapan-ucapan Icha, kali ini mengalihkan pandangannya. "Kamu tau apa soal adik saya?" tanyanya dingin.

Jantung Icha berdegup lebih kencang setelah menyadari ucapan nya. Seharusnya ia menghindari pembahasan seperti ini.

"Um... Icha tau nya Kak Eve lagi hamil. Pasti jadi ngidam ini-itu, Kak."

Dimas mendengus sinis. "Apa sejak SD bersekolah di FD belum cukup membuat kamu seenggaknya tau pengetahuan dasar? Junkfood itu nggak baik, apalagi untuk ibu hamil."

Eh- Dimas mendengarkan kala ia bercerita sudah bersekolah di FD sejak SD?

Icha meringis menanggapi jawaban ala pak dokter itu. "Iya sih, Kak. Tapi kan kali ini Kak Eve lagi ngidam. Nggak apa-apa lah sekali-kali. Manjain selagi Kak Dimas bisa manjain, abis ini Kak Eve bakal lebih fokus sama keluarga kecil nya."

Dimas diam mendengar penuturan gadis itu. Melihat diam nya Dimas, Icha jadi tak enak hati. Bukan urusan gagal untuk mendekati nya tapi Icha lebih memikirkan rasa tidak enak nya sudah membantah keputusan seorang Kakak untuk sang adik.

Icha kan juga seorang Kakak.

Nyatanya sikap diam Dimas itu hanya terjadi beberapa saat karena setelah mengambil pesanan, Dimas memberikan milkshake itu pada Icha.

Setelah argumentasi kecil tadi Icha tak langsung menyimpulkan maksud pemberian Dimas ini. Bisa saja ia cuma minta dipegangi sebentar.

"Buat kamu." klarifikasi Dimas karena gadis di sebelahnya ini masih membeku seolah dingin nya milkshake menular ke tubuh nya.

Dan cepat sekali perubahan hati gadis itu. Saat tadi mengomel-omel di kantor, berceloteh tak henti karena senang ia ajak pulang bersama, terdiam bersalah setelah adu pendapat kecil tadi, sekarang ia sudah tanpa segan tersenyum lebar dan kembali berceloteh.

Dimas nampak nya menyesal sudah memberikan minum untuk membasuh tenggorokan gadis itu karena kini Icha makin tak bisa berhenti berbicara. Entah itu memuji Dimas yang membelikannya salah satu favoritnya, sampai membahas makanan favorit Dimas yang ia ketahui.

Lampu merah yang memperpanjang durasi ia terjebak dengan manusia paling berisik ini membuat Dimas berdecak. Sedikit sengaja agak keras agar Icha setidak nya sadar ia terganggu.

Nyata nya gadis ini samasekali tak berniat berhenti. Ia masih memamerkan senyum sumringah saat Dimas menengok, berniat menatap nya tajam untuk segera diam.

"Bisa nggak sih kehadiran kamu tuh nggak usah diiringi celotehan berisik yang menganggu. Mau kamu apa sebenarnya?"

Icha menengok, balik menatap Dimas yang kali ini memanfaatkan lampu merah untuk mengomelinya. "Mau... jadi pacar Kak Dimas." jawab nya tak sedikitpun ragu.

"Saya nggak mau." balas Dimas jahat, memutus kontak mata lebih dulu karena juga harus menjalankan mobil begitu lampu berubah hijau.

"Ya ini Icha lagi usaha biar Kak Dimas mau."

"Rumah kamu yang mana?" tanya Dimas jelas ingin mengalihkan topik. Sedangkan Icha sebisa mungkin menahan tawa nya, berhasil juga kan ia membuat seorang Dimas Cristian salah tingkah.

"Kos-kosan itu, Kak."

Dimas menghentikan mobil nya di tempat yang Icha tunjuk. "Perlu saya pamit ke orang tua kamu?"

Ritme jantung Icha berubah drastis mendengar pertanyaan Dimas. "Enggak perlu, Icha tinggal sendiri. Um... Makasih tumpangan nya. Sampai ketemu lagi, Prof." canda Icha menjadikan kalimat itu kebiasaan tiap mereka akan berpisah.

Penting yang namanya meninggalkan kesan! Teruntuk kalian yang sedang ingin PDKT, jangan lupakan tips dari Icha ini, oke!

Icha melepaskan seatbelt dan turun dari mobil.

"Hati-ha..." Icha tak melanjutkan ucapannya karena mobil yang langsung melesat. Ia tak kecewa sedikitpun, hari ini perkembangan pesat hubungannya dengan Dimas.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel