Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

#5

Sudah satu minggu, dan sudah saat nya Icha muncul lagi ke hadapan sang pujaan hati.

Hari Jumat ia pilih karena Dimas yang berada di kantor akan mengurangi kemungkinan nya bertemu manusia-manusia yang tak ingin ditemui nya.

Siapa? Tentu saja mantan-mantan Icha.

Bukan tidak mungkin mantan Icha yang berkuliah di FD akan makin membenci nya setelah tau tingkah tengil nya kali ini menjadikan rektor mereka sebagai incaran.

Jadi lebih baik Icha main aman.

Setelah mengabari Jean untuk datang saja ke kos nya karena mereka akan menyelesaikan tugas bersama sedangkan Icha harus menjalankan misi nya lebih dulu, ia berangkat ke kantor Dimas dengan ojek online. Motor kesayangan nya tengah diservice bulanan, itu juga yang menjadi alasan Jean yang berangkat ke kos Icha dan bukan sebaliknya.

Dengan percaya diri Icha memasuki kantor megah yang setaunya mengurus bidang farmasi dan kesehatan itu. Icha tak begitu panjang memikirkan urusan kantor ini karena akan lebih baik ia memikirkan bagaimana menyapa Dimas setelah melewati meja resepsionis dengan senyum sok penting.

Icha kini sudah ada di depan ruangan Dimas. Mengetuk pintu dan mendapat izin untuk masuk, Icha tersenyum manis kala Dimas menatap ke arahnya. Ah, pasti Dimas menyangka yang akan menghampirinya bukan titisan setan seperti ini.

"Hai, Kak-"

"Kenapa kamu ke sini lagi? Memang sejak kapan saya beri izin untuk datang tiap kamu mau?"

Icha melangkahkan kaki nya sedikit-sedikit memasuki ruangan dan menutup pintu. "Sejak... saat ini aja gimana, Kak?" tawar Icha seolah sarkasme Dimas tadi benar-benar berupa pertanyaan baik-baik.

Dimas pun tak menanggapi lagi penawaran konyol gadis itu. Ia kembali menghadap laptop yang dari pantulan kecil kacamata nya tengah menampilkan data yang apapun itu pasti Icha tak mengerti.

"Kamu harusnya udah hapal kalimat saya tiap kamu berdiri di ruang kerja saya lebih dari satu menit."

Icha berdecak kesal dalam hati, tidak mungkin belum apa-apa ia sudah diusir lagi. Sayang ongkos nya kalau begitu. Dengan nekat, Icha duduk di sofa yang ditata berhadapan dengan set nya di depan meja Dimas. "Apa ya? Icha nggak inget. Kayaknya Kak Dimas yang lebih inget detail tiap kita bareng."

Jijik banget ah, kesal Icha dalam hati. Merutuki mengapa mulutnya begitu mudah bergerak. Kini kan ia seolah memainkan peran sebagai wanita selingkuhan orang-orang besar perusahaan.

Dengan bodohnya Icha memukul dahinya pelan saat merutuk dalam hati. Cukup yakin Dimas tak akan menatap nya barang sekejap sehingga ia bebas berlaku bodoh di sana.

Nyata nya mungkin benar Dimas tak menatap nya, bukti nya laki-laki itu masih diam saat Icha kembali memutar otak untuk mengubah suasana. Suasana kaku yang hanya Icha rasakan karena Dimas sejak pertama mereka bertemu pun tak berminat banyak membuka mulut nya.

"Maksud nya Icha tuh... Icha juga inget, Kak. Kemarin Kak Dimas kan bilang cukup dua kali ganggu kerjaannya Kak Dimas, nah sekarang biar Icha bantuin."

Notifikasi pesan masuk ke laptop Dimas mengalihkan kebutuhan Icha akan jawaban. Ternyata juga Dimas yang sedikit mengernyit membaca pesan itu. Jika seperti ini bukan tidak mungkin Icha akan kena bentak Dimas lagi. Bisa saja pesan itu merupakan masalah baru pada pekerjaan nya atau kemungkinan tak menguntungkan lain.

"Saya punya tamu penting sekarang. Jadi kamu harus nya tau diri dan pergi-"

Ketukan di pintu menginterupsi titah panjang Dimas. Benar saja, yang Dimas sebut tamu penting itu sudah memunculkan dirinya. Terbukti dari Dimas yang lantas bangkit dari kursi nya dan menghampiri.

Tamunya setan atau gimana sih kok bisa muncul tiba-tiba padahal pesan nya baru masuk berapa detik yang lalu.

Icha yang juga spontan berdiri mengikut Dimas, kini menunduk hormat. Sedikit takut Dimas akan marah besar pada nya setelah ini.

Untuk beberapa saat Dimas dan tamu nya yang kelihatan cukup berumur itu berbincang saling bertukar kabar. Icha perlahan bergeser dari tempat nya duduk tadi karena sebagai siapapun ia dikenalkan Dimas pada tamu nya itu, pasti tidak lebih pantas untuk tetap duduk dibanding sang tamu.

"Dan ini sekretaris mu juga, Dimas? Muda sekali."

Nyatanya Dimas tak repot-repot menyebut keberadaan nya karena jelas sang tamu menebak-nebak siapakah Icha. Icha menatap Dimas sesaat, meminta persetujuan untuk mengangguk atau menggeleng. Tapi Dimas dengan jahat nya hanya diam, jadilah Icha yang panik menganggukan kepala nya.

"Seperti siswa SMA, usia berapa kamu?"

Icha dengan kagok menjawab, "Iya, Pak. Delapan belas tahun." Masalah nya Icha tak tau yang ia sebut Pak ini punya gelar tertentu seperti Dimas atau tidak, dan lebih sopan memanggilnya apa.

"Owh... anak magang ya?" simpulnya tanpa perlu lagi konfirmasi dari kedua belah pihak. "Kamu sedang mengerjakan tugas dari Dimas? Atau saya boleh minta tolong sekarang?"

Senyum nya terbentuk. Ya walaupun tidak yakin, setidak nya dengan label karyawan magang pasti tidak terlalu sulit tugas nya. Dan dengan membantu pasti Icha berkesempatan dapat citra baik di depan Dimas.

"Apa yang bisa saya bantu, Pak?" tanya Icha ramah.

"Mobil saya mogok di lampu merah dekat persimpangan sana. Kamu tau kan dimana?"

Icha mengangguk mantap, jika soal mobil mogok mah kecil bagi nya.

"Nah kamu tolong ke sana, minta berkas yang tertinggal pada supir saya. Mungkin bawa saja kartu nama Dimas, pasti supir saya langsung paham berkas yang mana."

Senyum Icha kian sempurna. Cuma ngambilin kertas, dan dapet kartu nama Dimas. Rejeki nomplok ini nama nya.

Dengan percaya diri, Icha tersenyum menatap Dimas yang memberikan kartu nama pada nya. Namun tak dapat waktu saling menatap begitu lama karena sang tamu penting itu meminta nya bergegas, berhubung hari kian sore.

Icha berlari menuju tempat yang disebutkan tadi. Lumayan sih jarak nya jika ditempuh dengan berjalan kaki. Sekitar sepuluh menit Icha berjalan cepat menuju lampu merah yang paling dekat dengan kantor Dimas. Benar saja, ia melihat mobil sedan mewah terparkir tak berdaya di bahu jalan.

Icha bergegas mendekat karena seperti nya sang supir baru saja menelepon derek untuk mobil yang gagal dinyalakan itu. Ia memperkenalkan diri dengan sopan terlebih dahulu dan menunjukkan kartu nama Dimas sebagai pembuktian.

Untung saja supir itu tak menanyakan nama bos nya karena Icha bahkan baru terpikir jika ia tak tau nama tamu Dimas itu siapa.

"Ah... mbak karyawan magang ya?" tanya supir itu membuat Icha mengernyitkan dahi.

"I... ya, memangnya kenapa ya, Pak?"

"Enggak-enggak. Berkasnya udah dibawa Bapak tadi. Udah nggak ada berkas apa-apa lagi di mobil."

Icha hanya ingin menangis jadinya. Dikira nggak capek apa bolak-balik lari-larian cuma buat ngabarin kalau berkas nya udah dia pegang.

"Beneran, Pak? Nggak perlu dicek lagi gitu di mobil siapa tau ada yang ketinggalan."

"Enggak, mbak. Beneran udah dibawa tadi."

Terpaksa Icha mengucapkan terimakasih dan kembali ke kantor dengan wajah tertekuk. Tapi ia masih harus bergerak cepat. Walaupun kembali dengan tangan kosong tetap saja perintah nya cepat, dan tujuan Icha kan pandangan Dimas terhadap nya.

Rencana Icha mengatur napas sebelum memasuki ruangan Dimas lantas gagal karena begitu ia keluar dari lift, dua orang yang memerintahkan nya bolak-balik itu sudah berdiri berniat meninggalkan ruangan Dimas.

Ia sebisa mungkin menyembunyikan napas putus-putusnya saat berdiri untuk melapor kembali.

"Maaf saya makan waktu cukup lama. Tapi supir Bapak bilang, berkas nya sudah ada bersama Bapak dan tidak ada yang tertinggal lagi di mobil."

Pria dengan rambut yang sedikit-sedikit dihiasi uban itu mengangguk maklum, "Iya-iya. Saya baru ingat saya titipkan berkasnya di resepsionis. Tapi terima kasih ya."

Anggukan diiringi senyuman yang Icha berikan saat bahkan isi otak nya adalah agar segera mengomel-omel kesal di sana.

Untung saja tamu Dimas memang sudah berencana meninggalkan tempat sehingga Icha bisa beralih masuk ke ruangan Dimas selama sang pemilik mengantarkan tamu nya.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel