Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

#4

"Lagi?!" pekik Jean tak percaya.

Beberapa hari lalu ia mendengar penjelasan rinci Icha soal pertemuannya dengan Dimas. Jauhnya amat sangat dari kata hangat. Namun Icha malah nekat menemui pria itu lagi.

"Lo minta diusir security beneran ya?"

"Dimas cuek banget, Jen. Gw makin sering ngebayangin nanti dia yang balik mohon-mohon biar gw stay sama dia."

"Idih najis. Lebih mungkin gw kawin sama alien daripada ngebayangin Dimas mau ama lo."

Icha mencebikkan bibirnya, "Alien udah masuk bumi, balik lagi deh Jen denger lo mau kawinin dia."

"Bodo amat," tanggap Jean sebagai rambu berhenti mendiskusikan hal yang baginya tidak akan berhasil ini.

"Ih, kali ini gw bawa kamera. Paling enggak kan ada alesan buat nemuin Dimas. Dimas jago fotografi juga kan."

Jean geleng-geleng dibuatnya. "Lo bebek ternekat sekaligus tertolol, Cha."

"Nama belakang gw tuh Swan, Jen, artinya angsa bukan bebek! Makanya gebet levelan Dimas biar pinter!"

Jean mengernyit mencibir. "Lo ngejar Dimas bukannya pinter malah makin bego."

"Frontal amat mbaknya." Icha terkekeh. "Gw duluan ya."

"Jangan balik kemaleman, gw nggak bisa nemenin."

"Siap, bos."

Dan Icha kali ini tak perlu lagi bersusah payah mencari ruangan rektor FD itu. Begitu turun dari motor, kakinya bisa dengan mudah membawanya ke pintu dengan papan nama dengan gelar paling panjang yang pernah Icha temui.

Icha mengetuk pintu dan menajamkan pendengarannya. Lebih hati-hati menanti izin memasuki ruangan agar tidak memberi Dimas alasan mengusirnya pergi di detik pertama.

Eh-

Tanpa soal memasuki ruangan sebelum izin juga Dimas punya ratusan alasan untuk mengusirnya di detik pertama.

Icha mengabaikan pemikiran yang entah kenapa bisa pintar itu. Masih setia menunggu izin dari dalam ruangan.

"Nyari Profesor Cristian?" tanya seseorang membuat Icha berbalik menghadapnya.

Icha mengangguk sebagai jawaban. "Bapak tau nggak Kak Dimas dimana?"

"Hari Jumat Prof Cristian nggak kontrol kampus. Coba cari ke kantornya aja kalau ada kepentingan."

Setelah anggukan tanda mengerti dan terima kasih, Icha melangkah kembali menghampiri motornya. Tetap tersenyum semangat walaupun ada sedikit keraguan atas dasar apa ia menemui Dimas jika saja ditanyakan oleh resepsionis kantor.

*

"Ada yang bisa saya bantu?" tanya salah satu resepsionis, menyambut kedatangan Icha.

"Saya mau ketemu Profesor Doktor dokter Dimas Cristian spesialis... spesialis apa yak? Ya intinya mau ketemu Kak Dimas."

"Sudah membuat janji?" tanya resepsionis itu dengan tatapan menilai yang sudah diperkirakan Icha. Pantas sih, bocah SMA sepertinya memang punya perlu apa dengan orang penting seperti Dimas.

"Kasih tau saya aja ruangannya dimana, Kak Dimas pasti langsung nerima kedatangan saya kok."

"Engh... baik." Dan resepsionis itu memberinya lampu hijau untuk lanjut mendekati Dimas. Dengan senyum manis, Icha memasuki lift untuk mencapai ruangan sang kepala pimpinan.

Tak heran lagi lah, toh Dimas itu putra sulung pemilik yayasan terbesar di Indonesia.

Ia mengetuk pintu sebelum memasuki ruangan dengan nama Dimas lengkap dengan gelarnya terpampang.

"Selamat siang, Kak."

Dimas mengalihkan pandangannya sejenak ke pintu masuk untuk memastikan siapa tamunya kali ini. "Kamu lagi? Saya nggak perlu makan dari uang kamu."

Bukannya merasa tersinggung, Icha malah terkekeh. Seenggaknya Dimas udah sadar ada mahluk bernama Icha yang hidup di dekatnya. Ah Icha senang sekali.

"Iya, tau kok Kak Dimas kaya. Tapi kan ini Icha bikin sepenuh hati buat Kak Dimas, kalo Kak Dimas mau sama hati Icha sekalian juga gak apa-apa kok."

Melihat ucapannya tak mendapat tanggapan, Icha mengeluarkan kameranya dari tas.

"Kak, aku bisa dikit-dikit soal fotografi. Icha denger juga Kak Dimas jago. Ajarin Icha ya?"

Lagi-lagi Dimas tak menanggapi, ia hanya fokus dengan kertas-kertas penuh angka layaknya tak ada satupun suara yang sampai ke telinga nya.

"Liat deh, Kak. Tapi ini aku masih pakai autofocus, kalau mau pake manual gimana-" Icha menyodorkan kamera nya ke arah Dimas tanpa menginterupsi pekerjaan laki-laki itu. Dan Dimas bahkan tak punya niat menolehkan kepalanya sedikit pun.

"Oh iya, gimana masakan Icha kemarin, Kak? Enak-"

"Saya terganggu. Silakan kamu keluar." titah Dimas tak terbantahkan.

Bohong kalau bentakan itu samasekali tak berpengaruh. Untuk beberapa detik bahkan Icha membeku walaupun dalam otaknya kalang kabut mencari ide baru. Belum ada dialog antara mereka berdua, dan ini bukan perkembangan yang ia harapkan.

"Um... ini jam pulang kerja, Kak, macet. Nunggu bentar ya?"

Pikirnya Dimas akan diam saja, mengacuhkan Icha karena alasan gadis itu memang sesuai fakta. Tapi Dimas bukanlah penanggung jawab atas harapan-harapan naif nya, kembali satu titah menyiratkan ketidaksukaan yang kentara yang didapat Icha.

"Bukan urusan saya macet atau enggak. Kamu pikir kerjaan saya nggak keganggu dengan kedatangan kamu? Udah cukup dua kali kamu ganggu kerjaan saya. Silakan keluar."

Untuk hari ini, yang bukan hari keberuntungan nya, Icha mengaku kecewa. Salah keputusan nya menghampiri Dimas hari ini karena sepertinya laki-laki itu sudah lebih penat dengan pekerjaan nya. Dan kehadiran Icha hanya akan diingat dengan aksen buruk nya. Bukan tidak mungkin akan jadi lebih sulit lanjut mendekati Dimas.

Icha mengangguk tak ingin lebih tidak disukai Dimas, sengaja tipis-tipis memasang wajah kecewa agar siapa tau yang ia tuju akan merasa tidak enak. Lagipula masih banyak waktu. Icha sudah tau dimana ia bisa mencari Dimas selama hari kerja.

Jadi kini Icha beranjak dari ruangan perlahan. "Iya deh, Kak, maaf. Icha kan suka, nggak salah lah berjuang dikit. Tapi berjuang nya besok lagi deh. Icha pamit. Semangat kerjanya, Kak."

Dengan senyum yang sudah kembali terpasang setelah mulut nya tadi bercerocos lancar perihal rasa suka dan keinginan nya memperjuangkan Dimas, gadis itu melangkah ke arah pintu.

Satu langkah sebelum tangan nya berhasil meraih gagang, mata nya yang mengabsen barang-barang di ruangan tak sengaja menatap benda kecil di lantai. Terletak di sebelah rak, dekat tong sampah. Kemungkinan besar jatuh.

Icha membelokkan lagi kaki nya untuk meraih benda itu, "Flashdisk nya jangan dijatohin dong, Kak. Hati Kak Dimas aja yang jatoh buat Icha," candanya kian berani. Juga senyum nya yang kian melebar setelah berhasil bersitatap beberapa saat dengan Dimas yang penasaran apa benda yang baru gadis tengil itu selamatkan.

"Sampai ketemu lagi, Prof."

Dan untuk pertama kalinya, bisa Icha pastikan mata Dimas terus memperhatikan nya meninggalkan ruangan. Setengah mati ia menahan pekikan senang karena jelas saja upaya nya mendapatkan perhatian Dimas sudah bisa dibilang berhasil. Ya memang tidak langsung seratus persen, tapi tetap saja ini perkembangan yang baik untuk pertemuan ke tiga.

Kebahagiaan karena ambisi yang hampir terpenuhi itu perlahan luntur kala Icha menginjakkan kaki nya ke pintu utama kantor. Langit oranye sudah berangsur menggelap, dengan kemacetan lalu lintas pasti butuh lebih dari setengah jam untuk Icha mencapai kos nya. Dan berarti ia harus membelah jalanan di malam hari sendirian. Tak terlalu malam dan Icha tak segitu takut nya dengan malam memang. Ia hanya tidak suka malam, apalagi jika harus sendiri.

Gadis yang sudah menggenggam kunci motor nya itu menggeleng tanpa sadar, seolah gelengan itu dapat menghilangkan kekhawatiran nya tadi.

Udahlah nggak usah banyak mikir, langsung gas aja. Cowok selevel Dimas aja hampir kegandeng.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel