#3
Hentakan tiba-tiba pada buku yang tengah ia baca memancing hela napas kesal, apalagi mengenali siapa pemilik jari lentik itu.
"Gud mowning, beib!"
Jean menatap sinis pada Icha yang sepertinya habis tersambar petir atau kerasukan setan. "Dateng pagi, gak sama gandengan baru tapi tetep senyum, dan apa nih? Aroma parfum baru? Kerasukan setan mana lo?"
Icha langsung manyun mendengar penuturan pesimis sahabatnya itu. "Jahat banget sama gw sih, Jen."
"Ya tapi bener kan gw?"
Icha berdecak. "Ntar temenin ke College ya?"
Tatapan penuh selidik mengiringi tanda tanya Jean, "Ngapain ke College?"
"Bawain bekel buat calon pacar."
Jean membulatkan mata mendengar penuturan nekat sahabatnya. "Lo jangan aneh-aneh sih, bek! Kalo nanti diusir gimana? Udah deh nggak usah Dimas, cari gandengan lain aja."
"Ih maunya Dimas, Jen. Tekad gw udah bulat untuk meletakkan nama Dimas di dalam list mantan Isabella Swan. Please, temenin ya? Ada traktirannya deh." Gadis itu sampai menyatukan telapak tangannya dan membungkuk hingga setara dengan tinggi Jean yang tengah duduk di kursinya demi mendapat persetujuan.
"Gak." putus Jean final. "Resiko nya gak setara sama traktiran es teh lo."
*
"Please, temenin dong." ajak Icha untuk kesekian ratus kalinya. Bahkan Jean yang sudah dipaksa Icha ikut ke kos nya untuk menemani memasak sepulang sekolah pun masih menggeleng dengan ajakan ini.
"Gw ga mau menjatuhkan harga diri di College. Sendiri sana kalau berani. Lagian yang demen sama Dimas kan elo, klo gw ikut trus Dimas kecantol sama gw gimana?"
"Ih, alesan lo mah. Yaudah, wish me luck!"
Icha mengecek kembali penampilannya di kaca sebelum meninggalkan kamar kos. Tapi sebelum ia benar-benar meninggalkan ruangan, Jean kembali melancarkan upaya penahanan terakhir.
"Ini udah sore loh, Cha. Berani emang lo balik malem sendiri, nggak ada yang liatin?"
"Nggak berani, makanya ayo temenin." tanggap Icha balik menggunakan kalimat Jean sebagai upayanya.
"Gak mau, dibilang."
Icha mendengus sombong, dengan percaya diri meraih kunci motor mengabaikan celetukan tak berperasaan dari Jean.
"Persediaan tissue rumah gw masih banyak, ntar mampir aja."
Icha berjalan menuju parkiran, tepatnya ke sudut favorit ia memarkirkan motornya. Motor yang dibeli dari uangnya dan sedikit bagian dari Jean, juga sebenarnya dalam kepengurusan dokumennya ada bantuan mantan pacar Icha yang adalah seorang polisi. Kadang-kadang aneh juga bocah berandalan seperti Icha bisa mengenal orang-orang yang baik. Jangankan cowok yang hanya ia jadikan satu dari deretan mantan, sahabatnya saja gadis yang kelewat baik.
Kalau hobi Icha gonta ganti pacar, Jean tugasnya hanya menemani Icha tiap kali memanfaatkan pacar gadis itu. Jean tidak seberani Icha dalam bermain-main dengan hubungan. Ia terlalu mudah membawa hati tiap merasa nyaman sedikit. Jadi ya Icha saja yang menggaet cowok-cowok, Jean tinggal duduk manis menunggu kode dari Icha untuk ikut nimbrung.
Dua puluh menit membelah jalanan, Icha menghentikan motornya di parkiran luas yang menjadi bagian dari perkuliahan megah Forks Dimieve. Ia memastikan sekali lagi penampilannya dari spion motor. Setelah dirasa cukup, langkah mantap membawanya memasuki gedung megah perkuliahan FD.
Ia menyusuri satu-persatu ruang perpustakaan, laboratorium, dan segala fasilitas di gedung perkuliahan FD fakultas kedokteran. Sejauh yang ia tau, ruangan Dimas ada di sekitar gedung ini.
Manik coklatnya kembali berbinar setelah menangkap nama yang terpajang pada pintu besar salah satu ruangan utama di sana.
Prof. Dr. dr. Dimas Cr. Sp.JP FICS
Gila, Dr nya aja dua kali. Typo apa bukan, kagak ngarti dah, batin Icha bodoh yang bahkan tak tau apa kepanjangan dari masing-masing huruf tersebut.
Tak berlama-lama lagi, tangannya ia angkat mengetuk pintu hati-hati dan memutuskan untuk langsung membukanya setelah mengasumsikan suara yang memberi izin tak akan terdengar.
"Selamat sore, Kak..." sapa Icha yang walaupun sudah puluhan kali melakukan PDKT tapi tetap saja sekarang berdegup keras.
Dimas yang tengah berkutat dengan komputernya langsung menoleh sambil membenarkan posisi kacamatanya.
"Saya belum bilang kamu boleh masuk."
"Eh? Ma-maaf, Kak." Icha salah tingkah mendengar kalimat dingin dari pria itu. Ia kira Dimas akan langsung menanyakan alasannya berada di sini. Namun ia tak mengambil pusing dan dengan begitu tebal muka, malah memasuki ruangan lebih dalam.
"Kak Dimas sibuk ya? Maaf ya kalau Icha ganggu. Umm... ini aku bawain makanan. Masih hangat loh, Kak-"
"Saya nggak pernah minta kamu membawakan saya apa-apa, bahkan saya masih belum bilang kamu sudah boleh masuk."
Icha menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Ia tak tau harus menanggapi apa ucapan Dimas.
Ia tau sih pasti tanggapan seperti ini yang dilayangkan semua orang ketika kedatangan orang asing sok kenal. Tapi Dimas begitu jelas menyatakan ketidaksukaannya pada Icha membuat gadis itu kalang kabut juga. "Maaf deh, Kak. Tapi aku cuma pengen kenal sama Kak Dimas kok, nggak ada maksud yang lain. Aku udah lama ngefans sama Kak Dimas, jadi karena udah ketemu di Expo kampus kemarin-"
"Saya sibuk, kamu boleh keluar sekarang."
Untuk beberapa saat Icha terdiam. Otaknya ia paksa bekerja cepat memikirkan cara lain membangun obrolan dengan Dimas, setidaknya satu menit saja.
Sedikit sulit mengingat pengakuannya mengidolakan Dimas sejak lama adalah kebohongan. Icha bahkan baru tau ada manusia bernama Dimas Cristian pada Expo kampus kemarin.
"Umm... Kak Dimas gak mau nyobain-"
"Saya bilang keluar."
Icha meletakkan kotak bekal di meja. Ini baru langkah pertama, lebih baik bermain aman.
"Mau nanya dulu dong, Kak. Satu aja."
Tak ada tanggapan, lantas ia manfaatkan sebagai jalan negosiasi. "Abis itu Icha keluar deh, Kak."
Dimas menghela napasnya. Pasti terpaksa membuka mulut tapi lebih tidak mau lebih lama terjebak dengan manusia setengah waras ini. "Apa?"
Icha tersenyum riang. "Umm... gelar Kak Dimas itu panjang banget, bacanya gimana, Kak?"
"Profesor Doktor dokter Dimas Cristian spesialis jantung dan pembuluh darah, Fellow of the International College of Surgeon."
Alis Icha bertaut sempurna mendengar kalimat itu. "Doktor dokter? Itu seriusan gelar buat satu orang?" monolognya polos.
"Kok bisa doktor dokter, Kak? Emang beda?" tanya Icha lagi.
"Kamu bilang hanya satu pertanyaan. Sekarang silahkan keluar."
Icha tak begitu kecewa. Ia sudah pernah menghadapi sikap dingin laki-laki incarannya. Sikap Dimas sekarang mah sudah khatam Icha hadapi. "Yaudah deh, aku pamit dulu. Jangan lupa dimakan ya bekelnya. Nggak dikasih racun kok, malah dikasih... sayang. Sampai ketemu lagi, Prof." ujar Icha tengil. Icha meninggalkan ruangan dengan senyum yang sepertinya sudah terukir paten di wajah manisnya.
Sedangkan Dimas, tak mengindahkan ucapan bocah SMA itu sama sekali. Mengacuhkan kotak bekal yang mungkin saja berakhir di tong sampah oleh petugas kebersihan kampus setelah ini.
***
Btw untuk yang bingung, gelarnya Kak Dimas emang gelar untuk satu orang kok.
Profesor itu gelar yang lebih sering dipakai di dunia pendidikan untuk menyatakan degree seseorang. Kalau Doktor itu gelar formal setelah seseorang lulus S3. Sedangkan dokter itu spesifikasi jurusan pendidikannya.
FICS; gelar karena Kak Dimas udah dapat spesialisasi jantung dan pembuluh darah, dan diakui secara internasional dari pendidikan kuliahnya.
Kalau salah drop di kolom komentar ya. Aku nggak bermaksud sok tau, tapi dari literatur yang aku baca sih gelar itu udah tepat. Mungkin aku salah pemahaman pas baca literatur nya.
