#2
Icha kembali berputar di depan cermin untuk memastikan penampilannya dari ujung kepala hingga ujung kaki. Semua harus sempurna.
Gaun biru dongker bermodel one shoulder off di atas lutut, senada dipadukan dengan heels lima centi nya. Wajah manisnya pun telah dirias cantik oleh Jean yang memang mahir dalam urusan menghias wajah.
"Gw udah perfect kan?"
"Udah. Tapi kemaren Reino beli nyocokin sama dress lo kan. Ogah banget Dimas ngelirik lo yang udah punya couple tapi masih ganjen deketin dia." ujar Jean sedikit khawatir karena seperti biasa dress yang Icha pakai ini berasal dari kantong pacarnya. Dan mereka kemarin membelinya sebagai setelan couple untuk prom agar tak begitu menyakiti hati Reino.
Icha tersenyum sumringah. "Kalau gw udah niat, pasti jadi, Jen. Ah, gw ngebayangin Dimas pake jas formal, cocok banget ya kan kalau disandingin sama gw."
"Dimas tuh cowok tiga puluh tahun, Cha. Biasain pake embel-embel Kak. Dan, nggak banget di bagian lo bersanding sama dia."
Icha langsung berubah manyun mendengar penuturan sahabatnya. "Lo mah, Jen."
"Eh bebek, lo tuh bocah ingusan. SMA aja belom lulus, mau ngegebet om-om gitu? Ya mau ganteng, tajir, dan pinter tetep aja om-om."
"Masih sabi, Jen. Nyokap bokap lo aja beda tujuh tahun kan. Nyokap bokap gw beda sembilan tahun. Nah, gw sama Dimas beda-"
"Beda kasta," tembak Jean jahat. Yang langsung saja ditanggapi celetukan kasar dari bibir yang manis bahkan saat tanpa senyum.
Obrolan mereka terinterupsi suara klakson mobil yang dipastikan milik Reino, pacar sementara Icha. Tidak ada cowok yang berhasil mempertahankan hubungan dengan Icha lebih dari sebulan. Karena memang Icha nya yang tidak mau. Jadilah pasti sementara.
"Ya udah, gw berangkat. Doain gw pulang bawa status baru ya?"
"Status deretan cewek yang dihempaskan Dimas begitu saja?" cibir Jean lagi.
Gadis itu dengan sengaja mengangkat jari tengahnya sambil meninggalkan ruangan.
"Dasar, bebek."
*
Kedatangan Icha disambut berbagai tatapan dari orang lain. Icha yang sudah biasa diberikan tatapan entah memuji atau menghakimi seperti itu hanya berjalan tak peduli. Sesekali ia mengedarkan pandangan mencari sesosok mahluk sempurna yang merupakan alasan utamanya ke sini.
"Nanti aku sama anak-anak tampil, kamu mau nyumbang suara nggak?" tanya Reino yang sejak tadi setia menemani Icha menyusuri aula utama FD College yang telah disulap sedemikian rupa.
Icha mengalihkan kegiatan mencarinya sejenak untuk menatap Reino. "Mau banget," ujar Icha semangat.
Bisa sekalian show off kan! Siapa tau Dimas langsung berlutut ngelamar gw.
Icha cepat-cepat mengenyahkan pikiran itu berhubung tak ada Jean yang menjadi tempatnya menuang alur fiksinya, sebelum ia tak bisa menahan tawa sendiri juga pastinya.
"Lagu ap-"
"Say you wont let go aja," sambar Icha cepat yang perhatiannya teralih keributan kecil di pintu masuk aula. Kurang lebih Icha tau siapa penyebabnya. Jelas laki-laki yang ditunggunya juga lah.
Matanya lantas berbinar melihat Dimas dengan kemejanya. Terselip tanda tanya melihat setelan Dimas yang seharusnya bisa lebih lengkap dengan jas.
Gapapa, tetep ganteng. batin Icha.
"Ayo, latihan dulu. Yang lain pada di backstage."
"Kamu duluan aja gimana? Aku mau ke sana, ambil minum." ujar Icha jelas sekali bohong, tapi Reino menurut-menurut saja.
"Ya udah, aku duluan."
Sesaat setelah Reino menghilang dan perhatian tak sepenuhnya berkumpul pada Dimas, Icha segera melangkahkan kakinya mendekati mahluk sempurna itu.
"Hai, Kak Dimas. Aku Icha, kalau lupa."
Dimas menengok ke asal suara dan bisa dipastikan mendengus dalam hati karena satu gadis titisan iblis ini gencar mencari perhatiannya.
"Kak Dimas sendirian aja? Di sini pada sama pasangannya, mau Icha temenin gak? Kebetulan Icha sendiri-"
"Ih ini jas nya kegedean! Aku jadi gerah." omel seseorang yang baru bergabung, menginterupsi ucapan Icha.
Tanpa pikir panjang, persis seperti sikapnya selama tujuh belas tahun ini, Icha melemparkan tatapan tak bersahabat. Bahkan kernyitan yang kentara menjelaskan tidak terimanya dengan interupsi ini.
Masalahnya, bukan perihal gampang mendapat kesempatan berbicara dengan Dimas! Jika ingin menginterupsi, tolong jangan sekarang.
Wanita itu sesaat menatap Icha, sepertinya ingin menyapa atau apalah di depan Dimas. Namun tatapan Icha sudah lebih cukup jelas untuk wanita itu tak melanjutkan niatnya.
Nyatanya interupsi dari wanita dengan gaun yang menunjukan lekuk tubuhnya, terutama perut membuncit itu bukan ditujukan untuk mengacaukan upaya PDKT Icha samasekali. Omelan itu jelas ditujukan untuk siapa setelah tanggapan lantas dilayangkan sang lawan bicara.
"Tadi kamu yang ngeluh kedinginan, Vee. Lagian dibilang jangan pakai gaun ini, tetep aja kekeh."
Icha terkejut mendengar respon Dimas pada wanita yang memanyunkan bibirnya dan baru disadari Icha kecantikannya. Ini kali pertamanya mendengar Dimas tak berbicara formal di depan orang lain. Dan orang lain itu adalah...
Binar di mata Icha seketika meredup. Ia berhasil mencerna keadaan dan memahami siapa wanita di sebelah Dimas. Sejenak ia merutuki diri. Bagaimana bisa ia tak terpikir bahwa Dimas sudah memiliki istri bahkan calon anak. Dimas pria mapan, pasti dengan mudah mendapatkan istri berparas sempurna seperti ini.
"Ya udah sih, nggak usah ngomel. Aku mau minum," pinta wanita itu masih dengan nada sebal.
Dimas berdecak. "Iya-iya, kamu duduk dulu."
Dimas merangkul mesra pinggang sang istri. "Saya permisi," pamitnya acuh tak acuh, jelas hanya sebagai formalitas. Mungkin juga tak ingin istrinya menaruh tanda tanya pada gadis yang bahkan bukan mahasiswa FD ini.
Icha tak bisa menanggapi. Lidahnya kelu menyaksikan adegan romantis yang menyatakan kekalahan telaknya, bahkan sebelum perang.
Nyatanya sesak yang dirasa tak lantas membawanya pergi dari sana. Ia setia bersikap sempurna di tempat melihat Dimas yang mengecup singkat kening sang istri sebelum mengambil minuman. Dan lagi, Dimas yang nampak sangat tak rela meninggalkan istrinya, tak membuang lebih dari hitungan menit. Dimas segera kembali dengan minuman juga senyum langka yang hanya ditujukan demi manusia-manusia beruntung tertentu.
Sial, padahal belom mulai perang.
"Cha..?" Senggolan lembut ke lengan atas nya membuyarkan lamunan Icha.
"Eh?" tanggap Icha setengah terkejut. Sepertinya alasan mengambil minuman tidak sesuai dengan waktu yang ia gunakan sekarang. Buktinya Reino sudah berjalan bolak-balik dari backstage ke tempatnya lagi.
"You okay?" tanya Reino karena Icha lanjut diam, tak menatapnya. Ditambah pukulan kecil yang Icha berikan ke dadanya sendiri tentu saja membuat Reino kebingungan.
Icha menundukkan kepalanya, sesekali memukul dadanya lagi. "Baru sekali ketemu kok nyeseknya segini," monolognya samasekali mengabaikan keberadaan Reino.
Melupakan kenyataan Icha yang tak suka disentuh, Reino menahan lengan Icha yang akan memukul dadanya lagi. Memang pukulannya tidak kencang, tapi tetap saja perubahan emosi hanya setelah beberapa saat ia tinggalkan cukup mengkhawatirkan.
"Kamu ketemu siapa, Cha?" tanyanya yang mendengar sedikit monolog Icha tadi.
Tarikan tak bersahabat menyambut upaya perhatiannya. Icha berdecak saat menarik balik tangannya dari genggaman Reino.
"Aku mau balik."
Setengah perintah setengah meminta, Icha berjalan keluar aula tanpa lagi menunggu Reino. Cowok baik yang sayangnya menjadi satu dari deretan mainan Icha itu masih saja menurut. Tanpa segan memperlakukan pacarnya sebagai ratu, mengikuti kemauan Icha untuk kembali ke rumah Jean padahal baru beberapa menit mereka menikmati suasana prom.
"Kamu ketemu siapa sih, Cha, sampai sediem ini?" tanya Reino setelah mobil mereka tiba di tujuan.
Malah tangis Icha pecah, memaksa Reino merasa bersalah sudah bertanya, tapi khawatir juga jika diam saja.
"Bukan urusan kamu. Udahlah kita putus aja."
Dengan terburu-buru, Icha meninggalkan mobil. Emosinya bercampur-campur akibat ambisinya yang digagalkan sebelum langkah pertama ia lebarkan hanya menambah alasan Icha ingin cepat menghambur ke pelukan Jean. Kalau dipikir-pikir juga Icha tak bisa memberi pembelaan ketika Reino menanyakan alasan kandasnya hubungan tiga minggu mereka.
"Cha, please. Jangan begini-"
Pintu rumah yang langsung terbuka menyambutnya setelah sang pemilik mendengar deru mobil menjadi lampu hijau Icha untuk tak menanggapi Reino. Sepertinya Jean yang mengerti juga lantas memberi kode pada Reino untuk membahas apapun lain kali saja. Icha tak tau juga, ia masih sibuk menangis. Setidaknya Reino tidak berisik memanggilnya lagi, dan itu mengurangi alasannya meluapkan kekesalan.
"Kenapa, bek? Ini nangis gegara Dimas kan, bukan Reino? Gw nggak salah kan ngusir dia-"
"Ah Jeaaaan!" rengeknya kesal sedangkan tangannya menjelajahi nakas sebelah kasur Jean untuk mencari tissue. "Kok gw bego sih-"
"Ya emang dari sananya udah begitu, mau diapain," celetuk Jean berhasil mengubah tangisan Icha menjadi ekspresi dingin tidak terima.
Perubahan ekspresi itu hanya terjadi sesaat sayangnya. Icha hanya mengumpat kasar sebelum kembali melanjutkan cerita beserta tangisannya. "Kenapa nggak terpikirkan di otak cetek gw kalau Dimas itu udah punya istri? Lo juga kenapa nggak ngasih tau gw kalau tu cowok udah mau jadi bapak?"
Jean mengernyit tak mengerti.
"Ahelah, nggak pernah gw tiba-tiba seambisius ini buat dapetin cowok. Gw terlalu mikirin cara-cara dapetin dia sampe nggak kepikiran kemungkinan-kemungkinan begini. Ah tolol banget sih gw."
"Iya, emang lo tolol," ujar Jean lagi-lagi tak berperasaan. Kini tak berhasil menghentikan tangis Icha bahkan hanya sejenak. "Dimas tuh belom nikah. Dan kalaupun yang lo incar tuh bokapnya Dimas, istrinya udah meninggal sebelum lo lahir."
Keran yang mengalirkan air dari mata Icha layaknya ditutup paksa sekarang. Drama menangis lebay tadi lantas usai, menandakan waktunya beralih ke sesi tukar informasi. "Hah? Gimana-gimana?"
"Nyokapnya Dimas udah meninggal, dan nggak pernah kedengeran isu bokapnya niat cari pengganti. Dimas sendiri belom nikah karena katanya sih dia gila kerja, nggak mau buang waktu nanggepin ciwi-ciwi yang mau duitnya doang. Ya kayak lo gini. Dan setau gw dia punya dua adek, yang cowok juga belum nikah. Jadi lo dapet pencerahan darimana main bikin alur Dimas udah nikah?"
Icha kembali membuang ingus tanpa malu, membuka jalur napas sebelum lanjut mempertanyakan kejelasan status Dimas.
"Jangan boong, Jen, elah. Gw mulai berharap lagi nih, jangan ampe gw nangis lagi."
"Bentar," Jean mengaktifkan ponselnya, mencari-cari sesuatu di sana sebelum akhirnya tersenyum mendapatkan yang dicarinya.
"Ini yang lo maksud istrinya Dimas?" tanya Jean ditanggapi anggukan Icha sesaat setelah mengakui kecantikan wanita hamil itu.
"Ini adeknya Dimas. Dua puluh tujuh tahun tapi mukanya masih unyu-unyu. Pantes lah abang-abangnya betah jomblo, ngeliat adeknya secakep ini ya betah-betah aja."
"Owh itu adeknya..." ujar Icha bermonolog. Senang menyadari peluangnya maju kembali terbuka, tapi di detik selanjutnya- "YAH, JEN!" ujar Icha heboh. "Tadi gw sinis ke adeknya. AH, GAK DIRESTUIN GW NTAR!"
Icha memanyunkan bibirnya. "Yahh... terus gw gimana?"
"Udah terlanjur, Cha. Alamat ga dilirik Dimas samasekali."
