tujuh
Arina memijat-mijat lengan kanannya yang terasa nyeri. Hari sudah menjelang larut, tetapi ia belum juga bisa memejamkan mata. Rasa sakitnya terlalu mengganggu hingga membuat ia tidak bisa terlelap. Padahal tadi Aldrich sudah memberikan obat yang serupa balsam tetapi tetap saja seperti tidak berpengaruh. Gadis itu bergegas keluar dari kamar.
Kini Arina tengah duduk seorang diri di luar pondok. Bintang-bintang tampak bertabur menghias langit dengan setia menemani purnama. Arina menunjuk bintang-bintang tersebut satu per satu dan mulai menghitung. Mungkin nanti jika selesai menghitung, ia akan bisa pulang atau terbangun dari mimpi ini, itulah yang terlintas di benaknya.
Arina kemudian berhenti menghitung saat mendengar suara tawa di dekatnya. Ia menoleh dan melihat Rion tengah berdiri bersandar di ambang pintu.
"Kau? Kenapa bisa kau yang berada di sini?" tukas gadis itu.
"Gadis jelek, apa kau ingin melarikan diri lagi?"
"Kau ...!" Arina tidak melanjutkan kata-katanya. Semenjak awal, Rion memang selalu mencari masalah dengannya, percuma pula ditanggapi. Tetapi saat ia memikirkannya, tiba-tiba teringat sesuatu. Waktu ia melarikan diri, Rion juga yang mengetahui hal itu.
"Kau ini apa? Kelelawar, hantu, atau vampir? Kenapa tidak pernah tidur saat malam?"
"Aku sudah terbiasa. Tidur hanya akan membuatku terbunuh."
"Sudah kuduga, orang sepertimu pasti banyak yang tidak suka dan ingin membunuh."
Arina bangkit berdiri dan berbalik, tetapi tidak melihat siapa pun di ambang pintu.
'Apa dia tersinggung? Dasar hantu, menghilang begitu saja, bahkan aku tidak mendengar langkahnya,' gumam Arina dalam hati.
Saat Arina hendak masuk, Rion datang kembali serta menghampiri dirinya. Pemuda itu kemudian mengangsurkan sesuatu seperti kapsul. Arina hanya diam sambil mengerutkan kening tidak mengerti.
"Terima saja. Ini obat untuk meredakan sakit di lenganmu itu," ucap Rion sambil meraih tangan Arina dan meletakkan butir obat berwarna hitam tersebut. Arina hanya mengangguk. Ia segera meneguknya dengan bantuan segelas air.
Arina heran mendapati Rion masih berada di sana.
'Apa lagi yang diinginkannya?' duga Arina.
"Baiklah, aku sudah meminumnya. Terima kasih banyak," ucapnya sambil tertawa bingung. Ia terkejut dan mundur ketakutan saat Rion mengeluarkan sebilah pedang.
'Apa yang terjadi? Dia mau membunuhku setelah memberiku obat? Apa aku telah dijadikan semacam kelinci percobaan?' tebak gadis itu.
"Co-ba ... cobalah untuk tenang dan berpikirlah sekali lagi," bujuk Raina sambil terus berjalan mundur. Akan tetapi di pondok sempit tersebut sekejap saja punggungnya telah membentur dinding.
"Aku sudah berpikir dengan tenang," sahut Rion datar sambil mengangsurkan pedang di tangan.
"Aku tidak ...," sahut Raina sambil tertawa salah tingkah.
"Pedang ini untukmu," potong Rion seolah tidak mendengar perkataan Arina.
"A-pa?"
Mata gadis itu membeliak lebar. Dia menatap pemuda di hadapannya curiga.
'Kenapa tiba-tiba dia memberikan pedang padaku? Apa ada maksud tersembunyi dari semua ini?'
"Terima kasih, tapi kurasa aku tidak bisa menerimanya," ujar Arina berusaha menolak. Rion sering sekali berubah-ubah, kadang bersikap dingin, kadang seperti sengaja masalah dengannya agar dia tidak betah, tetapi kini tiba-tiba pemuda itu tiba-tiba memberikan pedang padanya.
"Menjagamu sudah cukup merepotkan, sebaiknya kau bisa menjaga dirimu sendiri. Pedang ini sangat ringan. Kau bisa berlatih dengan baik dengan ini, tapi terserah padamu kau mau menerima atau tidak. Jika terjadi sesuatu padamu, salahkan saja dirimu sendiri."
Rion kemudian memasukkan pedang tersebut ke sarungnya dan meletakkan di atas meja.
***
"Kau kenapa? Kenapa begitu marah?" tanya Arina sambil bergegas menyusul Aldrich. Tadinya pemuda itu berkata hendak kembali mengajari dia berlatih. Arina sudah meluangkan waktu meski dia sudah lelah berlatih sihir yang belum juga berhasil. Arina merasa dia tidak akan pernah bisa menyihir karena dia bukan tuan putri yang dicari. Akan tetapi, nenek Silva tetap mengajari dia dengan sabar.
"Aku tidak akan mengajarimu lagi. Kau terlalu lamban dan tidak berbakat. Sebaiknya tidak perlu lagi memaksa dirimu. Lagipula bukankah kau juga selalu berkata dirimu bukan tuan putri? Jadi untuk apa belajar? Sebaiknya kau segera kembali ke tempat asalmu!"
Aldrich meluapkan kata-kata penuh amarah itu pada Arina. Gadis itu tertegun diam, bingung dan tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi pada pemuda itu. Ia hanya menatap Aldrich yang melangkah pergi dari halaman tempat latihan mereka itu.
'Apa yang harus kulakukan sekarang? Aku ingin mempelajari semua ini bukan karena aku tuan putri, tetapi karena aku ingin melindungi diri sendiri seperti kata Rion kemarin.'
"Ada apa? Kenapa berisik sekali?" tanya Erland yang baru saja keluar dari pondok sambil membawa aneka buah-buahan.
"Apa yang terjadi? Mana Aldrich? Bukankah dia harusnya melatihmu?" tanya Erland lagi saat melihat Arina hanya diam. Tatapan gadis itu tetap saja lurus menatap ke arah perginya Aldrich.
"Jadi benar yang kudengar tadi di dalam, kalian sedang bertengkar?" tanya Erland lagi. Ia masih belum puas karena belum mendapat jawaban yang diinginkan.
"Aku tidak tahu mengapa ia marah padaku. Apa aku telah berbuat salah?" tanya Arina seolah pada dirinya sendiri.
"Jadi benar kalian bertengkar? Bagaimana bisa? Bukankah sebelumnya kalian baik-baik saja?"
Erland berhenti mengajukan pertanyaan saat melihat pedang yang dipegang erat oleh Arina.
"Itu ... itu ...," tudingnya ke arah pedang bermata tipis dan tajam tersebut.
"Bukankah itu milik Rion? Kenapa bisa ada padamu?"
"Pedang ini," ucap Arina sambil menatap pedang di tangannya tersebut.
"Rion yang memberikan padaku."
"Rion yang memberikan padamu?" tanya Erland dengan nada tidak percaya.
"Sekarang aku mengerti. Pantas saja Aldrich begitu marah padamu."
Arina mengerutkan kening tidak mengerti apa hubungan antara pedang tersebut dengan kemarahan Aldrich. Gadis itu kemudian menggeleng sambil menghela napas panjang.
"Sudahlah, mungkin dia sedang ada masalah, nanti aku akan bicara lagi pada Aldrich, tapi sekarang tidak ada yang mengajariku. Bisakah kau mengajariku?" tanya Arina.
Erland sontak menggeleng. Ia ingin menyusul Aldrich. Sahabatnya itu pasti memang jatuh cinta pada Arina dan cemburu karena Arina menerima pemberian Rion.
'Kau telah menimbulkan masalah dan kau malah tidak mengerti apa-apa,' ucap Erland dalam hati.
"Kenapa tidak minta tolong Rion saja? Dia sangat mahir bermain pedang. Dia pasti bisa mengajarimu," jawab Erland sambil setengah berlari menuju luar.
"Hei, tunggu!" panggil Arina tetapi pemuda yang berada di jalan depan pondok tersebuesat justru melambaikan tangan.
"Maaf, aku tidak bisa. Aku harus pergi. Ada hal penting yang harus kuurus saat ini!" teriak Erland.
Arina hanya menggeleng saat melihat pemuda itu.
'Ada-ada saja,' gumamnya pelan. Ia kemudian kembali termangu saat menatap pedang di tangannya tersebut.
'Apa sebaiknya aku menuruti saran Erland dan meminta agar Rion yang mengajariku?'