Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

enam

"Aku tidak pernah minta diselamatkan, terutama oleh orang sepertimu!" teriak Arina tidak terima. Matanya masih saja menatap Rion tajam.

Melihat Arina seperti itu, Rion justru nyaris tertawa. Apalagi ada bekas jelaga hitam di pipi dan kening gadis itu, hal itu membuat ia tidak bisa menanggapi serius amarah gadis itu.

"Karena itu kau harus banyak berlatih untuk mempertahankan hidupmu. Sekarang kau hanya membuang-buang waktu saja!" balas Rion sambil mengambil sendok dan mencicipi masakan Arina.

"Dan membuat makanan tidak enak ini."

"Aku membuat ini untuk kalian sebagai tanda terima kasihku. Memang tidak enak, aku akan membuangnya dan membuat lagi," ucap Arina sambil bergegas meraih panci berisi masakan tersebut. Gadis itu kemudian mengaduh kesakitan. Tampak bekas merah di tangannya.

"Dasar ceroboh!" dumel Rion lagi. Arina kembali melotot pada pemuda itu.

"Ini semua juga terjadi gara-gara kamu!" sahutnya. Rion kemudian mengulurkan salep obat pada Arina.

"Ini obati tanganmu. Sebaiknya kau berhenti, jangan memasak lagi," ucapnya. Arina hanya menatap obat di tangan pemuda itu.

"Aku tidak butuh obat darimu!" ucapnya sambil berlalu.

***

Aldrich duduk di samping Arina dan membantu gadis itu mengobati lukanya. Arina hanya diam saja. Tadi dia ingin mengobati sendiri, tetapi Aldrich datang dan bersikeras mengobati tangannya.

'Bukankah dia tidak menyukaiku? Kenapa selalu bersikap seperti ini? Ini membuat perasaanku makin rumit,' ucap Arina dalam hati.

"Kita makan dulu," panggil Rion pada mereka.

"Hari ini kebetulan Tuan Putri Arina memasak untuk kita."

Mendengar itu, Arina sontak bangkit berdiri dan bergegas menuju meja makan. Ia tertegun melihat masakannya tepat berada di tengah meja. Gadis itu kemudian berbalik dan menatap marah pada Rion.

'Apa-apaan ini? Sekarang dia bahkan berniat mempermalukanku,' gumamnya dalam hati marah.

Melihat semua mendekat untuk mengambil masakannya, Arina segera melarang dan menghalangi. Gadis itu menatap tajam Rion yang tengah memasang senyum manis.

"Kenapa dilarang? Aku juga ingin mencicipinya," ujar Aldrich sambil menyendok.

"Jangan!" teriak Arina panik sambil mencekal tangan pemuda itu.

"Wah, ternyata rasanya sangat enak," ujar Erland sambil berkecap-kecap.

"Tuan Putri, Anda sungguh jago memasak."

Pemuda itu mengacungkan jempol. Arina terperanjat menyadari Erland telah mengambil dan menyantap masakan buatannya. Kening Arina berkerut dalam.

'Apa lidahnya sudah mati rasa? Kenapa makanan seburuk itu dibilang enak?'

Tidak lama Aldrich dan nenek Silva juga memakan masakan Arina. Arina yang masih bingung tidak lagi mencegah. Ia kemudian menoleh pada Rion.

'Apa dia yang melakukan ini untuk mempermainkanku?' tebaknya.

Aldrich yang tengah menyantap makanan juga menatap Rion. Sahabatnya itu dulu sering memasak makanan untuk mereka dan rasanya mirip dengan yang dimakannya sekarang.

'Arina jelas panik karena masakannya tidak enak. Jadi pasti Rion yang melakukan ini, tapi untuk apa dia melakukan ini? Apa dia menyukai Arina?'

Rasa amarah berbaur kebencian seolah datang tanpa diduga, apalagi saat melihat Arina tengah menatap Rion.

***

"Terima kasih," ucap Arina sambil menghampiri Rion. Meski sering merasa kesal dengan pemuda itu, tetapi kali ini Rion telah membantunya.

Rion mengangkat bahu.

"Aku tidak melakukannya untukmu. Nenek Silva sudah membeli bahan-bahan makanan itu dengan harga mahal. Mana mungkin kubiarkan tersia-sia menjadi sampah?"

'Baiklah, aku tahu, mungkin sebaiknya aku tidak mengucapkan terima kasih padanya,' ujar Arina dalam hati. Dia tidak akan mau mengaku meski telah membantuku.

"Tidak apa, apa pun alasanmu, aku tetap akan mengucapkan terima kasih," ujarnya. Gadis itu kemudian bergegas masuk kembali ke dalam pondok. Rion hanya menatap Arina sambil menghela napas panjang.

***

Esoknya, pagi-pagi sekali, Nenek Silva mengajak Arina pergi ke suatu tempat. Tempat itu terletak di dalam hutan. Akan tetapi berbeda dengan hutan yang didatangi Arina saat ia hendak melarikan diri maupun ketika ia bertemu Rion dan yang lainnya. Hutan ini tampak begitu cerah. Meski sinar mentari tetap terhalang oleh dedaunan dari pohon-pohon tinggi di sekeliling Arina, tetap saja memancarkan cahaya yang membuat Arina bisa menikmati pemandangan di sekelilingnya.

Suara riang kicau burung menyemarakkan suasana pagi nan teduh itu. Semarak warna-warni bunga liar membuat Arina kembali menatap kagum. Suasana ini tidak pernah didapatnya di tengah kebisingan kota besar yang menjadi tempat asalnya.

Arina kembali memejamkan mata sambil menghirup udara segar. Sungguh hal ini juga tidak pernah ia nikmati sebelumnya.

"Apa kau sudah siap?" tegur nenek Silva. Arina menatap bingung. Wanita tua yang berdiri di depannya itu kemudian menjelaskan akan mengajarkan sihir pada Arina. Arina hanya terdiam bengong.

'Dia pikir aku siapa? Hermione Granger? Mana bisa aku melakukan sihir? Tapi kalau aku gagal, apa mungkin mereka akan membuangku?'

Meski ingin pulang, tetap saja Arina tidak mau lagi bertindak nekat dan ceroboh. Ia masih ingat dengan sosok bayangan hitam yang nyaris membawanya. Saat ini, dia merasa tempat nenek Silva adalah yang paling aman. Akan tetapi, wanita tua itu terus saja salah paham dan menganggap dia tuan putri, maka mengajarkan sihir padanya.

***

"Fokuslah, pejamkan matamu sekarang dan coba hancurkan batu itu!" perintah nenek Silva. Ini sudah kesekian kali Arina mencoba dan ia belum juga berhasil. Arina tahu pasti semua ini karena ia bukan penyihir jadi tidak mungkin baginya melakukan itu.

'Lagipula apa yang terjadi dengan ilmu sihir? Bukankah harusnya ilmu itu untuk mengubah seseorang menjadi kodok? Sebenarnya ini ilmu sihir atau tenaga dalam?' gerutu Arina dalam hati.

Meski begitu, Arina tetap menurut. Setelah berulangkali mencoba dan gagal, nenek Silva akhirnya mengajak Arina pulang. Sinar mentari juga semakin meninggi. Arina merasa tidak enak, ia merasa telah mengecewakan wanita itu. Akhirnya hanya ucapan maaf keluar dari mulutnya.

"Tidak apa, masih ada besok, kita bisa mencoba lagi. Aku percaya Tuan Putri pasti bisa melakukannya," ujar nenek Silva sambil tersenyum. Arina hanya mengangguk. Ia mungkin bukan tuan putri yang dimaksud, tetapi ia akan berusaha sekuat tenaga untuk belajar agar wanita itu tidak kecewa.

'Jika aku menguasai sihir, aku juga bisa mencari cara untuk pulang. Saat ada bahaya, aku bisa menghadapinya sendiri. Tidak perlu lagi untuk terus berada di sini.'

***

Arina menjatuhkan pedang di tangannya. Sungguh benar-benar pegal mengangkat pedang seberat itu. Ia sungguh kagum saat Aldrich yang berkata ingin mengajari dia bisa mengangkat pedang tersebut bahkan mengayunkannya seperti sangat ringan.

"Kenapa? Apa kau kesulitan? Sini biar aku membantumu," ucap Aldrich sambil mengambil pedang dan mengulurkan pada Arina. Dengan enggan, Arina mengulurkan tangan untuk menerimanya.

Aldrich tersenyum melihat wajah gadis itu. Wajah yang tampak merona karena lelah dan kesal, tetapi baginya tetap saja wajah tersebut telah memikat hatinya. Ia tidak mau lagi menyia-nyiakan kesempatan. Ia harus membuat Arina semakin dekat dengannya melalui latihan bersama ini.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel