lima
Aldrich tidak mengerti ada apa dengan dirinya, tetapi ia merasa terganggu dengan kebersamaan Rion dan Arina. Sebagai sahabat yang sudah begitu lama mengenal Rion, Aldrich tahu betul sifat Rion. Semenjak dikhianati oleh Erica, Rion tidak pernah menaruh perhatian pada siapa pun.
"Hei, kau kenapa?" tegur Erland yang bergegas menghampiri sambil mengamati raut wajah Aldrich.
"Jangan-jangan ... jangan-jangan kau cemburu dengan kedekatan Rion dan Arina?"
Aldrich sontak menggeleng. Jika ia cemburu, berarti dirinya memiliki rasa pada Arina, ia tidak mau itu terjadi dan akhirnya malah mengecewakan gadis itu.
"Aku mencemaskan Rion. Jika Arina memang tuan putri dan Rion mencintainya, maka dia pasti akan kembali sakit hati karena mereka tidak akan bisa bersama."
***
Nenek Silva sedang membantu Arina berganti pakaian di dalam kamar. Ia kemudian membantu Arina mengenakan gaun merah muda yang baru saja dibeli. Gaun tersebut begitu anggun dan melekuk pas di tubuh Arina. Gadis itu segera menyukainya dan mengucapkan terima kasih.
"Apa Anda menyukai Rion?" tanya wanita itu tiba-tiba.
Arina tertegun sejenak kemudian menggeleng.
"Mana mungkin aku menyukai Rion? Dia hanya menolongku. Anda jangan salah paham."
Wanita tua itu berhenti melipat gaun putih yang tadi dikenakan Arina. Ia mengamati wajah gadis itu.
"Kuharap itu benar. Karena Anda adalah tuan putri, Anda tidak boleh jatuh cinta pada salah satu dari mereka bertiga. Bagaimanapun mereka adalah bawahan Anda. Kedudukan Anda jauh lebih tinggi dari mereka. Jika Anda mencintai orang yang salah, maka rakyat akan menentang Anda dan tragedi mungkin akan menimpa negeri ini."
Penuturan nenek Silva membuat Arina termangu. Di mana saja kasta dan status selalu menjadi pemisah. Dia sering mendengar dan membaca kisah dua orang yang saling mencintai, tetapi tidak bisa bersama karena berbeda status.
Arina menghela napas panjang dan mengangguk. Ia seharusnya juga menyadari bahwa ia tidak berasal dari dunia ini. Dia berbeda dengan mereka dan seharusnya tidak terikat dengan orang-orang yang berada di tempat itu.
"Anda harus berfokus pada latihan agar bisa menghadapi ratu Solandra dan anak buahnya. Setelahnya Anda juga harus naik tahta dan menikah dengan pangeran Edwar dari kerajaan Valenta untuk memperkuat kedudukan."
'Apa? Pernikahan? Tidak. Ini tidak seharusnya terjadi!' Bayangan menikah dengan pria tidak dikenal menghantui benak Arina. Apalagi ia telah bertekad untuk kembali.
"Jangan pikirkan dulu masalah pernikahan, sekarang yang terpenting adalah menghadapi ratu solandra."
Ucapan tersebut hanya sedikit menenangkan Arina.
'Mungkin jika tahu aku bukan tuan putri yang dicari, maka semua akan berakhir atau mereka justru akan menghukum mati diriku karena dianggap telah menipu mereka? Apa yang harus kulakukan? Aku tidak mau mati di sini. Aku harus pulang bagaimanapun caranya!'
***
Malam hari, suasana telah sepi. Mata Arina belum juga terpejam sejak tadi masuk ke dalam kamar berukuran sempit tersebut. Ia memang tengah menunggu waktu yang tepat untuk bisa pergi diam-diam.
Keadaan tetap saja lengang saat ia bergegas keluar pondok. Gadis itu kemudian berjalan di jalan setapak.
'Ke mana aku akan pergi? Selain tempat ini, aku bahkan tidak tahu akan pergi ke mana, tapi jika bertahan aku mungkin tidak akan pernah pulang lagi,' ujarnya dalam hati.
Jalan yang ditempuh gadis itu ternyata mengarah menuju hutan. Arina merasa ragu apakah ia harus terus melangkah. Suasana begitu sepi dan hutan di depannya tampak seperti lubang hitam yang gelap. Ketika sedang menimbang-nimbang, tiba-tiba sebuah bayangan hitam menyambarnya.
Sekejap gadis itu melayang di atas tanah. Ia merasa sangat ketakutan. Sebuah anak panah terbang berdesing di dekat telinganya dan tepat mengenai dada makhluk itu. Keduanya jatuh dari ketinggian.
Mata Arina terpejam rapat. Ia tidak siap dengan rasa sakit teramat sangat saat tubuhnya menghantam tanah. Akan tetapi, hal itu tidak terjadi. Perlahan gadis itu membuka mata dan bertemu tatap dengan Aldrich.
Arina masih merasa kesal pada pemuda itu, tetapi saat bertemu tatap dengan Aldrich, semua itu seolah menghilang. Hanya tersisa perasaan yang membuat Arina kembali terhanyut oleh sosok Aldrich. Aldrich sendiri tidak bisa berhenti menatap Arina. Wajah gadis itu, semua tentangnya membuat ia tidak ingin melepaskan Arina pergi.
"Apakah dia baik-baik saja?" tegur Rion yang baru saja berperang dengan sosok bayangan hitam bersama Erland. Ternyata jumlah mereka tidak hanya satu, tetapi jauh lebih banyak. Mereka bahkan bergerak mengepung. Akan tetapi, Rion dan Erland bisa mengatasi mereka dan akhirnya bayangan tersebut menghilang.
"Dia baik-baik saja," jawab Aldrich sambil menurunkan Arina dari gendongan.
Rion mendengkus.
"Baiklah, tapi sebaiknya ia berpikir ulang jika ingin melarikan diri lagi. Sungguh merepotkan!" dumelnya sambil memasukkan pedang ke sarungnya. Pemuda itu kemudian bergegas pergi begitu saja.
"Jangan masukkan ucapannya dalam hati," ucap Erland sambil tertawa lebar.
"Rion memang selalu seperti itu. Ia bersikap seolah tidak peduli. Sebenarnya tadi dia yang menyadari kepergianmu dan membangunkan kami."
Aldrich menatap tajam Erland. Ia tidak ingin marah pada sahabatnya itu. Bagaimanapun yang dikatakan Erland adalah kebenaran. Rionlah yang tahu tentang kepergian gadis itu. Bahkan Rion pula yang memanah bayangan hitam yang membawa Arina karena Aldrich merasa ragu. Dirinya merasa takut bahwa anak panah yang dilepaskan justru akan melukai Arina. Di saat yang sama, Rion hendak menangkap Arina yang terjatuh tetapi saat melihat banyak bayangan hitam yang muncul hendak menyerang Arina, Rion memilih untuk menghadapi mereka dan menyuruh Aldrich menangkap tubuh Arina.
Aldrich menggeleng. Ia tidak akan memberitahu Arina semua itu. Ia tidak ingin Arina justru mengagumi Rion.
'Aku tidak mau melakukan ini, Rion adalah sahabatku, tapi aku juga tidak mau melihat Arina lebih memilih bersama dia daripada aku.'
***
Arina sibuk memotong-motong beberapa tanaman. Tadi ia bertanya pada nenek Silva dan meminta beliau mengajari cara untuk memasak. Tadinya wanita itu keberatan, tetapi Arina terus saja memaksa. Sepertinya beliau takut Arina akan pergi lagi sehingga akhirnya dia mengalah dan mengabulkan permintaan gadis itu.
Arina mulai mencicip saat masakan itu telah mendidih.
'Baunya lumayan sedap, semoga rasanya juga lumayan,' ucap gadis itu dalam hati. Akan tetapi, setelah mencicipinya, Arina justru langsung memuntahkannya
'Masakan apa ini? Rasanya sungguh berantakan.'
"Kau ternyata masih punya waktu untuk bermain-main dan melakukan ini?" tegur sebuah suara. Arina berbalik dan melihat berdiri di ambang pintu.
"Aku tidak bermain-main. Aku memasak ini untuk membalas kebaikan kalian menyelamatkanku," jawabnya sambil bertolak pinggang.
"Membalas budi?" ulang Rion dengan nada suara menyindir.
"Jika kau sungguh ingin membalas budi, sebaiknya banyak berlatih ilmu dan sihir untuk membela diri. Sungguh merepotkan harus menyelamatkan orang lemah sepertimu setiap waktu."
Mata Arina membeliak marah. Sungguh menyebalkan. Haruskah pemuda itu terus saja mengejeknya setiap waktu?