Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

empat

"Sudah, sudah, jangan marah lagi!" seru Erland sambil melingkarkan tangan di pundak Aldrich.

"Baru kali ini aku melihatmu seperti ini, apa kau benar menyukai dia?" tanyanya. Aldrich menggeleng.

"Bagaimana bisa kau berpendapat seperti itu? Kita bahkan baru saja bertemu dengan Arina. Aku bukan sepertimu, selalu jatuh cinta dengan gadis manapun yang ditemui."

Erland terkekeh mendengar jawaban sahabatnya. Tanpa sepengetahuan mereka, ternyata diam-diam Arina mendengarkan pembicaraan keduanya. Hatinya mendesah kecewa.

'Apa aku terlalu berharap? Aku memang bodoh, menganggap bahwa Aldrich menyukaiku, ternyata selama ini dia tidak memiliki perasaan apa pun padaku. Kalau begitu, mengapa dia begitu baik?'

"Tuan Putri," tegur nenek Silva sambil menepuk pelan bahu gadis itu.

"Hari sudah malam. Sebaiknya Anda beristirahat. Saya juga telah merapikan kamar Anda."

Arina hanya mengangguk sembari bergegas. Langkahnya tampak gontai. Nenek Silva hanya melihat saja gadis itu pergi menuju kamar.

Di luar, Aldrich dan Erland masih terus bercakap-cakap tanpa menyadari keberadaan Arina sebelumnya.

"Baguslah jika kau tidak menyukai dia, jika Arina memang tuan putri, kita tidak boleh menyukainya. Dia dan kita berbeda sangat jauh," ucap Erland sambil menoleh pada Aldrich.

"Aku tahu," jawab Aldrich sambil mengangguk.

***

Arina membuka mata saat pagi tiba. Ia berharap dirinya kembali ke rumah, tetapi ternyata ia tetap berada di pondok itu.

'Saat berharap aku akan terbangun dari mimpi ini, ternyata aku masih berada di dalamnya,' keluhnya dalam hati. Ia kemudian bergegas keluar dari kamar. Ternyata di luar masih begitu sepi. Entah ke mana perginya semua orang. Arina sempat menduga bahwa ia ditinggalkan sendiri saat mendengar suara orang di luar pondok itu.

"Tidak apa, semuanya akan baik-baik saja,' ucap orang tersebut. Begitu lembut menyejukkan terdengar di telinga Arina karena ia juga butuh untuk mendengar kata-kata yang sama.

Gadis itu bergegas keluar dan terkejut saat melihat Rion. Pemuda itu tengah tersenyum sambil membelai lembut seekor anak anjing di pangkuannya. Anjing kecil berwarna putih dengan belang coklat itu tampaknya tengah terluka. Meski begitu, binatang tersebut terlihat cukup tenang. Tidak berapa lama, anjing itu menguik pelan. Kembali Rion membelai lembut sambil mengulang kata-kata yang sama. Senyum tetap tidak lekang dari wajahnya.

Arina menatap separuh terpesona. Betapa berbeda dengan sosok Rion yang selama ini dilihatnya, begitu dingin dan sinis, seperti tidak berperasaan. Sedang sekarang di depannya, pemuda itu justru tengah tersenyum lembut pada binatang di pangkuannya.

'Apa dia memperlakukan hewan lebih baik daripada manusia?' gumam Arina dalam hati.

Seperti sadar tengah diawasi, tiba-tiba Rion menoleh. Tatapannya terpaku pada sosok Arina. Senyum lenyap dari wajahnya. Arina sendiri sangat panik. Ia segera berbalik dan bergegas masuk ke dalam. Karena terburu-buru, ia malah tersandung pengganjal pintu dan terjatuh.

Tangan terulur untuk menolong gadis itu. Arina mendongak dan melihat Rion membungkuk di depannya.

"Aku tidak butuh bantuanmu!" cetusnya sambil wajah merah padam. Sungguh memalukan baginya jatuh di hadapan pemuda itu.

Rion tidak menjawab. Arina kemudian berusaha untuk bangkit berdiri. Akan tetapi, kakinya terasa sakit, begitu pula lengannya.

'Pasti tergores karena terjatuh,' gumam gadis itu dalam hati.

'Meski sakit, aku tidak akan meminta tolong padanya.'

"Jadi kau tidak mau kubantu?" tanya Rion. Pemuda itu kemudian menegakkan tubuh.

"Ya sudah, telungkup saja di situ sepuasnya. Tunggu saja Aldrich pulang. Nanti dia akan membantumu."

Arina teringat percakapan Aldrich dengan Erland semalam. Ia tidak mau lagi pemuda itu berpura-pura baik membantunya. Ia juga sebenarnya tidak ingin meminta bantuan Rion, tetapi saat ini ia tidak punya pilihan lain.

"Tunggu!" panggilnya.

"Tolong bantu aku!"

Rion sudah berjalan agak jauh berhenti dan berbalik kemudian berjalan menghampiri Arina. Ia kembali membungkuk dan mengulurkan tangan.

Arina meringis kesakitan saat Rion berusaha menarik gadis itu berdiri.

"Aku tidak bisa melakukannya," ucapnya.

"Kita harus mencari cara lain."

Rion kemudian berjongkok. Sebelah tangannya melingkari pinggang gadis itu. Arina kemudian mengalungkan lengan di leher Rion. Akan tetapi hal itu justru menimbulkan masalah baru untuknya. Wajah mereka berdua begitu dekat hingga nyaris bersentuhan. Arina berubah gugup. Namun wajah Rion tampak biasa saja.

Rion kemudian setengah mengangkat tubuh gadis itu. Arina berdiri sambil mengaduh kesakitan. Tanpa bicara, Rion langsung menggendong Arina dan meletakkan gadis itu di kursi.

"Terima kasih," ucap Arina pelan. Jika Rion terus bersikap lembut seperti ini, bisa-bisa hatinya luluh.

'Tapi akankah ia juga bersikap sama seperti Aldrich?' duganya ragu.

"Tunggu di sini, aku akan mengambil obat!" seru Rion.

Arina hanya mengangguk. Lagipula ia akan ke mana jika kesakitan seperti sekarang?

Tidak berapa lama, Rion kembali. Ia kemudian duduk di samping Arina. Dibantunya gadis itu melipat lengan panjang gaun yang dikenakan. Gadis itu kembali meringis kesakitan saat goresan kain mengenai kulit yang terluka. Tadi Rion ingin memotong lengan gaun tersebut, tetapi Arina menolak. Gaun berwarna putih gading itu adalah milik nenek Silva yang dipinjamkan padanya. Melihat gaun tersebut begitu bagus dan bersih, wanita itu pasti menyimpannya dengan sangat baik.

"Jika kau kesakitan, pegang saja tanganku," ucap Rion tanpa menoleh. Arina hanya mengangguk kemudian memegang tangan pemuda itu erat-erat sambil menggigit bibir. Ia melihat wajah Rion tampak begitu datar, tetapi perlahan dirinya mulai memahami bahwa meski Rion terlihat begitu dingin, ia sebenarnya orang yang baik.

Perlahan Rion mulai mengoles obat di luka tersebut sambil meniup pelan. Wajah Arina memerah saat embusan hangat itu menerpa kulitnya. Kini rasa sakitnya seolah lenyap berganti dengan debaran keras dan sesak yang berbaur menjadi satu.

"Tenanglah, semua akan baik-baik saja," ucap Rion.

'Apa ini? Apa dia memperlakukan aku seperti anjing kecil tadi?' tukas Arina bertanya-tanya dalam hati.

***

Rion berlutut di depan Arina dan mengoleskan obat di kaki gadis itu yang terluka ketika pintu depan tiba-tiba terbuka.

"Kami pulang!" seru Erland. Akan tetapi pemuda yang banyak bicara itu langsung diam membeku. Barang bawaannya bahkan terjatuh berserakan.

"Kalian sedang apa?" tanyanya tanpa sadar. Nenek Silva dan Aldrich juga menyusul masuk. Aldrich hanya diam melihat itu.

"Kalian sudah pulang? Baguslah," ucap Rion sambil bangkit berdiri kemudian bergegas menghampiri dan memberikan salep obat yang dibawanya pada nenek Silva.

"Tadi ada orang yang suka mengintip diam-diam, akibatnya dia terjatuh dan terluka."

Mata Arina membeliak mendengarnya. Ia melempar tatapan tajam menusuk pada Rion, tetapi pemuda itu justru bergegas pergi dari situ.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel