Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

delapan

Arina menimbang-nimbang, ia terus saja berpikir apakah harus meminta Rion untuk mengajari dirinya. Tapi apa yang harus dikatakannya pada pemuda itu? Selama ini dia dan Rion tidak dikatakan menjalin hubungan dengan baik. Kadang pemuda itu bersikap lembut, tetapi lebih sering justru bersikap galak, bahkan tidak peduli, bahkan juga mengusir dirinya.

'Jika aku salah belajar, mungkin dia akan langsung mengusirku pergi," gumam Arina dalam hati.

Arina melihat Rion tengah berjalan keluar dari pondok. Gadis itu segera menghalanginya.

"Ada apa? Kenapa berdiri di depanku?" tegur Rion datar.

Arina hanya membuka dan menutup mulutnya tanpa ada kata-kata yang keluar. Rion hanya menggeleng kemudian bergegas ke samping untuk melewati gadis itu, tetapi lagi-lagi Arina langsung menghadang.

"Kau ini kenapa? Kalau ingin bermain-main, aku tidak ada waktu!"

Rion kembali melangkah ke arah lain. Akan tetapi seperti sebelumnya, Arina kembali menghalangi.

Rion berdecak kesal. Wajah Arina berubah ketakutan. Rion tidak membuang waktu lagi, ia kemudian mendorong Arina hingga nyaris terjatuh setelahnya ia segera berlalu. Melihat Rion pergi, Arina juga buru-buru mengikuti.

***

Aldrich tengah duduk seorang diri sambil melemparkan beberapa daun dari rumput yang tengah dicabut olehnya dengan penuh emosi. Dia sengaja memilih hutan yang paling jauh dari perkampungan agar tidak seorangpun mengganggunya.

"Ternyata kau berada di sini," ujar Erland yang bergegas menghampiri. Aldrich menatap tidak percaya.

"Bagaimana bisa kau menemukanku?"

Erland berdecak sambil menggeleng kemudian duduk di samping Aldrich.

"Kau ini bagaimana? Cemburu pasti telah membuatmu linglung. Apa kau lupa aku adalah pencari jejak terbaik di pasukan? Bahkan kau dan Rion selalu mengandalkanku."

Aldrich kembali menatap lurus ke depan. Erland justru tersenyum makin lebar.

"Siapa bilang aku cemburu? Lagi pula aku dan Arina juga baru bertemu. Tidak ada apa-apa antara kami."

"Benarkah? Bukankah kau marah karena Arina membawa pedang pemberian Rion?"

"Bukan seperti itu. Hanya saja ... hanya saja aku ... aku merasa disepelekan. Seharusnya Arina meminta bantuanku karena aku yang mengajari dia, tetapi dia malah ...."

Tutur kata Adrich terhenti saat Erland mengangkat tangan.

"Sudah, sudah, jangan menyangkal lagi. Semua itu terlihat jelas di wajahmu. Kau jatuh hati pada Arina."

Erland kemudian diam sejenak.

"Aku tidak akan ikut campur. Itu adalah masalah pribadimu. Hanya saja seharusnya kau ingat Arina adalah tuan putri. Kalian tidak akan bisa bersama karena kita terlalu berbeda dengannya."

"Apa kau yakin dengan itu? Mungkin Arina benar. Semua adalah kesalahan dan dia adalah gadis biasa."

Erland menghela napas panjang. Ia menepuk pundak sahabatnya itu.

"Meski kau menyangkal, ramalan itu tidak mungkin salah. Sebaiknya kau segera menerima kenyataan bahwa Arina adalah tuan putri."

***

"Ayolah, ayolah, kumohon ajari aku," pinta Arina dengan nada memelas sambil terus mengikuti Rion. Wajah mungil tirusnya sengaja dibuat mengiba.

"Ayolah," mohonnya sambil menggamit lengan Rion erat-erat. Dia sudah lelah berjalan terus di samping Rion. Jika berjalan lagi, mungkin besok kakinya tidak akan bisa digerakkan.

"Lepaskan. Cepat lepaskan!" gertak Rion sambil berusaha menarik tangannya yang tengah dipegang erat.

"Tidak akan. Jika kau terus tidak mau, akan kuberitahu orang-orang bahwa kau tidak bertanggung jawab atas diriku."

Orang-orang di sekeliling berhenti dan melihat ke arah mereka sambil menggeleng. Tatapan menyalahkan serta bisik-bisik penuh tuduhan semua tertuju pada Rion.

"Kau tidak perlu mengancamku. Kau bahkan sudah memberitahu semua orang sekarang!" cetus Rion.

Arina melihat sekeliling dan menyadari kesalahannya. Ia melepaskan cekalannya pada tangan Rion dan segera meminta maaf juga mengatakan bahwa semua hanya salah paham. Rion sendiri bergegas berlalu tanpa peduli lagi. Melihat itu, Arina segera kembali mengikuti.

***

"Bisa tidak kau berhenti?" gertak Rion dengan nada kesal.

"Sebenarnya kau mau apa mengikuti aku dari tadi."

Arina segera merapikan rambutnya yang agak berantakan. Perjalanan yang lumayan jauh ini membuat ia begitu lelah. Wajahnya berselimut debu dan peluh. Rambutnya yang diekor kuda juga beberapa helai lepas dari ikatan.

Rion menatap gadis itu dengan tidak sabar. Meski begitu, Arina tidak mau menyerah. Dibalasnya tatapan kesal Rion dengan memberanikan diri.

"Aku hanya ingin kau mengajariku bermain pedang," ujar Arina sambil memperlihatkan pedang di tangan.

"Kenapa meminta belajar dariku? Oh, aku tahu," ujar Rion sambil menatap Arina dari atas ke bawah.

"Pasti Aldrich sudah putus asa dan tidak mau mengajarimu lagi. Kalau tidak bisa, ya sudah tidak perlu memaksa diri. Kasihan bukan, lelah mengajari tapi sia-sia?"

Mata Arina melotot mendengar lontaran ejekan dari Rion.

"Kau ini benar-benar keterlaluan!" teriaknya sambil menyerang pemuda itu. Akan tetapi, Rion berkelit menghindar, akibatnya Arina justru menabrak orang lain yang tengah membawa segerobak sayuran.

"Hei, Nona, jalan lihat-lihat. Sekarang juga bayar ganti rugi, kau sudah membuat semua berantakan!" tegur lelaki itu sambil menuding gerobaknya yang terguling. Arina sontak menggeleng.

"A-ku min-ta maaf. Aku tidak sengaja," ucapnya di wajah sangar yang penuh amarah itu. Orang itu terbahak.

"Kau manis juga. Baiklah, aku akan memaafkanmu," ujarnya. Arina tersenyum mendengarnya.

"tapi kau harus mau menjadi istriku!"

"Tidak, aku ...."

"Bukankah kau merasa bersalah? Tidakkah kau ingin membayar semua kerugianku? Kau cukup beruntung, aku tidak terus menagih uang padamu, aku hanya meminta kau menjadi istriku."

"Tuan, mana bisa kau berbuat seperti itu pada gadis ini?" tegur seorang pria. Orang-orang yang berada di sana juga berkomentar senada.

"Diam kalian!" bentak lelaki pembawa gerobak sayur tersebut.

"Apa kalian tidak tahu siapa aku? Aku adalah tuan Anderson. Segala keinginanku harus dituruti, jika ada yang melawan ...."

Lelaki itu kemudian bersiul. Sekelompok orang berbaju hitam dan mengenakan topeng muncul di sana. Mereka lalu menghunus pedang ke arah orang-orang itu.

"aku tidak akan segan lagi. Aku akan menyuruh mereka menghabisi kalian!"

Orang banyak tersebut membeku ketakutan. Meski ingin menolong, tetapi mereka tidak berani. Tuan Anderson adalah orang kaya dan berkuasa di tempat itu, tetapi semua yang menjadi hartanya juga hasil rampasan. Begitu pula para perempuan muda di sana, mereka yang berwajah cantik selalu diambil olehnya untuk diperistri. Jika ada yang menghalangi, maka orang tersebut akan disiksa dan dibunuh.

Tuan Anderson tersenyum melihat itu. Ia kemudian kembali menatap ke arah Arina.

"Tidak ada yang menghalangi kita, Sayang. Sekarang ayo ikut denganku. Kita akan bersenang-senang."

Arina segera mencabut pedang dari sarungnya dan menghunus benda tajam tersebut ke arah lelaki di hadapannya itu. Ia melihat sekeliling dan tidak menemukan sosok Rion.

'Ke mana perginya dia? Apa dia pergi begitu saja tanpa berniat menolongku?' gumam Arina dalam hati.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel