sembilan
Tuan Anderson terbahak melihat Arina tengah mengacungkan pedang padanya. Arina segera menyadari bahwa lelaki tersebut tidak takut padanya. Arina melangkah mundur. Tangannya yang gemetar tetap menggenggam pedang dengan erat dan menghunus ke arah lelaki itu.
Tuan Anderson bergerak cepat dan segera menghampiri Arina. Gadis itu kemudian menyerang dengan pedangnya, tetapi tuan Anderson berkelit menghindar. Ia kemudian memukul jemari tangan yang memegang pedang dengan tongkat yang dibawa. Arina mengaduh kesakitan dan menjatuhkan pedang di tangannya tersebut.
"Maafkan aku, Manis, tapi kau terlalu keras kepala dan mencoba melawan. Sekarang kau ikut denganku!" ucap tuan Anderson sambil terkekeh dan membopong tubuh Arina di bahunya.
"Tidak, tidak, lepaskan aku!" jerit Arina sambil memukul-mukul punggung lelaki itu. Hal itu seolah tidak berarti karena tuan Anderson justru terbahak. Air mata berurai di wajah Arina. Ia benar-benar panik dan ketakutan. Tidak lama anak buah tuan Anderson datang dengan kereta kuda. Tuan Anderson segera membawa masuk Arina dan pergi dari tempat itu.
***
"Di mana Arina?" tegur Aldrich saat melihat Rion datang seorang diri. Ia tadi mendengar bahwa Arina pergi bersama Rion. Meski merasa cemburu, tetap saja ia tidak bisa menahan khawatir saat melihat Arina tidak pulang bersama Rion.
"Dia pergi bersama bandit gunung yang bernama Anderson," jawab Rion datar.
"Kau ini!" teriak Aldrich marah sambil mendorong Rion hingga membentur pagar kayu.
"Kenapa kau tidak menyelamatkan dia?"
"Kenapa harus menolongnya? Justru lebih baik kalau dia tidak ada."
Aldrich berteriak marah dan bergegas pergi.
"Kali kau benar-benar keterlaluan," ucap Erland ke arah Rion kemudian bergegas mengikuti Aldrich.
Rion hanya melihat saja kepergian mereka. Raut wajahnya tampak tidak berubah.
***
Arina duduk di lantai dengan tubuh gemetar. Tuan Anderson terus saja merangsek maju, dia sudah berulangkali menghindar. Lelaki yang telah gelap mata itu terus saja berusaha melampiaskan nafsunya.
"Lepaskan. Lepaskan aku!" teriak Arina sambil meronta saat lelaki itu berhasil merengkuh tubuhnya dengan erat.
"Rion, tolong aku!" teriak Arina dengan nada putus asa saat ia tidak bisa melepaskan diri dari lelaki di hadapannya. Tuan Anderson terbahak mendengarnya.
"Kekasihmu itu tidak berada di sini. Ia terlalu pengecut untuk datang kemari!"
Air mata mengalir deras dari pelupuk Arina. Ia tidak ingin percaya bahwa Rion sungguh tidak peduli padanya. Akan tetapi, ternyata pemuda itu sama sekali tidak menampakkan batang hidungnya.
***
Pemuda yang tengah diharapkan Arina untuk menyelamatkannya tersebut justru sedang duduk-duduk di depan pondok dengan santai sambil menghitung sesuatu.
'Seharusnya sudah bereaksi sekarang,' ucapnya dalam hati dan bergegas masuk ke dalam. Untunglah nenek Silva belum pulang jika tidak wanita tua itu pasti akan mengomel saat melihat dirinya bersantai sementara tuan putri dalam ramalan diculik oleh penjahat.
***
Arina terkejut saat melihat tubuh Tuan Anderson mendadak lunglai. Sekuat tenaga ia mendorong tubuh besar lelaki itu. Tidak lama gadis itu melihat Tuan Anderson kejang-kejang. Darah merah kehitaman keluar dari mulutnya.
Arina membekap mulutnya dan berlari keluar dari kamar tempat dia disekap. Anak buah tuan Anderson yang melihatnya hanya mendiamkan karena berpikir pimpinan mereka tengah bermain-main dengan gadis yang baru dibawa pulang. Akan tetapi, saat menyadari tuan Anderson tidak juga keluar, mereka bergegas masuk ke dalam kamar. Dua orang tersebut terperanjat saat melihat tuan Anderson tidak bernyawa. Darah keluar dari mata, hidung, mulut, dan juga telinganya.
"Temukan gadis itu. Dia telah membunuh tuan Anderson!" seru salah seorang dari mereka kepada rekan-rekan lain yang tengah berjaga di tempat itu.
Arina ketakutan mendengar itu, tetapi ia terus melangkah. Gadis itu kembali berlari menembus hutan yang sunyi. Rumput liar tumbuh tinggi menjalar. Arina terus saja berlari. Suasana yang telah menjelang sore membuat hutan tersebut berubah menjadi sedikit gelap. Arina panik dan cemas saat mendengar derap langkah banyak orang yang semakin dekat.
"Itu dia!" teriak salah seorang anak buah tuan Anderson.
"Kita harus membalas dendam padanya karena telah membunuh pimpinan kita!"
Arina berusaha untuk terus lari. Akan tetapi, langkah para bandit itu lebih cepat darinya. Mereka telah berada di hadapan dan di sekeliling gadis itu.
"Kau telah menyerang pimpinan kami. Mati kau sekarang!" teriak salah seorang dari mereka. Arina menutup mata dan mengangkat tangan seolah hendak menepis. Tidak lama, justru terdengar suara pedang beradu. Saat ia membuka mata, ia melihat Aldrich dan Erland berada di sana dan berkelahi dengan para penjahat itu.
"Kau tidak apa-apa?" tanya Aldrich sambil menghampiri Arina saat para bandit itu telah selesai ditangani. Sebagian dari mereka terluka parah dan ada pula yang tewas, sedang yang lain melarikan diri ke dalam hutan.
Arina mengangguk sambil menitikkan air mata. Ia kemudian memeluk Aldrich dengan erat.
"Tidak apa-apa. Semua sudah baik-baik saja sekarang," ucap Aldrich lembut sambil menepuk punggung gadis itu. Mereka kemudian segera berjalan pulang.
"Apa kakimu lelah?" tanya Aldrich. Arina hanya menggeleng. Akan tetapi, Aldrich kemudian memaksa untuk menggendong gadis itu di punggungnya. Semula Arina berusaha menolak, tetapi Aldrich terus saja memaksa hingga ia akhirnya setuju. Semua yang terjadi pada hari ini ternyata membuat Arina begitu lelah. Tanpa sadar, ia tertidur di punggung Aldrich. Pemuda itu tersenyum kecil saat menyadari Arina tengah terlelap.
***
Malam hari, Rion berada di luar.pondok. Ia sedang dihukum oleh nenek Silva atas perbuatannya yang membahayakan Arina. Membuat gadis itu dan tidak bertindak untuk menolong. Sebagai hukuman, Rion tidak mendapatkan jatah makan malam.
"Selalu saja seperti ini, apa tidak ada cara lain untuk menghukum orang?" keluh Rion. Tidak lama pintu pondok terbuka dan Arina bergegas keluar sambil membawa sepiring nasi dan lauk.
"Makanlah," ujar gadis itu sambil mengulurkan piring di tangannya tersebut pada Rion.
Pemuda itu menggeleng.
"Apa maksudmu melakukan ini? Jangan kau kira dengan berbaik hati, aku juga akan baik padamu!"
"Aku tahu," sahut Arina sambil tersenyum.
"Aku tahu kau orang yang baik. Sebenarnya kau juga yang telah memberi racun pada tuan Anderson. Kaulah yang telah menyelamatkanku dari pria jahat itu."
"Jangan terlalu banyak menduga-duga," sahut Rion.
"Aku tidak menduga-duga. Aku sudah memikirkannya dengan baik, hanya kau yang mungkin melakukan hal itu, tapi karena kau terlalu gengsi jadi bahkan tidak mau mengakui hal itu."
Rion bersidekap. Matanya menyipit menatap gadis itu.
"Ternyata kau tidak sebodoh yang kukira."
Wajah Arina tampak berubah cerah. Matanya berbinar dan senyum di bibirnya melebar.
"Kalau begitu, terima kasih banyak ya," ujarnya sambil maju dan mencium pipi Rion. Rion sendiri tampak begitu terkejut dengan tindakan spontan Arina tersebut. Dia segera mengusap pipinya.
"Kau ini apa-apaan?" ujarnya. Arina tertawa lebar.
"Ternyata jenderal Rion yang hebat pemalu juga, tapi menyenangkan melihatmu seperti ini."
"Tidak, aku tidak seperti itu," sahutnya pelan.
"Ayolah, tidak perlu menyangkal, aku sudah melihatnya, kok."
Rion tetap saja mengelak. Senyum muncul di bibirnya saat Arina terus mendesak dia untuk mengaku.
Di belakang mereka, Aldrich menatap tidak senang.
'Kenapa? Kenapa justru Rion yang diperhatikan? Apa yang kulakukan tidak berarti untuknya?'