Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

sepuluh

Arina kembali berlatih sihir dengan nenek Silva. Gadis itu mendesah putus asa. Sama seperti sebelumnya, tetap ia tidak bisa melakukan sihir.

"Kau harus yakin pada dirimu sendiri. Kau harus percaya bahwa dirimu bisa melakukan sihir," ucap nenek Silva. Arina mengangguk. Tentu mudah mengatakan itu bagi orang yang berasal dari dunia tersebut, sedang Arina berasal dari dunia modern yang tidak percaya dengan sihir. Arina tidak pernah menganggap sihir itu ada dan ia juga tidak pernah percaya bisa menyihir.

Arina mencoba melakukan sekali lagi dan ia tetap saja gagal. Gurat kecewa tampak di wajah nenek Silva, tetapi wanita itu berhasil menutupi dengan baik. Meski begitu, hal tersebut tetap membuat Arina merasa tidak enak.

***

Arina berjalan pulang dengan lunglai. Nenek Silva berjalan di sampingnya tanpa bicara. Arina merasa telah mengecewakan wanita itu. Sesampai di pondok, gadis itu justru duduk melamun di teras. Ia terkejut saat seseorang mengulurkan pedang padanya. Ia menoleh dan melihat Rion berdiri di sampingnya.

"Rion, pedang ini ...."

Arina ingat betul pedang itu adalah yang dulu diberikan Rion padanya.

"Aku sudah memungutnya. Jangan sampai kau membuangnya lagi. Kau juga harus rajin berlatih."

"Baiklah, terima kasih banyak," ujar Arina sambil bergegas bangkit berdiri. Ia hendak mencium pipi pemuda itu seperti sebelumnya, tetapi Rion justru berlalu begitu saja.

"Apa kau tidak mau belajar?" tegur Aldrich sambil menggenggam erat pedang. Ia benar-benar merasa kesal. Dirinya baru saja hendak memberikan pedang pada gadis itu, tetapi lagi-lagi Rion mendului dia.

Arina heran saat Aldrich kembali masuk ke dalam.

"Kenapa dia? Kupikir mau mengajariku, tapi kenapa justru kembali masuk? Apa dia masih marah?'

***

Aldrich ternyata masih tetap mau mengajari Arina. Gadis itu kini bisa mengayunkan pedang dengan mudah karena memakai pedang pemberian Rion. Aldrich yang melihat itu berusaha keras menekan rasa cemburu.

"Cukup latihan hari ini!" seru Aldrich yang tidak tahan lagi saat mendapati Arina menatap pedang di tangan sambil tersenyum.

"Pedang ini ...."

Kata-kata Arina terhenti saat melihat Aldrich bergegas masuk ke dalam pondok.

'Kenapa dia? Apa dia marah karena aku tidak mengalami kemajuan yang pesat?' duga gadis itu.

'Kalau begitu, sebaiknya aku berlatih lebih keras lagi agar dia tidak kecewa.'

***

"Gerakan apa itu? Terlalu lemah. Tidak bertenaga. Jika seperti itu, kau akan terbunuh lebih dulu oleh musuh yang kau hadapi," tegur Rion. Ia tengah bersidekap di halaman. Malam sudah menjelang, tetapi Arina tidak juga berhenti berlatih.

"Aku tidak mau membunuh orang," sahut Arina sambil kembali mengayunkan pedang.

"Dalam pertarungan kita ini, kita tidak diberi pilihan. Hanya membunuh atau terbunuh. Jika kau tidak menaklukkan musuh dengan kemampuanmu, maka itu artinya kau memilih terbunuh."

Arina tertegun memikirkan kata-kata itu. Benar, dunia yang kini dia huni jauh berbeda. Jika ingin pulang, setidaknya ia harus bertahan hidup lebih dulu.

"Malah bengong," tegur Rion sambil mengambil pedang miliknya dan menghunus ke arah Arina.

"bagaimana kalau kita bertanding sekarang?"

"Apa?" ucap Arina terkejut.

Akan tetapi, Rion tidak berkata apa-apa lagi. Dia langsung menyerang Arina.

***

Arina kewalahan menghadapi serangan Rion meski dia beberapa kali menangkis dan berkelit menghindar. Serangan pemuda itu selalu tajam dan nyaris mematikan. Hingga akhirnya Arina terjatuh dan Rion menghunus pedang ke lehernya.

"Jika kau hanya seperti ini, kau akan membuatmu dirimu terbunuh," ucap Rion datar.

"Kalian sedang apa?" tanya Aldrich. Ternyata Aldrich, Erland, dan nenek Silva sudah berada di luar pondok dan menyaksikan itu.

"Apa yang kau lakukan?" tegur Aldrich lagi sambil menatap tajam Rion dan bergegas menghampiri untuk membantu Arina. Akan tetapi, Arina justru memilih untuk bangun sendiri tanpa menerima uluran tangan Aldrich.

"Jika ia bertemu musuh dengan kemampuannya sekarang, dia pasti akan kalah. Kau jangan terlalu memanjakannya!" ujar Rion.

"Tapi kau sungguh keterlaluan. Rion, seranganmu itu ...."

"Aku tahu apa yang kulakukan," potong Rion.

"Dia tidak akan terluka. Tapi jika kemampuan dia tidak juga bertambah, bukan aku yang akan melukainya nanti."

Aldrich kembali hendak berucap, tetapi cekalan tangan Arina menghentikan ia berkata-kata.

"Rion benar. Aku yang terlalu lemah. Aku akan berlatih lebih keras lagi," ucap gadis itu.

"Kuharap kau juga mengajariku tanpa memberi keringanan. Aku juga ingin bisa melindungi diriku, juga melindungi kalian."

"Rion hanya bertindak berlebihan. Bukankah ada kami yang akan selalu melindungimu?"

"Aku akan tetap belajar untuk bisa melindungi semua orang. Kalau kau tidak mau, maka aku akan meminta Rion yang mengajariku."

Aldrich menghela napas panjang. Arina ternyata kukuh dengan keinginannya. Ia tidak bisa lagi mencegah, tetapi ia juga tidak bisa membiarkan Arina makin sering bersama Rion.

"Baiklah. Kalau begitu, aku akan mengajarimu."

Arina hanya mengangguk sambil tersenyum. Aldrich mendesah pelan merasa dirinya telah gagal mendapatkan hati gadis itu karena Arina selalu saja mendengar perkataan Rion. Akan tetapi, ia bertekad untuk tidak menyerah begitu saja.

***

Arina juga dengan sungguh-sungguh melatih ilmu sihirnya. Ia tidak mau lagi terpuruk karena tidak bisa melakukan sihir. Ia harus bisa karena ia akan melindungi dirinya juga mereka yang telah baik padanya.

Setelah berlatih dengan sangat keras, akhirnya Arina berhasil mengangkat dan mengubah bebatuan menjadi debu hanya dengan gerakan tangan dari jarak yang jauh. Gadis itu juga berhasil bunga-bunga bermekaran dan buah-buah meranum sebelum masanya.

Arina begitu senang dan bangga. Ia berlari dan berputar. Dengan gerakan tangan, ia membuat kelopak-kelopak bunga berjatuhan menerpa dirinya.

Nenek Silva juga tampak bangga menatap gadis itu. Aldrich yang diam-diam melihat juga terpesona melihat kecantikan Arina.

***

Kemampuan pedang Arina juga mengalami kemajuan. Kini gadis itu semakin lincah dan mahir menggunakan pedang.

'Siapa sangka aku menjadi seperti ini? Kehidupan kini tidak lagi membosankan, bahkan kini aku tidak bisa lagi menerka masa depanku,' ucapnya.

"Kau mengalami kemajuan pesat, Arina," puji Aldrich sambil menepuk kepala gadis itu.

"Ini semua berkat dirimu. Karena kau yang mengajariku, aku jadi bisa melakukan gerakan yang sulit dan hebat."

Aldrich tersenyum mendengarnya. Dia merasa mungkin kali ini dirinya berhasil membuat kesan di hati gadis itu. Kali ini ia lebih menang daripada Rion.

***

"Apa kata Aldrich? Kau sudah hebat?" tanya Rion saat Arina menemuinya. Gadis itu tetap saja memaksa meski Rion telah menghindar seperti sebelumnya.

"Benar, kali ini aku lebih hebat daripada sebelumnya," jawab Arina dengan mata berbinar bangga.

"Benarkah? Tapi aku masih meragukannya."

"Kau boleh mengujiku. Aku juga datang kemari karena ingin mencoba agar kita bertanding sekali lagi."

Rion terbahak sambil menggeleng. Ia bersidekap sambil menatap gadis di hadapannya.

"Ilmu masih sejengkal saja, kau sudah begitu bangga, bahkan berani menantangku, tapi baiklah, aku penuhi keinginanmu. Ikut aku sekarang!"

Arina segera melangkah di belakang pemuda itu. Ia penasaran mengapa mereka tidak bertanding di situ saja.

'Mungkin dia malu jika kalah dariku,' batin Arina geli.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel