Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 9 Sentilan Mahluk Di Tubuh Nina

Bab 9 Sentilan Mahluk Di Tubuh Nina

Jreet!

Rasa apa ini? Batin Nina. Kenapa seperti ada yang masuk dalam tubuhku.

“Nak, kamu ... tidak apa-apa, kan?” Pak Aryo terlihat sedikit cemas.

Dalam bayangan lelaki berkemeja cokelat ini, mungkin anaknya kelelahan sehabis dari kota. Dia pindai, dan Aryo merasa masygul.

Nina seperti ... perempuan yang tersengat listrik. Tubuhnya kelonjotan.

“Minum dulu coba, Nin,” Romlah – istrinya, yang juga Ibunya Nina menawarkan segelas air putih.

Nina mengangguk. Lalu, sambil berdiri dia langsung menenggak habis air minum ini.

“Bismillah dulu, Nak. Minumnya sambil duduk, jangan berdiri!” Nasihat Aryo.

Karenina menatap Aryo. Pada pandangan sekelebat, matanya memindai Aryo tak senang.

Mahluk yang bersarang di tubuh Nina, sepertinya tak suka dengan ucapan Aryo. Namun, sedetik kemudian, Nina berhasil menguasai tubuhnya.

“Iya, Pak. Maaf, Nina kehausan!”

Ayah mengangguk-angguk. “Iya, tidak apa. Lain kali, harus sopan. Kamu kan nanti jadi guru di sini,” kata Aryo.

“Memangnya ... Kamu sudah siap, Teh?” Romlah memanggil Nina dengan sebutan Teteh.

Nina mengangguk mantap. Ada gembira yang tiba-tiba meluap.

[Sebentar lagi, kamu akan menemukan jodohmu, berupa dinding yang kokoh dan macho!]

Nina memegangi dadanya. Perasaannya tidak enak, namun ia tutup-tutupi. Ada suara gaib berkelebat di telinganya.

"Nina yakin lah Pak. Lagian di kota panas, Nina kangen kampung" ungkapnya diiringi senyum.

Hening sesaat, kemudian Romlah kembali memecah keheningan dengan suaranya yang terdengar begitu berisik. Dari lagaknya, perempuan ini seperti hendak menyelidik.

"Tadi perjalanan kamu gimana, Nina?" tanya Romlah kemudian memijat kaki putrinya yang terjulur ke atas meja. Tidak sopan, namun hal itu telah menjadi kebiasaan Karenina sejak dulu.

"Lancar, Bu" jawab Nina menatap lelah ibunya.

Dia menaruh telapak tangannya di leher belakang kemudian menggerakkan kepalanya ke kanan dan ke kiri secara perlahan. Ah! Rasanya pegal sekali tubuhnya hari ini.

"Gak ketemu sama siapa-siapa gitu?" tanya Romlah ke sekian kali. Alisnya terangkat memancing sesuatu dari jawaban putrinya.

Nina memandang Ibunya. Apa perempuan ini menangkap basah, waktu Junot mengantarnya dengan oplet sewaan.

Hanya mereka yang menumpang. Junot seperti anak sultan, yang bisa membayar oplet itu dengan mudah.

"Ketemu penumpanglah banyak!" ketusnya cukup jengah dengan pertanyaan Romlah.

Romlah bernapas kasar dengan raut pasrah menatap suaminya. Bibirnya berdecak beberapa kali menunjukkan kekecewaan.

Karuan saja, Romlah kecewa. Tak sengaja, dia menangkap basah sebuah oplet alias angkot yang mengantar Nina hingga ke depan pagar.

Dan sekali lewat, Romlah melihat Junot. Lelaki yang ketika kecil mengajak Karenina untuk menikah.

Coba tebak! Yes! Romlah adalah fans terdepan Junot.

Dia berdoa setiap waktu, semoga Junot dan Karenina berjodoh, setelah perempuan ini menjadi guru di tempat mereka.

Nina melirik ibu dan bapaknya penuh selidik. "Ibu, sama Bapak tidak merencanakan apa-apa kan buat Nina?"

Wajah Karenina kembali dibuat seperti seorang intel. Mengusik orang tua di depannya tak nyaman.

Mata Nina memindai kedua orang tuanya, yang tampak mesam-mesem. Sepertinya, aksi mereka diketahu Nina dengan mudah.

"Keren banget bahasa mu, Nak. Udah kayak pelem-pelem di tipi!" cuit Romlah dengan logat sunda yang kental.

Ia kemudian bangkit lalu berniat menuju dapur. Diikuti Karenina yang juga hendak menuju kamar yang berada dekat dengan dapur.

Aryo menatap putrinya ragu, kemudian bertanya. "Kamu enggak ketemu Junot, Na?"

Sontak tubuh dan kepala Karenina berputar cepat. "Junot Pak? Si Jelek yang waktu kecil giginya berantakan, seperti habis kena tsunami!"

“Sekarang giginya bagus. Keren lagi. Istilah anak muda jaman now, giginya Si Junot kece badai. Pakai kawat dia,” kata Romlah, yang ternyata menguping pernyataan Karenina.

“Kawat apa? Kawat bangunan,” ejek Karenina.

“Hush! Enak saja! Kawantnya warna biru laut, cakep. Kayak aktor-aktor di tipi gitu,” promosi Bu Romlah.

“Junot sekarang mapan, lho. Kerja di rumah sakit, sebagai psikolog begitu,” promosi Aryo.

Karenina tertawa. Ngakaknya sungguh-sungguh so hard.

Bibirnya melengkung ke bawah, seolah hendak mengejek bapaknya. Bukannya kikuk, bapaknya ikut-ikutan melengkungkan bibirnya : mengejek Karenina.

“Kalian dibayar berapa, sih, sama Junot? Kenapa jadi tim pansos begitu?”

“Wwuah, sembarangan kamu, Teh! Memang Kak Junot sekarang mapan, kan! Wajar, kalau kamu harus dekatin dia,” saran Romlah.

“Ada Bu, Pak, caranya supaya aku bisa cepat dekat dengan lelaki berbehel biru norak itu?” sengit Karenina.

“Hush! Malah ganteng-ganteng begitu disebut norak. Emang bagaimana caranya?” tanya Romlah.

“Aku jadi gila. Biar tiap hari, dia bisa terapi psikologisnya aku,”

“Astaga! Nina! Jangan main-main! Kamu menyumpahi diri kamu gila?” Romlah tampak kaget bukan kepalang.

“Iyalah, habisnya bapak sama Ibu, masak aku didekat-dekatin sama Junot. Ish! Jijai! Jangan-jangan, ini ulah bapak, ya?” serang Karenina.

Aryo membalas dengan senyuman pertanda, 'ya'. Karenina tampak kaget dan mulai berspekulasi.

'Jangan-jangan Junot sengaja naik kereta untuk menjemputnya?'

'Jangan-jangan si dower itu juga memata-matainya?'

'Jangan-jangan cowok ceking, ringkih dan gigi berantakan itu sengaja dikirim oleh orang tuanya padanya?'

Dan, banyak 'jangan-jangan' yang lainnya. Karenina mencoba meraih oksigen dari udara di sekitarnya.

[Nina! Singkirkan lelaki itu! Kamu akan bertemu jodohmu di sekolah, huahaha.]

Suara gaib itu mempermainkan Karenina lagi. Dan Karenina menatap orang tuanya dengan setengah benci. Karenina tak mengerti, kenapa ini?

Ia mencoba meredam gundukan emosi berapi-api yang sebelumnya muncul. Apa yang telah dilakukan orang tuanya?

Apakah mereka sengaja mendekatkan si Junot dower dengannya? Tidak adakah lelaki di kampungnya yang lebih menarik dibanding Junot?

Romlah menghampiri dengan cepat, kenapa wajahnya sebegitu antusias ketika mendengar nama Junot? Pikir Karenina.

"Kamu ketemu sama Junot, Na? Dia gimana menurutmu?" cecar Romlah membuat Karenina muak.

"Apanya yang gimana dari dia sih, Bu? Sekarang Nina tanya, apa coba lebihnya dia di mata Ibu sama Bapak?" tanya Karenina tanpa bisa di jawab oleh keduanya.

"Cowok ceking, kusem, gigi ancur, bibir kelewat tebel, apa lagi menurut ibu?"

"Ibu suka jambulnya" ucap Romlah berseri-seri. Karenina menganga, tak habis pikir dengan pemikiran aneh ibunya itu.

"Dia itu pinter mengaji, suaranya merdu, lulusan Psikologi lagi. Insya Allah, kamu bisa tenang lahir, batin kalau sama Junot" ucap Bapaknya mengundang decakan kesal yang berkali-kali lipat lagi dari wanita itu.

"Duh, Pak! Banyak lagi yang lebih baik dari si Junot ceking itu!"

"Jangan sebut-sebut dia ceking terus, Na. Tidak baik menghina ciptaan Tuhan seperti itu, nanti kamu kena azab" peringat Aryo pada putrinya.

"Tapi, Junot emang ceking, dower, kusem bikin mata mual kan, Pak? Ngaku aja deh!" ucap Karenina melipat tangannya kesal.

Dengan ragu Bapaknya menjawab, "Dulu, sewaktu kecil, sekarang dia ganteng. Tapi, kan dia sholeh, Neng. Kamu pasti bersyukur kalau bersuamikan dia"

"SUAMI?!"

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel