Bab 8 Diteror Siluman Buaya
Bab 8 Diteror Siluman Buaya
Ada apa dengan Karenina. Kenapa dia sebegitu bencinya dengan aku?
Apa dia tidak melihat perubahanku? Dari anak dekil menjadi pemuda yang, ya ... cukup tampan lah. Batin Junot sedikit narsis.
Junot berbalik lalu kembali beradu pandang dengan Karenina. Junot menatap lekat Karenina, hatinya terasa senang sekali karena bisa kembali bertemu wanita yang dicintainya.
"Ayo, saya antar ke rumah" ajak Junot dengan ramah.
"Gak!" ketus Karenina.
Junot berhenti lalu mengangkat kedua alisnya tidak heran, sudah pasti Karenina si kepala batu tak akan mau ia antar pulang.
"Denger ya, Junot jelek, saya tidak mau diantar sama kamu! Dan jangan pernah mengadu apa-apa ke orang tua saya soal tadi" tegas Karenina.
"Soal apa? Soal di angkot kamu teriak-teriak ketakutan itu?" jawab Junot masih sangat ramah tapi Karenina merasa sedang diolok-olok oleh pria di hadapannya itu.
“Kamu mengejek aku?!" Karenina bersungut sebal. "bukan soal itu. Soal saya yang mau pingsan di stasiun!" ucap Karenina merasa sangat dongkol.
“Ooh, bisa diatur. Lagian aku merasa beruntung kali,” kata Junot terkekeh.
Beruntung? Apa yang dimaksud lelaki ini. Kenapa dia senang dengan pingsanku? Karenina tak mengerti.
Namun, sejurus kemudian wajahnya seperti nenek sihir yang sedang murka. Dia tahu maksud Junot.
“O, aku tahu! Pasti karena kamu bisa pegang-pegang aku, iya kan? Jadi, kamu merasa beruntung! Dasar Omes, otak mesum kamu!” gerutu Karenina.
“Astaga! Aku malah tidak memikirkan itu. Maksudku, aku merasa senang karena bisa bertemu denganmu, setelah sekian lama!” jelas Junot.
"Halah! Alasan! Sudah sana! Pergi kamu dari sini! Saya tidak tahan liat muka kamu kelamaan" ketus Karenina mengusir lelaki berperawakan kurus tapi atletis itu.
Junot, pria baik dengan keyakinan di atas rata-rata bahwa dia pasti bisa mendapatkan wanita cantik seperti Karenina. Junot hanya terpaku dan menarik senyum menyedihkan.
Rasanya sudah bertahun-tahun lamanya ia terus berusaha untuk menyenangkan dan selalu memberi perhatian pada Karenina. Tapi, wanita itu selalu mengacuhkan dan menghinanya.
Untunglah, selain cukup tampan, Junot juga memiliki hati bak pahlawan. Percaya diri dan selalu berani menghadapi tantangan. Lelaki itu kembali tersenyum sebelum kemudian meninggalkan Karenina.
Karenina berjalan ke sebuah gang menuju rumahnya yang terletak tidak terlalu jauh dari sana. Tiba-tiba handphone dalam tasnya berdering.
Karenina berhenti sesaat dan merogoh ponsel di tas yang ia selempangkan ke bahunya. Ia menurunkan tas koper bawaannya sebentar lalu melihat pesan yang muncul dari aplikasi whatsApp.
Dari Siluman Buaya. Sebuah nama yang diberinya untuk Gusso di kontaknya.
Siluman Buaya : Karenina aku mau minta maaf atas segala prilaku diriku yang membuatmu tak nyaman.
Siluman Buaya : Nina aku benar-benar minta maaf padamu, ku mohon maafkanlah aku.
Siluman Buaya : Nina kau mau memaafkanku, bukan?
Tiga pesan beruntun itu berasal dari Gusso. Lelaki dengan seribu gombalannya yang memuakkan bagi Karenina.
Awalnya, Karenina ingin mengabaikan saja karena tak memiliki minat pada laki-laki itu. Tapi, rasanya lelaki ini akan terus mengganggunya jika ia diamkan.
Jari-jari lentik Karenina berlanjut ke layar handphone, membalas permintaan maaf Gusso.
Karenina : Kamu tak perlu khawatir, karena sampah telah aku letakkan di tempat yang seharusnya.
Karenina tersenyum kecut lalu menutup ponsel.
Tak lama berselang, balasan justru cepat ia dapatkan.
Gusso: Nina, sudahkah kau sampai ke kampung halaman?
Gusso seperti tak mempedulikan, jika balasan Nina sebelumnya mengatakan sampah. Karenina melengos. Tak hendak membalas lagi.
Gusso : Apakah kau melihat dinding tembok yang indah? Maksudku, sekarang beberapa rumah di sepanjang lintasan kereta banyak yang indah. Adakah yang membuatmu bergetar?
Alis Karenina berkerut, cukup heran pada pertanyaan Gusso. Tapi, sekali lagi ia benar-benar tak perduli pada lelaki itu.
Karenina membalas pesan Gusso,
Karenina : Terlalu tidak penting pertanyaanmu itu Gusso! Apa pedulimu? Tapi baiklah, akan kusampaikan, bahwa tidak ada tembok yang menarik perhatianku. Lumutan semua!
Kau tahu, tembok-tembok yang kulihat tadi itu tak ayalnya seperti kamu. Berlumut, dan terlihat menjijikan, sama persis dengan laki-laki bajingan yang hendak memperkosaku waktu itu! Kata Nina dalam hati
Karenina menutup ponselnya untuk yang terakhir kali. Rasanya emosi semakin bergunduk di kepalanya kala menghadapi pria bermulut amis seperti Gusso.
Ia melanjutkan langkah menuju rumah. Tak mau lagi terganggu dengan pria-pria 'jelek' yang terus mengacaukannya.
Sedangkan, di tempatnya Gusso sedang dibuat kebingungan. Di ruang televisi rumahnya ia mondar-mandir. Sambil sesekali menggigit permen mint yang sedari tadi ia emut saja.
"Kenapa Karenina masih normal? Apa mantra si Mbah nggak bekerja?"
Gusso benar-benar dibuat kesal. Padahal, ia sudah membayar mahal si Mbah untuk membalaskan dendamnya pada Karenina.
Tak sabaran, dia kirim pesan lagi. Hanya pesan, karena ia tahu tidak akan diangkat, jika melakukan panggilan.
Siluman Buaya : Karenina, kamu sehat kan? Harusnya, kamu melihat banyak bangunan dengan tembok yang indah.
Siluman Buaya : Karenina, jika ada kesempatan, boleh aku main ke rumahmu? Apa kamu yakin, tidak ada bangunan atau tembok yang instgramable gitu?
Tidak ada jawaban. Dan Gusso semakin cemas.
****
"Assalamualaikum!" sapa Karenina memasuki rumahnya yang tidak terlalu besarnya tersebut.
"Waalaikumsalam, Nina!" Romlah, ibu dari Karenina menyambutnya dengan sangat antusias.
Wanita paruh baya dengan daster motif bunga lavender yang memenuhi corak ungunya itu memeluk Karenina beberapa kali. Matanya berkaca-kaca, karena hari ini Karenina benar-benar pulang kampung dan tidak ngekos lagi.
"Duh, Bu, Ibu! Nina sesak napas kalau di peluknya segini kuatnya" lerai Karenina berusaha melepaskan diri dari Romlah lalu mengambil duduk di dekatnya.
Belum sempat pantatnya menyentuh kursi, Romlah kembali menginterogasinya dengan semangat.
"Wah, seneng lho ibu liat kamu sekarang. Tambah cantik kamu, Nak!" celoteh Romlah menatap putrinya terpesona.
"Pasti banyak kan, cowok-cowok kota yang jatuh hati padamu!" ucap Romlah kembali sembari tertawa.
"Hus!" wanita paruh baya itu segera menutup mulutnya, kala Aryo mengingatkannya.
"Maaf, Pak. Lagian ibu kan kesenengan liat anak kita berubah" tuturnya hanya dibalas gelengan kepala oleh Aryo.
Karenina tak mendengarkan pertengkaran orang tuanya. Dia menutup mata lelah dan memilih diam saja. Setelah melepaskan barang bawaannya di bawah lantai ia lalu berduduk santai dengan dua kaki yang ia julurkan ke depan.
"Capek banget, Bu, Pak perjalanan kesini" adunya.
"Gimana kabarmu, Nak? Bapak sama Ibu udah kangen banget sama kanu dari lama" ucap Aryo, ayahnya yang dikenal bijaksana mengalihkan perhatian padanya.
"Nina baik, Pak." jawab Karenina seadanya.
Aryo mengangguk, lalu kembali bertanya. "Kamu yakin mau mengambil pekerjaan sebagai guru? Gajinya kecil lho, Nak. Butuh perjuangan dan keikhlasan untuk menjalaninya" ucap Bapaknya dengan nada tenang khas suara bapak-bapak kebanyakan.
Karenina tidak menjawab. Jreeet! Tiba-tiba dia merasa tubuhnya seperti sedang dimasuki mahluk halus. Berdebar-debar tak enak.