Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 10 Menggugat Mantera Tak Laku

Bab 10 Menggugat Mantera Tak Laku

Karenina terpaku dengan wajah panas dingin. Dia membayangkan bagaimana kehidupannya jika menikah dengan cowok cupu macam Junot.

Dengan congkak wanita itu mengatakan pada Bapaknya. Suatu hal yang membuat Aryo terkaget-kaget bukan kepalang.

"Denger ya, Bah, Nina tidak akan pernah sudi nikah sama tikus got!"

“Astaghfirullah, Nina. Kok, bicaranya begitu. Awas, nanti jatuh cinta benaran dengan Junot, lho!”

Karenina mencibir, seperti sangsi dengan apa yang dikatakan bapaknya. Sampai monyet bertanduk, kambing bisa salto, dia tidak akan jatuh cinta pada lelaki itu. Hish, amit-amit!

“Pahit, pahit, pahit!” kata Karenina.

“Hei, jangan begitu. Tidak baik mengatakan yang tidak-tidak. Junot itu pria baik, ganteng juga lho,” Romlah, Ibunya Karenina ikut-ikutan menengahi.

"Lagian, ya Bah, Ambu, Nina itu gak akan pantas disandingin sama si Junot, iwh"

Ia bergidik geli mengundang reaksi kecewa dari kedua orang tua di hadapannya. Tidak menyangka putrinya akan memiliki menjadi orang yang begitu pandai menghina.

"Yang ada nanti jatohnya bukan kayak suami istri, tapi kayak pembantu sama majikan, Abah, Ambu!"

"Yang bener kek kalo mau cariin anak calon" Karenina mengibaskan rambut panjang terurai pirang itu dongkol. Wajah dan lehernya sudah basah dengan keringat.

"Tapi, neng, Junot itu lelaki sholeh, Abah yakin Junot bisa bahagiain kamu" Aryo sampai merujuk pada putri gadisnya yang kelewat bebal tersebut.

Dia teramat kesal namun apalah daya tidak juga memiliki hak untuk memaksa putrinya menikah. Akan tetapi, Aryo begitu ingin agar putri semata wayangnya ini bisa mendapatkan laki-laki sholeh dan bertanggung jawab.

Dan, Junot adalah pilihan laki-laki tua berkulit sawo matang keriput tersebut dari sekian banyak deretan laki-laki yang datang mengajukan diri pada Aryo untuk melamar sang gadis.

"Nggak, Abah. Sampai kucing bertanduk pun, Neng gak mau nikah sama Junot!"

Karenina yang kepalang kesal, memilih memasuki kamar dan merebahkan diri di ranjang. Tubuhnya terlalu lelah setelah perjalanan pulang dari kota.

Lalu, sekarang ditambah dengan kabar perjodohan dirinya dengan laki-laki yang selalu di 'amit-amitkan' dalam doanya? Karenina menggeleng cepat dan menenggelamkan kepalanya di bawah bantal.

****

Gusso sudah berpakaian rapi, bersiap menuju gubuk si Mbah untuk meminta garansi. Enak saja dia sudah membayar mahal lalu sampai sekarang manteranya tidak bekerja pada Karenina.

Ditambah lagi, si Mbah dengan tanpa malu meminta dibelikan bakso aci paling enak di Jakarta. Itu sudah ia perjuangkan.

Si Mbah tak tahu malu itu minta dibelikan bakso Aci dengan porsi dobel. Gila!

Jadi, Gusso terpaksa harus mampir ke kedai dekat kampus yang terkenal murah dan lumayan enak terlebih dulu. Persetan dengan requestan si Mbah! Gusso hanya memesankannya asal tanpa menyebutkan pesanan dengan detail.

"Bakso aci satu bungkus, eh, dua, Mbak!" Gusso setengah berteriak agar tidak kalah dengan pelanggan yang lain.

"Pedas atau original, Kak?" tanya pelayan warung dengan ramah.

"Pedas level terakhir, Mbak" jawab Gusso enteng.

Sekali lagi, persetan dengan si Mbah yang meminta level sedang pada bakso aci pesanannya karena sedang terserang diare. Gusso tertawa miring.

Ini bisa menjadi ajang balas dendam pada si Mbah yang telah gagal mengguna-guna Karenina. Menurut Gusso, Si Mbah gagal, karena saat ditelepon, Karenina seperti orang sehat-sehat saja.

"Mampus lo Mbah! Gue kerjain lo ampe mencret!" Gusso tergelak

Ini membuat beberapa pelanggan disana memperhatikannya heran sekaligus sinis. Gusso langsung diam kala tersadar tatapan devil orang-orang padanya.

"Ini Kak pesanannya" pelayan berhijab itu pun memberikan kantong plastik berisi bakso aci yang tadi ia pesan.

"Makasih, wuih merah amat!" Matanya terkesiap pada kantong plastik yang diberikan pelayan tadi.

Gusso tidak perduli, ia justru berjalan sambil bersenandung ria dengan memamerkan giginya yang sedikit berwarna mikado itu.

Gusso memasuki mobil kijang kebanggaannya tersebut lalu melajukan mobilnya dan melesat cepat menuju gubuk reot milik si Mbah dukun.

****

Tidak sampai satu jam dan Gusso telah sampai di gubuk mandiri di tengah hutan kediaman milik si Mbah. Dia keluar dari mobil kijang hijaunya lalu mulai berjalan untuk masuk ke dalamnya.

Tanpa mengetuk pintu lagi, pria itu membuka dengan perlahan pintu dengan suara 'kreeek' yang masih membuat bulu kuduk merinding.

Mungkin, karena letaknya yang berada di tengah hutan ditambah minimnya penerangan di tempat itu, Gusso menjadi terserang rasa takut untuk yang ke sekian kali.

Tapi, ia berusaha tegap berjalan memasuki rumah si Mbah. Matanya menelisik ke segala arah, namun tidak sedikitpun ia mendapatkan bagian dari tubuh si Mbah.

Hanya ada tempat ritual dengan bau sajen yang pekat di indera penciuman Gusso.

Bugh! Bugh!

Gusso terperanjat, lalu membalikkan tubuhnya yang mulai panas dingin dikarenakan suara yang barusan mengagetkannya.

"AAAAAAAA-----"

PLAK!

Hening. Gusso merasa hawa panas menjalar dari arah pipi ke sudut bibirnya. Ia memicing pada si Mbah sambil mengusap-usap pipinya.

"Apa-apaan Mbah nampar gue?!"

Emosi Gusso mulai tersulut, dia pun bertambah marah ketika si Mbah justru tertawa ringan dan berjalan santai menuju tempat ritual.

"Anak bodoh!" gumam si Mbah masih diselingi tawa.

"Saya telah mendapatkan serangan dari dukun lain yang membuat saya harus bolak-balik ke kamar mandi" ucapnya melenggang.

Gusso bertambah marah namun heran dengan prilaku si Mbah. Dia berjalan di belakang lelaki renta dengan rambut putih memanjang dan kepala diikat kain hitam itu.

Sesaat, Gusso baru tersadar bahwa mungkin yang dimaksud si Mbah adalah diare. Ia ingat, bahwa sebelumnya si Mbah sempat meminta dibelikan bakso aci

"Mana pesananku anak bodoh?" ucap si Mbah menagih pesanan yang sebelumnya ia pinta.

"Nih"

Gusso menyodorkan satu kantong plastik berisi bakso aci pesanan si Mbah. Sedikit gelak tawa dalam dirinya namun berusaha ia tahan saja.

Dengan raut bahagia si Mbah menerima kanton plastik tersebut. Ia mengendus sedikit bau nikmat dari bakso aci yang di genggamannya.

Lalu, sorot sayu namun menusuk itu ia tancapkan lagi pada lelaki dengan pakaian yang terlampau rapi di hadapannya tersebut.

"Ada apa kau kemari? Mau guna-guna orang lagi?" tanya si Mbah tanpa melihat ekspresi wajah Gusso yang memerah.

"Gimana gue mau guna-guna lagi, yang kemaren aja gak berhasil!" ketus Gusso.

"Apa maksudmu, hah? Kau meremehkanku?" sergah Mbah dengan ekspresi marahnya yang mengerikan.

Gusso terkekeh sinis, "Denger Mbah, gue bayar lo mahal buat guna-guna wanita itu, tapi mantera absurd lo malah gak bekerja sama sekali. Mana? Karenina masih baik-baik aja!"

Semakin Gusso menaikkan oktaf nadanya, semakin pula emosinya meningkat. Dia benar-benar geram dan merasa merugi telah menggunakan jasa lelaki kolot yang payah di hadapannya ini.

"Dasar dukun bodong!"

Raut wajah si Mbah berambut gondrong itu berubah menyeramkan. Dia merasa sangat terhina dengan kata-kata anak muda menyebalkan di depannya kini.

"Jangan sembarangan bicara kau pemuda bodoh!"

Gusso diam, si Mbah menggertakan giginya kasar.

"Dengar, mantera itu akan mulai bekerja ketika Karenina sampai di sekolah karena tembok sekolah yang akan menjadi idola baru wanita itu. Manteranya akan mulai meracuni pikirannya pada saat itu, mengerti?!" jelas sang dukun.

Gusso mengangguk mengerti sambil sedikit menunjukkan raut bodohnya seperti biasa.

"Oke, Mbah!"

"Lain kali, kau yang akan aku guna-guna" desis si Mbah, membuat Gusso melotot.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel