Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 11 Mantera, Gamelan, dan Sinden

Bab 11 Mantera, Gamelan, dan Sinden

Udara malam semakin terasa menusuk ke tulang-tulang Karenina. Dari semenjak keributan bersama orang tuanya, Karenina tertidur pulas di kamar kecilnya, yang berantakan karena tak sempat di bereskan.

Tidurnya begitu lelap. Karenina tidak sadar, bahwa waktu sudah di penghujungnya.

“Karenina, ini abah, Nak. Ayo bangun!” kata Aryo.

Karenina hening saja. Membuat Abahnya ini khawatir.

“Ambu! Coba ke sini!” pinta Aryo.

Bu Romlah segera mendekati Aryo. Dia memetakan keheranan, karena biasanya suaminya ini tak seputus asa ini.

“Ada apa, Abah? Karenina belum juga bisa dibangunin? Aduh, anak ini bagaimana, sih?” kata Bu Romlah gusar.

Karenina mengunci kamarnya hingga suara sang Abah yang membangunkannya untuk sholat magrib luput dari pengabaiannya. Dia tertidur pulas, dengan mimpi aneh yang terus menghantui : dia merasa jatuh cinta pada tembok-tembok.

“Nina, bangun, Nak. Sudah malam. Ini mau Isya!” kata Aryo.

Dok dok dok! Bu Romlah berusaha menggedor.

Percuma, karena Kareina masih tak terbangun. Ini membuat Romlah sedikit gusar.

“Karenina! Woi, Nak! Ayo bangun! Dosa, lho, lalai sholatnya!” kata Bu Romlah, membantu Pak Aryo membangunkan.

Tidak ada jawaban. Karenina seperti diselimuti mahluk penunggu badannya dengan kepulasan tidur.

Padahal, Aryo Sulistiyo--ayahnya-- selalu mendidik Karenina dengan nilai keagamaan yang kental. Dia selalu ingin putri semata wayangnya itu menjadi wanita yang sholehah dan berbudi baik.

Namun, tak dinyana setelah kepindahannya ke kota rupanya Karenina menjadi wanita bermulut lamis yang sangat mudah menghina orang lain. Dan, Karenina juga sepertinya jarang ibadah.

Pikiran Aryo salah. Karenina tetaplah gadis yang baik, walaupun sedikit angkuh dan sombong. Hanya saja, dia memang tidak suka dengan Junot. Membuatnya berang, jika berurusan dengan yang namanya lelaki tengil itu.

Walaupun, sudah sejak dulu sebenarnya Karenina tidak menyukai Junot. Namun, tetap saja perbuatannya jelas sangat tidak baik di hadapan Aryo begitupun dengan Romlah.

“I love you, mmuah!” terdengar igauan Karenina.

“Astaga, abah! Dia mimpi cinta-cintaan! Sama siapa?” tanya Romlah khawatir.

Aryo mendengarkan seksama. Dan dia mendengarkan hal serupa.

“Sayang, I love you full. Mmuah, mmuah,” kata Karenina.

“Iya benar, Bu. Karenina mimpi cinta-cintaan. Astaga! Sama siapa, ya?” Aryo ikut-ikutan penasaran.

Romlah tertawa satir. “Yang jelas, pasti bukan dengan Nak Junot, Abah,” kata Romlah.

Abah manggut-manggu, memegang jenggotnya yang tak seberapa. Tampaknya, lelaki ini setuju.

“Bagaimana jika dia dapat orang kota yang kurang ajar, Abah?” tanya Romlah.

Jelas saja, wanita ini tidak tahu, jika anakknya nyaris saja mendapatkan lelaki kurang ajar bernama Gusso. Andai saja, Karenina menerima lamaran Gusso.

“Ah, jangan sampai, dong! Abah tidak setuju,” kata Aryo.

“Terus, kalau sudah jodoh, bagaimana Abah? Aduh, Ambu jadi takut, nih!” Romlah mengutarakan kecemasannya.

Aryo dan Romlah tidak tahu, apa yang dibilang Karenina I Love You itu : TEMBOK DINDING.

***

Semilir angin terasa berbeda di pundaknya ketika Karenina beringsut untuk duduk. Ia merenggangkan sedikit otot-otot lehernya dengan mata yang masih terasa berat.

Karenina menggeram merasa ada sesuatu hal yang aneh pada tubuhnya. Wanita dengan pakaian ala 'kotanya' itu bangkit berdiri.

Dia menilik suasana yang ternyata sudah malam. Karenina menyingkap gorden kamarnya, kemudian segera menutupnya lagi.

“Ada apa diriku? Sejak siang, tubuhku semakin tak enak,” kata Karenina.

Entah karena waktu yang semakin berporos pada pagi hari, yang dipercaya orang-orang di kampungnya adalah waktu bagi makhluk astral berkeliaran. Pukul 12 dini hari memang selalu menjadi waktu yang membuat batinnya terhenyak ketakutan.

Karenina buru-buru menutup gorden. Ia berdiri di balik jendela dengan dada naik turun. Tangannya bergerak menyentuh dada menstabilkan degup jantung di depan dada.

Napas Karenina terasa engap-engapan hingga membuatnya sesak napas sendiri. Tubuhnya terasa kaku hingga membuatnya cukup sulit menstabilkan diri.

Bersamaan dengan itu Karenina merasakan ada hawa aneh yang menyelubungi dirinya. Ia mulai mengibas-ngibaskan tangannya karena tubuh yang seperti terasa panas terbakar.

"Aduh kenapa badan gue gak enak banget gini" keluh Karenina. Dia merasa ada hal janggal yang kali ini menerpa hebat batinnya.

Tak lama setelah pikirannya berputar-putar, memikirkan hal mistis tiba-tiba semilir angin menghujam dirinya. Bersamaan dengan itu suara gamelan terdengar jelas.

Namun, seperti berada sangat jauh dari pendengaran Karenina menghanyutkan pikirannya mengikuti arah nada yang menenangkan. Karenina bergidik.

GAMELAN ITU ...

Apa mungkin ada pesta di RT Sebelah? Kenapa suaranya begitu menggetarkan aku?

Karenina menelan ludahnya. Dengan tangan gemetar, dia berusaha mengambil sebotol air dari tasnya. Kebetulan, masih ada sisa air mineral, yang ia beli, untuk menemani selama di kereta tadi.

Tak hanya itu, suara seperti seorang sinden dengan suara melengking lembutnya benar-benar membawa Karenina ke dalam buaian sesaat yang sebenarnya tengah menjeratnya. Suara itu memiliki ritme magis, membuat Karenina mendongakkan dadanya, melengkung membentuk parabola.

Dan, entah karena apa, wanita dengan rambut dijepit itu tersungkur ke lantai. Entah kenapa begitu sulit baginya mengendalikan tubuhnya sendiri.

Karenina bergulingan di lantai dengan mulut sedikit terbuka, menahan sakit. Tak lama cairan kental berwarna merah termuntahkan dari mulutnya. Tidak terlalu banyak namun cukup membuat Karenina kaget bukan kepalang.

Wanita bersurai panjang itu terbatuk-batuk, setelah cukup lelah menahan gejolak aneh dalam tubuhnya. Ia bangkit duduk kemudian menatap lantai yang mengalir cukup luas darah yang keluar dari dalam tubuhnya itu.

Rasa takut, cemas dan aneh kini campur aduk dalam pikirannya. Perasaan dirinya tak mempunyai riwayat penyakit apapun namun mengapa ia bisa memuntahkan darah dengan warna merah cenderung gelap tersebut.

"Gue sakit?" Ia meraba wajah hingga turun ke lehernya.

Karenina kembali merasa aneh dengan rasa takut yang kali ini berubah ngeri. Bulu kuduk Karenina kembali berdiri mengingat kejadian beberapa menit sebelumnya yang seperti terasa mistis itu.

"Abbb— abaaah!" teriak Karenina lemah.

Byuur! Croat!

Karenina buru-buru menutup mulutnya yang masih terdapat percikan darah di sekitar bibirnya. Kepalanya seperti diputar berkali-kali.

“Abaah, Ab—“ Karenina membatalkan panggilannya. Dia berpikir ulang.

"Gue gak boleh bilang Abah! Abah sama Ambu gak boleh tau soal ini!" ucap Karenina berniat menyembunyikan kejadian ini dari Abah dan juga Ambunya.

Dan, dari sinilah mantra si Mbah tengah bereaksi. Sedangkan, jauh di seberang sana, si Mbah tengah berpuas diri.

Lelaki itu tertawa terbahak-bahak dengan mulut terbuka lebar. Ia sudah tahu bahwa reaksi dari mantra hebatnya akan ditunjukkan sejak malam ini.

Tepat, malam jumat kliwon yang merupakan malam terbaik untuk menjalankan ritual. Mantera itu meluncur dan semakin menjadi-jadi di tubuh Karenina.

"Hahaha! Siap-siap kau bercumbu mesra dengan tembok sekolah ya wanita bodoh!" ujar si Mbah dilanjutkan tawa renyah sarat akan kepuasan itu.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel