Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 6 Bukan Nina, Tapi Nino

Bab 6 Bukan Nina, Tapi Nino

Pandangan Karenina lurus melihat Juno, yang sok akrab dengan para penumpang kereta di sekitarnya. Psikolog itu memang tidak berubah, sejak kecil terlalu kepedean, kata Karenina dalam hati.

Bayangannya tentang Junot Kecil kembali membentang.

“Karenina, apa kamu suka matahari?”

Karenina kecil mengernyit. “Apa maksudmu?”

Anak ingusan berumur empat belas tahun di depannya itu tertawa. Giginya yang tak beraturan membuat Karenina risih.

“Jawab saja, apa kamu suka Matahari?”

“Aku tidak mau jawab!” kata Karenina enteng. Saat itu, Junot kecil bahkan lebih pendek darinya.

“Kalau begitu, aku yang jawab,” tukas Junot cengengesan.

Karenina yang saat itu sudah mulai tumbuh cantik menjulang hanya menghela malas. “Suka-suka kamu!”

“Oke! Aku yakin, kamu suka matahari,” kata Junot sok tahu.

[Dia yang tanya, dia yang jawab sendiri. Bocah aneh!]

Karenina sibuk menggesek-gesek kukunya dengan alat menicure pedicure, yang gandrung disukai remaja putri sepertinya. Berasa menjadi wanita dewasa, jika mereka membersihkan kuku dengan alat-alat itu.

“Matahari itu menyinari dunia, Karenina. Sama seperti aku yang menyinari hati kamu, saat kita menikah nanti.”

“Bisa aja, Celengan Babi. Masih makan ciki, jajannya cireng, sok-sok ngomong cinta!”

Kata-kata itu sangat kesar. Remaja seperti Karenina dulu masih labil. Dia tidak memikirkan dampak dari lisan yang buruk, mungkin saja akan berakibat kekerasan padanya.

Untunglah, Junot tidak marah. Dia malah senyum-senyum sendiri.

“Tunggulah. Ketika besar, kamu akan menjadi istriku. Kamu akan jatuh cinta,” kata Junot kecil.

Brek! Sebuah tembok rumah, yang dilalui kereta, membuatnya tersenyum. Tembok itu terlihat macho.

Nina segera meluruskan pandangan. Dia kembali tersadar dari lamunan masa lalunya bersama Junot di masa kecil.

Karenina menatap Junot sesaat. Pria itu tampak sedang bersapa ramah dengan penumpang di sampingnya.

Sesekali Junot tersenyum lebar, menunjukkan gigi putihnya yang dulu berantakan, dan kini seperti dibehel oleh Junot. Nina sekali lagi bergidik.

Entah ia merasa jijik ataupun geli. Nina benar-benar mengultimatum dirinya untuk jangan pernah berdekatan dengannya.

Semoga sampai sampai, mahluk tengil ini tidak melihatku, harap Junot

Cukup lama bergelut dengan desiran aneh di dada karena melihat dinding-dinding yang menyapa mata. Juga perasaan tidak tenangnya takut Junot mengenalinya, akhirnya kereta pun berhenti.

Suara khas dari kereta sedikit membuat bising, namun Karenina tidak perduli. Ia segera keluar dari pintu yang telah terbuka.

Karenina berdiri menunggu antrian untuk keluar. Namun, kepalanya tiba-tiba terasa pusing hingga membuatnya hampir terjatuh.

“Astaga! Kepalaku berputar. Rasanya aku ingin muntah dan terjatuh,” kata Karenina lemah.

Brak! Tiba Karenina lunglai.

Namun, tangan seseorang tiba-tiba menahan tubuh Nina yang hampir terperosok jatuh. Tubuh Nina berjengit, namun tetap berada di pelukan sang lelaki.

Netra mereka bertumpu dan menimbulkan kekacauan luar biasa dalam hatinya. Sial! Kenapa harus lelaki ini, dari sekian banyak lelaki di kereta, kata Nina dalam hati.

Lelaki itu tak lain adalah orang yang semasa kecil selalu ia cibir dengan kata, "kamu jelek!".

Nina menelan ludah berat. Tarikan ujung bibir laki-laki itu membuat Nina melotot. Ya, Junot sedang tersenyum.

Tidak! Kali ini ia akan melihat gigi kusam berantakan saat kecil itu dari dekat. Rapi, berbehel, seperti lelaki-lelaki ekesekutif muda jaman sekarang.

Nina memejamkan matanya. Walau begitu, tangannya masih tidak terlepas dari bahu Junot.

Nina masih bergantung. Jika tidak, ia akan terjatuh.

“Tuhan, aku harap ini mimpi! Jangan Junot yang menahan badanku!”

Please ...

Plizzzz, super plizzz.

Nina kembali membuka matanya perlahan. Kali ini Junot tersenyum dengan tidak menampakkan giginya.

Sesaat, Nina masih merasa bersyukur. Minimal, ia tidak akan muntah di tempatnya saat ini. Ia benci dengan gigi Junot yang sangat berantakan.

Ternyata benar-benar lelaki ini. Hadeh, semoga saja perasaannya masih kecil, tidak terbawa-bawa sampai sekarang. Semoga Junot lupa, bahwa pernah mengajakku menikah saat dia masih ingusan.

"Eh! Maaf" ucap Nina segera bangkit berdiri. Junot pun melepaskan uraian tangannya dari tubuh Nina sembari membantunya berdiri.

Junot membetulkan kemejanya, ia berdehem menghalau segala rasa aneh yang tiba-tiba menyeruak karenanya. Matanya berkali-kali mencuri pandang pada wanita di hadapannya.

'Dia, Nina, 'kan?' gumamnya dalam hati. Meskipun Nina memakai masker pelindung sebagian wajahnya. Akan tetapi, Junot masih bisa mengenali perempuan di hadapannya.

Wajah Nina selalu berkesan. Nina adalah perempuan keempat yang mengisi hatinya, setelah Ibunya, Neneknya, dan Bibinya yang baik.

Ya, kelereng cokelat milik Nina memang berbeda untuknya. Wajah Nina telah terpatri dalam kepalanya.

Membuat apapun yang menutupi wajahnya, Junot masih akan dengan mudah mengenalinya. Nina, terlalu spesial di hatinya.

Tatapan mata saja seolah telah cukup untuk Junot mengenali seorang yang begitu ia damba dalam hidupnya itu. Akhirnya, kami ketemu.

Romantis lagi, momen ketemunya. Seperti drama-drama Korea.

"Kamu Nina, kan?" tanya Junot membuat Nina menatapnya kaget tapi dibalas senyuman khas oleh Junot.

“Bukan, aku bukan Nina. Siapa itu?” kata Karenina.

“Aish! Dari ketusmu aku tahu, kamu Nina,” Junot terkekeh.

'Sial! Kenal juga si jelek' umpatnya dalam hati.

"Mari, biar kita pulang sama-sama Nina" ujar Junot pada Karenina.

Awalnya, wanita itu enggan dan hendak menolak. Tetapi, kepalanya terasa sangat pusing membuat Karenina akhirnya mengikuti ajakan pria yang sering ia cibir 'Si Jelek' itu.

"Oke deh, saya ikut kamu. Walau terpaksa!" balas Karenina memutar bola mata malas.

Sungguh, saat ini kepalanya terasa pening. Beberapa kali Karenina hendak terjatuh namun berhasil di tahan oleh lengan tak berotot Junot. Dan, bersamaan dengan itu juga Karenina selalu menghempas kasar lengan Junot dari tubuhnya.

"Tidak usah ambil kesempatan dalam kesempitan ya. Saya tidak suka!" ketus Karenina dengan wajah unmood nya yang terlihat sangat menakutkan.

Tapi, tanpa diketahuinya Junot malah terlihat senang namun tampak di tahannya. Keketusan Nina sudah lama ia rindukan.

Mereka akhirnya berjalan bersisian menuju sebuah halte yang ada di samping jalan besar stasiun.

Setelah beberapa lama menunggu, dan mempertimbangkan waktu dan juga kondisi Karenina. Junot akhirnya memutuskan menyewa sebuah angkot untuk dirinya bersama Karenina.

Hal itu dia lakukan agar Karenina tidak perlu menunggu lama sebelum angkot terisi penuh. Junot khawatir dengan kondisi wanita yang tengah menunggu angkutan umum di halte stasiun bersamanya itu.

Junot menghentikan sebuah angkot, dia mengulur-ulurkan tangannya sebagai pertanda agar angkot berhenti.

Ketika angkot tanpa penumpang itu berhenti, Junot menghampiri. "Bang, saya sewa ya angkotnya" ucap Junot pada si sopir angkot.

Terdengar oleh Karenina percakapan yang saling tawar menawar antar keduanya dan berakhir saat Junot menyetujui harga yang ditetapkan oleh si sopir.

Awalnya Karenina tampak meragukan niat Junot. Lelaki berperawakan biasa dengan bibir tebal terbilang tebal, menurut Nina, itu palingan hanya seorang lulusan psikolog nganggur.

Namun, Karenina sedikit kaget karena Junot mampu menyewa angkot hanya untuk merek berdua saja. Matanya menyelidik. Apa Juno berhutang dulu pada supir angkot ini.

"Nih laki beneran mampu? Isi kantongnya juga palingan tipis kayak badannya" cibir Karenina sambil menatap Junot hina.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel