Bab 5 Tak Cinta Bahkan Sampai Kucing Bertanduk
Bab 5 Tak Cinta Bahkan Sampai Kucing Bertanduk
Dan, seolah tak jera Karenina kembali meludahi Gusso.
"Dasar laki-laki tak tahu malu! Sampai kapanpun tak akan aku bersedia menjadi istrimu Gusso!" umpatnya emosi.
Karenina mengangkat langkah kaki kasar meninggalkan Gusso yang menyeringai puas.
"Dasar perempuan sombong!" cacinya menatap punggung Karenina yang kian menjauh. “tinggalkanlah aku! Selamat bertemu dengan tembok idamanmu!”
“Kau akan MENYESAL Karenina!”
***
“Temboknya kenapa bagus sekali. Rasanya, aku belum pernah sesuka ini dengan tembok stasiun. Apa karena mereka barusan dicat?” Karenina terpukau dengan tembok stasiun.
Karenina menaiki kereta bisnis jurusan Cirebon-Ciamis. Ia begitu semangat melangkahkan kakinya ke atas kereta.
Seketika hasratnya akan kampung halaman menyeruak. Ia begitu rindu dengan semua yang ada di desanya.
Suasana desa, keramahan warganya, termasuk juga makanan khas di kampungnya itu. Nina sangat rindu menikmati suasana pedesaan yang sangat asri.
Sebentar lagi, Karenina akan menjadi guru pengajar salah satu SMA di desa. Dia pun menyiapkan diri dan mentalnya untuk menghadapi anak-anak di sana.
Nantinya, Nina diterima menjadi abdi negara beberapa waktu lalu, dengan jadwal mengajar pertama besok lusa. Nina saja baru pulang hari itu.
Selama dua hari kemarin, Nina sibuk mempersiapkan berkas-berkas kepindahannya dari kota menuju kampung halaman.
Dan suasana kereta mulai riuh. Para penumpang mulai berdatangan, menduduki tempat masing-masing. Lengkap dengan suara stasiun, yang mengingatkan para penumpang segera memasuki kereta, karena akan segera berangkat.
Nina duduk di kursi panjang yang cukup padat terisi oleh beberapa penumpang. Untunglah, kali ini suasana kereta tidak seramai seperti hari-hari libur biasanya. Nina jadi bisa sedikit bernapas dengan lega.
Nina hanya mengais sebuah tas selempang, yang tidak terlalu besar karena seluruh barang bawaan telah ia simpan di bagasi penyimpanan barang. Tas itu hanya berisi handphone, dompet dan barang-barang pribadi Nina.
Nina pun menyenderkan kepalanya ke punggung kursi dengan memangku tas berwarna biru dongker polos bermerk ternama. Tas itu ia cicil dari Cynthia selama dua belas kali.
Cynthia tidak pernah marah, jika ia telat membayar. Makanya, dia jadi sedikit tidak enak gara-gara melihat Gusso memutuskan Cynthia, hanya untuk mendapatkan cintanya.
Perjalanan menuju kampungnya akan menempuh waktu cukup lama. Untuk mengusir rasa bosan, Nina menyumpal telinganya dengan earphone dan memainkan musik dari penyanyi-penyanyi favoritnya.
Tiba-tiba rasa kantuk menyerangnya. Mungkin, ini efek dari alunan musik yang mengalun pelan hingga mata Nina terasa begitu lengket seolah memintanya untuk dipejamkan sebentar. Atau, rasa lelah ini akibat keributan tadi pagi dirinya bersama dengan lelaki tukang gombal yang tak tahu malu itu.
Slarp!
Dan saat itu, pengaruh guna-guna kembali bekerja. Perlahan, mantera dukun COD itu menyerap energi Karenina.
Karenina merasakan tubuhnya tidak nyaman persis seperti pagi hari tadi. Sontak saja, tangan Nina kembali meraba-raba beberapa bagian tubuhnya untuk mencari segala rasa yang muncul yang Nina rasa semakin lama semakin aneh tersebut.
Karenina mulai menyentuh tangan lalu turun ke bagian bawah tubuhnya. Setelah beberapa lama berpikir, Nina mencoba mengenyahkan segala rasa yang tiba-tiba timbul semakin aneh yang terjadi pada dirinya.
Ia mulai menyadari bahwa hal ini ia alami semenjak pertengkarannya dengan Gusso tadi pagi.
“Ah, apakah ini karma? Apa mungkin, gara-gara aku menolak Gusso tujuh kali, maka tubuhku sakit-sakit begini?” desis Karenina pada dirinya sendiri.
Namun, Karenina menggelengkan kepala. Tidak mungkin. Menolak Gusso Si Playboy cap Komodo itu sudah benar adanya.
Karenina kemudian menyentuh bahunya dan memutar kepalanya. "Mungkin, hanya pegal-pegal," katanya mencoba positif.
Sreeng!
Sreeng!
Rasa masygul itu kembali bermain. Rasanya tidak enak. Tenggorokan Nina seperti kemasukan biji kedondong.
Perempuan ini melototkan matanya, dengan dada yang dibusungkan ke depan. Sejenak, dia kesulitan bernapas.
“Argh! Argh!” Nina – demikian Karenina di sapa, merasakan sesak luar biasa.
Kejadian ini dilihat oleh penumpang sebelah. Seorang ibu-ibu berkerudung lebar.
“Nak ... nak, Astaghfirullah! Kenapa kamu? Ngucap Nak, ngucap!”
Karenina menuruti saran perempuan ini. Dan sejenak rasa itu hilang.
Perempuan itu memberikan sebotol air mineral, yang diterima Karenina dengan sukacita. Karenina segera menenggak air minum itu.
“Ada apa, Nak? Apa kamu sakit?” tanya perempuan ini iba.
Karenina menggeleng. Dia menarik Oksigen, mencoba melegakan tenggorokannya.
“Mungkin hanya capek saja, Bu,” kata Karenina mencoba positif.
Ibu itu mengangguk maklum. “Baik, istirahatlah, Nak,”
Nina kembali menyenderkan tubuhnya ke punggung kursi. Ia mencoba memejamkan matanya lagi namun rasa kantuknya telah terlanjur menghilang.
Nina pun membuka matanya lalu memilih menikmati perjalanannya di kereta. Ia melihat gedung-gedung pencakar langit ibu kota, dan sesaat lagi ia akan meninggalkannya.
Kali ini Nina tidak bisa membantah, semakin kentara ia rasakan bahwa benar-benar ada yang aneh dengan dirinya. Apalagi desiran halus yang terus menjalar menguasai pikirannya kala matanya memandang tembok-tembok tinggi dari setiap bangunan yang dilewatinya.
“Aish, gagahnya tembok-tembok itu. Mereka tampan!” desis Karenina.
Karenina menutup mulutnya? Tak percaya.
TAMPAN. TEMBOK-TEMBOK ITU TAMPAN.
Apa yang aku pikirkan? Kenapa aku jadi mengagumi tembok itu? Batin Karenina shock.
Hatinya terus menimbulkan desiran hebat yang menimbulkan gejolak aneh, seperti ingin memeluk dinding-dinding tersebut.
Beberapa lama Nina bergemelut dengan perasaan anehnya. Tiba-tiba seorang laki-laki yang cukup dikenali Nina melewatinya.
Sepersekian detik Nina melihatnya, dirinya membulatkan mata, sedikit kaget. Menyadari hal itu, Nina pun membuang muka dan segera memakai masker guna menghindari pandangan laki-laki itu darinya.
"Sialan, ngapain sih pake se-kereta segala sama si Junot jelek!" umpat Nina dalam nada yang begitu pelan, sehingga tidak ada yang dapat mendengarnya.
Dan, lebih sialnya Junot justru duduk di kursi seberang membuatnya kapan saja bisa melihat Karenina. Walaupun tidak tepat di hadapannya, tapi tetap saja, Nina merasa risih dengan keberadaan laki-laki itu.
Pria itu adalah Junot, seorang lelaki yang berprofesi sebagai Psikolog sekaligus guru ngaji di kota kecilnya. Cukup mentereng, karena belum banyak yang berprofesi demikian di tempat kelahirannya.
Semasa mereka kecil Junot sering bilang bahwa dia menyukai Nina. Junot kecil ingin menjadikan wanita itu istrinya kelak ketika mereka telah saling bertumbuh besar.
Tapi, seperti halnya pada Gusso, Nina pun selalu menolak dan juga mencibir Junot. Terkadang, ia bertanya mengapa hidupnya selalu sial?
Mengapa Nina tidak pernah dipertemukan dengan seorang yang tampan, kaya dan menyukainya juga? Kenapa selalu laki-laki buruk rupa yang menyatakan cinta dan ingin menikahinya. Kenapa Nina tidak pernah beruntung?
"Nina, saya suka sama kamu. Nanti kalau sudah besar, saya ingin menjadikan kamu istri saya" begitu ucap Junot kala itu.
Nina pun hanya memandang remeh. Dia mencibir laki-laki tidak terlalu tampan tersebut seraya berkata, "Kamu jelek. Sampai kucing bertanduk pun, aku nggak akan pernah mau jadi istri kamu!" begitu jawaban Karenina waktu itu.