Bab 3 Guna-guna COD
Bab 3 Guna-guna COD
"I-itu darah, Mbah?" tanya Gusso sembari telunjuk menunjuk ke benda di hadapannya takut-takut.
Ia kembali dilanda rasa takut, kali ini justru bertambah-tambah kali lipat terlebih setelah jawaban yakin si Mbah.
"Iya, itu darah" kata si Mbah menyeringai menakutkan.
"Kenapa, kamu takut anak muda?" si Mbah memiringkan kepalanya, mencoba menyelidik.
Si Mbah mengangkat sudut bibir mengejek lalu segera ditepis oleh pria berkemeja kotak-kotak merah tersebut.
"Oh, nggak-nggak, Mbah. Saya ini pria yang tidak kenal rasa takut, kok!" sergah Gusso mengangkat kerah, membuat gestur meyakinkan.
Namun sayang, ia justru malah lebih terlihat ketakutan. Wajah Gusso seperti sedang mengedan sambil melirik kendi berisi darah itu berkali-kali.
Ya Tuhan, itu darah siapa ya? Batin Gusso masih ngeri. Dia bahkan sampai bergidik. Bukan karena hendak disko, tetapi lelehan merah kehitaman itu sudah mengental, seperti agar-agar jelli.
Gusso masih berpikir itu adalah darah manusia. Tanpa ia ketahui sebenarnya itu hanyalah darah ayam sebagai persembahan kepada jin.
"Itu hanya darah ayam, anak muda. Jangan takut! Si Mbah nggak akan menguliti kulitmu dan mengambil darahmu" ucap si Mbah dengan tertawaan lebar.
“Syukurlah,” desis Gusso.
“Tapi, jika terpaksa, ya apa boleh buat,” kata dukun ini menggertak. “Apalagi kalau bayarnya telat,”
“Yah, Mbah, katanya guna-guna itu COD. Jadi, ya ... begitu sampai, langsung saya bayar. Tunai!” kata Gusso.
“Pakai apa?”
“Ya, pakai duit lah, emang pakai daun pisang, Mbah?” Gusso mulai kesal.
Dan mata lelaki itu mendelik. Brak!
Dia gebrak mejanya. “Julukan saya adalah dukun alumunium, eh dukun millenial alias gaul gitu, lho!”
“A ... ampun, Mbah!” kata Gusso hendak terkencing.
“Saya juga menerima pembayaran dalam dollar, mengerti?”
Gusso ternganga. Apa bule-bule yang tahunya vampir dan drakula itu juga mengenal guna-guna dengan dupa, kemenyan, dan darah ayam?
“Ba ... baik, saya mengerti, Mbah. Tapi, saya tidak punya Dollar,”
Dukun itu tertawa terkekeh-kekeh. “Dasar! Ndeso kamu!”
Perlahan rasa takut yang menggerayanginya mulai mereda namun belum sepenuhnya menghilang. Itu karena ternyata dukun jaman now ini terlihat kekinian.
Itu pasti darah ayam yang udah dimasukkin nyawa orang ke dalamnya, demikian batin Gusso lagi. Pikirannya terus berselancar ke dunia hitam yang ia sendiri tidak tahu kebenarannya.
Padahal, itu bukanlah darah ayam hitam atau ayam kampung yang sudah di jampi-jampi. Melainkan, darah yang diambil dari pengepul ayam di kota.
'Anak muda, keberanianmu terlihat sangat dibuat-buat. Tapi, bodohmu itu sangat natural sekali' batin si Mbah.
"Apa maumu?" tanya si Mbah mulai serius.
"Saya, saya, say---"
GDUBRAKKK
Gusso terlonjak dan memaku sesaat, detik berikutnya dia mengusap debaran dadanya yang tidak karuan.
"Jawab yang benar anak muda, waktu saya bukan hanya untukmu!" peringat si Mbah dengan wajah seramnya. “setelah ini, saya ada meeting zoom dengan para dukun-dukun antar gunung!”
"Iiiiya Mbah!" Gusso. membenarkan duduknya sembari menatap Mbah serius.
"Mbah, saya ingin membalaskan dendam saya Mbah" adu Gusso pada si Mbah. Si Mbah memperhatikan dengan seksama.
"Kamu mau apa?"
"Guna-guna, Mbah." Gusso mulai membayangkan wajah Karenina saat menghina dirinya.
Kegeraman mulai timbul, rasa sakit hati kembali muncul. "Seorang wanita yang sudah tujuh kali menolak cinta saya. Terakhir, dia menampar dan meludahi wajah saya Mbah. Dia juga bilang, lebih baik menikah dengan tembok daripada dengan saya, Mbah" lanjut Gusso menceritakan penuh seluruh kejadian.
“Betul yang dikatakan perempuan itu. Dia lebih baik menikahi tembok, daripada kamu,” ejek dukun tersebut.
Gusso jelas saja langsung sewot. Dia tak terima. “Lho, kok begitu, Mbah?”
“Aku mencium aroma playboy kombinasi setengah buaya air tawar, setengahnya lagi tokek buntung, padamu!”
Gusso terdiam. “Jadi, saya nggak perlu jasa Mbah ya? Aduh, uang saya mau di kemanakan, nih, ya,” iming Gusso.
Dukun COD itu berdehem. Dia tatap Gusso dengan sok wibawa.
"Baiklah, berikan foto wanita itu kepada Mbah!" perintahnya. Gusso segera mengambil dompet dari saku celananya lalu memberikan sebuah foto wanita cantik yang tak lain adalah Karenina.
"Ini Mbah" Gusso mengulurkan tangannya dan disambut oleh si Mbah. Si Mbah memperhatikan foto Karenina seksama. Matanya begitu tajam menyelidik benda di tangannya.
Dan, saat itu si Mbah melakukan ritual menggunakan foto Karenina sebagai penghantar guna-guna.
“Siapa namanya?”
“Karenina, Mbah!”
“Blekedek blekeler sim salabam. Abra-abra! Wahai kare ayam,”
“Karenina, Mbah, bukan kare ayam,” kata Gusso.
“Diam! Wahai Kare ayam ataupun Karenina. Sebentar lagi guna-gunaku akan masuk. Kamu akan mencintai tembok! Blekedek blekeler sim salabam. Abra-abra!”
***
Karenina terbangun di pagi hari buta. Ia ingat pagi ini harus segera berkemas.
Akan tetapi, Nina merasakan tubuhnya terasa berbeda kali ini. Ia merasakan ada getaran halus yang mulai menjalar dari setiap inci tubuhnya. Namun, rasanya sangat tidak enak sekali.
Nina memegangi tubuhnya di beberapa bagian. Perasaannya mulai tak enak.
Namun, Nina berusaha berpikir positif. Bahwa ia mungkin hanya tidak enak badan saja.
"Duh, tapi kok rasanya gaenak gini ya" Nina bangkit dari duduknya, dia mencoba merenggangkan tubuhnya.
Nina mondar-mandir mencoba melemaskan otot-otot guna menetralisir rasa yang timbul entah dari bagian tubuh yang mana. Namun, masih tetap sama tubuhnya tidak merasakan efek apa-apa setelahnya.
***
Nina tentu saja tak tahu, jika Gusso sedang mengguna-gunainya. Gusso mengulurkan tangan memberikan sebuah foto yang terpampang wajah Nina disana.
Ia sedikit menghindar karena kuku-kuku si Mbah terlihat panjang-panjang dan tajam. Hitam, dengan sedikit cacing rambut yang bergerak.
Mbah memperhatikan sebentar, lalu bertanya, "Mau dibuat apa perempuan ini, anak muda?" tanya si Mbah. Gusso masih sedikit berpikir.
"Kau mau buat dia mati, gila, atau linglung? Mbah bisa melakukan semuanya hahaha" imbuh si Mbah jumawa.
"Kan tadi sudah dibilang, Mbah. Dan Mbah juga sudah nyebut pake abrakadabra,”
“Diam! Bantah saja kamu, hei, anak muda!”
“Jatuh cinta kan saja dia dengan tembok Mbah. Saya ingin dia menjadi gila, saya sungguh sakit hati karena kata-katanya Mbah!" ujar Gusso dengan napas memburu.
Si Mbah mengangguk-angguk lalu langsung memulai ritual kembali. Ritual itu dimulai dengan menyalakan kembang dupa hingga kembali berasap.
Dukun COD itu lalu menggetarkan kedua tangan diatasnya dengan mulut komat-kamit dan wajah seperti orang kerasukan. Gusso pun seketika bergidik ngeri.
Gusso memperhatikan kegiatan si Mbah dengan serius. Sedangkan, si Mbah terus komat-kamit sembari tangannya semakin lama semakin bergetar.
Mata dengan celak hitam tebalnya melotot, gerakan tangannya semakin lama semakin luwes seperti orang menari. Sesaat Gusso dibuat tak nyaman karena si Mbah mulai melempar-lemparkan kembang tujuh rupa di atas nampan ke arahnya.
Foto Karenina di taruh di sisi kendi berisi darah. Si Mbah terus membacakan mantra-mantra saktinya yang terdengar ambigu di telinga Gusso.
"Hum hum hum! Ti kajaletot maneh edan jadi edan! Huuuummmm" tangannya berlanjut melempar kembang ke atas foto Nina.
Si Mbah lalu meminum air dari sebuah botol yang tersedia disana. Ia mengangkat foto Karenina di depan wajahnya, merapatkan mata sesaat lalu kembali membukanya.
PRROOOT!