Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 2 Cinta Ditolak, Dukun Bertindak

Bab 2 Cinta Ditolak, Dukun Bertindak

“Jangan tinggalkan aku, Nina!” teriak Gusso setengah putus asa.

“Sudahlah, Gusso. Aku percaya kamu orang baik,” kata Karenina berbohong. Dia hanya ingin hubungannya dengan Gusso tidak terlalu menimbulkan benci.

“Yeah, tapi kamu lebih memilih tembok daripada aku. Dasar bunga bangkai!” maki Gusso gusar.

Dan Karenina menghentakkan sepatunya. Tidak ada peluang untuk berdamai. Lelaki ini memang tak bisa dilembuti.

“Memang! Aku lebih suka menikah dengan tembok, ketimbang kamu!”

Nina melenggang pergi dengan perasaan yang mulai lega, dibanding sebelumnya. Saat ini, Gusso rasanya berhenti mengejarnya.

Bagi Nina, Gusso melebihi hantu berwajah busuk. Gusso bahkan lebih menjijikan dari makhluk astral yang sering ada dalam bayangannya.

Sedangkan, di tempatnya, Gusso dengan badan kekarnya mengepal jari-jari begitu kuat. Menatap punggung Karenina, yang semakin lama semakin menjauh, juga semakin mengecil. Dan akhirnya, sosok itu menghilang.

Dadanya bergemuruh hebat menahan segala gejolak yang mengoyak harga dirinya, yang berhasil dihancurkan oleh perempuan cantik. Sosok yang sejak dulu selalu ia kejar-kejar bernama Karenina.

"Sudah lama aku mengejarnya, sudah beberapa kali juga aku menyatakan cinta padanya, tapi dia selalu menolakku dengan begitu kejamnya" gumamnya begitu dendam.

"Kurang ajar kau, Nina. Sejahat itu mulut kamu menghina saya. Bahkan, kamu ngebandingin saya dengan tembok?!" gumam Gusso lagi penuh amarah.

Tangannya semakin terkepal kuat hingga menegangkan urat-urat tangannya yang sudah besar. Matanya nyalang.

Gusso pun pergi. Dalam hati, ia terus menanam bibit balas dendam. Pada wanita cantik yang sejak dulu disukainya, namun sulit didapatkannya itu.

Dan, terbersit sudah sebuah niat buruk pada Karenina. Gusso sudah putuskan untuk pergi kepada seorang dukun yang terkenal mampu menangani segala permasalahan hidup banyak orang.

"Awas kamu, wahai cewek brengsek! Aku tak akan tinggal diam atas sakit hati yang aku rasain ini!" cetus Gusso dengan napas memburu.

Tangannya bergerak mengusap wajah yang telah basah dengan ludah Karenina. Rasa sakit dari tamparan keras Karenina juga tidak lagi terasa.

Yang tersisa sekarang hanyalah sakit hati dan keinginan besar untuk mewujudkan ucapan perempuan itu. Menikah dengan tembok!

“Kamu benar-benar akan menikahi tembok, Nina. Seperti keinginanmu. Cinta ditolak, dukun bertindak!”

Dan keesokan hari, pagi hari buta, Gusso telah mempersiapkan segalanya. Hatinya sudah paten untuk melakukan pembalasan dendamnya, pada Karenina yang telah begitu menusuk hatinya dengan begitu kejam.

Dia sengaja berangkat disaat mentari belum menunjukkan diri. Gusso sendiri masih belum mengetahui letak sang orang pintar tersebut tinggal.

Namun, berbekal informasi Google dan tekat yang kuat, Gusso memutuskan untuk berangkat sendirian. Tanpa teman ataupun alat pengamanan, seperti senjata magis atau kembang-kembang khusus sebagai pelindungnya dari energi jahat, yang selama ini dipercayainya. Ah, alangkah kolot dan siriknya.

Gusso melajukan mobilnya kencang. Cukup sulit menemukan kediaman si dukun sakti yang terkenal itu.

Hingga setelah beberapa lama Gusso salah arah lalu bertanya pada warga sekitar. Akhirnya, ia sampai pada sebuah daerah yang cukup jauh dari perkotaan.

Letaknya seperti sebuah perkampungan kecil dengan jumlah penduduk yang tidak terlalu menumpuk, seperti ibu kota. Satu lagi, auranya terasa mistis.

"Ini bukan ya tempatnya?" gumam Gusso masih berada di balik kemudi. Kepalanya terangkat melihat sekitar lalu kembali turun pada layar handphone untuk memastikan kebenaran letak tempat tinggal sang dukun.

"Ah benar yang ini!" ucap Gusso semangat, jarinya memantik penuh binar. Ia kemudian mematikan ponselnya lalu memasukkannya ke dalam saku celana.

Tak berselang lama, kaki besarnya menjulur keluar pintu mobil. Kacamata hitam dengan bentuk prisma ia letakkan diantara kerah bajunya.

Langkah Gusso berlanjut ke depan bilik tua, dengan kesan angker karena berada di sisi hutan. Suara burung gagak menyertai.

Tok! Tok! Tok!

Punggung tangannya mengetuk cepat ke arah pintu. Hatinya berdebar didominasi oleh berbagai rasa yang entah memiliki makna apa.

Tak ada yang menjawab panggilan Gusso sama sekali. Yang ada hanyalah angin yang terasa melesat, mengenai leher bagian belakangnya. Ini membuat Gusso bergidik tak nyaman.

KREEK

Gusso akhirnya memutuskan untuk memasuki rumah tua dengan dinding bilik kumuh itu. Perlahan, matanya menyapu pandang ruangan dengan hati-hati.

Rumah bilik tersebut tidak terlalu besar. Ini membuat Gusso mudah untuk mencari keberadaan dukun yang sering orang panggil dengan 'si Mbah'.

Gusso menyapu pandang ke arah rumah sebelah kanan. Nihil, tidak ada orang maupun benda di sana.

Matanya lalu bergeser ke sebelah kiri, namun tampak gelap. Awalnya, Gusso berpikir mungkin ia salah alamat karena tidak terdapat kehidupan di bilik tua itu.

Akan tetapi, sorot matanya terhenti pada satu sumber cahaya di tengah kegelapan disana. Sebuah lilin besar dan segumul asap yang keluar dari dupa yang dibakar.

Di sana juga terdapat meja kayu kecil berbagai peralatan ritual tersedia. Gusso terus memperhatikan dengan seksama.

Pada sebuah tengah ruangan, ada sebuah nampan kayu kecil berisi berbagai macam bunga berbeda warna. Dan juga alat-alat ritual lainnya.

Di sanalah dukun sakti tersebut selalu melakukan ritualnya. Dan, ya!

Di sanalah juga mata seorang lelaki berperawakan ringkih, dengan jenggot dan kumis menjulur ke bawah, tengah menatapnya penuh intimidasi. Seketika Gusso menelan ludah, gugup.

Wajah tuanya, yang keriput dengan kumis dan jenggot ramai menghiasi wajahnya. Ini membuat gambaran sang dukun terlihat lebih jelas menakutkan.

Rambutnya pun lurus memanjang berwarna putih. Bagian atas kepala ia ikat dengan kain hitam. Tubuhnya dibalut dengan pakaian serba hitam yang membuat auranya semakin gelap dan mengerikan.

Gusso pun serasa mati berdiri. Begitu sulit melawan rasa takutnya sendiri. Beberapa detik kemudian, bibirnya ia tarik berusaha menunjukkan sinyal baik pada sang empu.

"Mbah," sapa Gusso berusaha ramah, juga menarik senyum guna menarik perhatian orang yang ia panggil 'mbah' tersebut, agar lebih menunjukkan raut hangat padanya.

"Siapa kamu?" tanya si Mbah dingin.

"Sa-saya...," terbata-bata Gusso melisan. Untuk kesekian kali Gusso menelan salivanya berat.

Tenggorokannya tercekat. Sekuat tenaga ia berusaha untuk memadamkan segala bentuk ketakutan pada tatapan si Mbah yang begitu intimidatif.

"Kau anak muda, kemarilah!" titah si Mbah dengan nada yang masih terasa menakutkan bagi Gusso.

Gusso kemudian menghampiri si Mbah lalu duduk bersila. Di hadapannya semakin jelas pemandangan terlihat.

Terdapat sebuah meja kecil berisi beberapa bahan ritual seperti sajen, dupa, kembang tujuh rupa, lilin dan sebuah wadah yang membuat mata Gusso terbelalak. Ia bertanya dengan gugup sambil menelan ludah beberapa kali.

"I ... itu darah, Mbah?" tanya Gusso sembari telunjuk menunjuk ke benda di hadapannya takut-takut.

Ia kembali dilanda rasa takut. Kali ini, justru bertambah-tambah kali lipat terlebih setelah jawaban yakin si Mbah.

"Iya, itu darah" kata si Mbah menyeringai menakutkan.

"Kenapa, kamu takut anak muda?" Si Mbah memiringkan kepalanya, mencoba menyelidik.

Si Mbah mengangkat sudut bibir mengejek. Senyumnya sungguh sinis.

Ejekan itu lalu segera ditepis oleh pria berkemeja kotak-kotak merah tersebut. Gusso menggeleng.

“Sudah kubilang kan Karenina, cinta ditolak, dukun bertindak!” guman Gusso dalam hati. “sekarang, aku ada di hadapan dukun itu. Rasakanlah, Karenina!”

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel