Jeni Yan
Kompleks apartemen.
Brian Won yang baru saja tiba langsung mendapatkan telepon dari Jeni Yan.
"Hallo, Kak? Nomor apartemen Kakak berapa?" tanya Brian Won dengan nada ragu.
"Nomor 577. Brian, mungkinkah kamu sudah tiba?" tanya balik Jeni Yan dengan nada penasaran.
"Iya, Kak. Aku akan segera datang ke apartemen Kakak."
"Baiklah, aku akan menunggumu..."
Brian mematikan ponselnya lalu berjalan memasuki lift yang ada.
.....
Lantai lima apartemen.
Brian baru saja keluar dari lift dan langsung bergegas mencari apartemen bernomor 577.
Setelah mencari selama lima menit atau lebih, Brian akhirnya tiba di depan pintu apartemen bernomor 577.
Ding!
"Iya, sebentar..." suara seorang perempuan dewasa terdengar dari dalam.
Pintu dibuka, dan seorang perempuan dewasa berambut hitam panjang muncul di hadapan Brian.
Perempuan itu menatap Brian dengan senyum bahagia.
"Kakak Jeni, lama tidak berjumpa," sapa Brian dengan suara hangat.
Jeni Yan langsung bergerak dan memeluk Brian Won dengan erat.
"Akhirnya, setelah dua tahun aku bisa melihatmu lagi," bisik Jeni Yan pelan di samping telinga Brian.
Brian Won menepuk-nepuk punggung Jeni Yan untuk menenangkannya.
"Kakak Jeni, tenanglah. Kita masih memiliki banyak waktu untuk terus bersama di masa depan," ucap Brian Won dengan suara lembut.
Jeni Yan terus memeluk tubuh Brian Won selama hampir satu menit sebelum akhirnya melepaskannya.
"Mari masuk. Kakak sudah menyiapkan makanan favoritmu," ucap Jeni Yan sambil menarik Brian masuk ke dalam apartemen.
Brian tidak melawan dan membiarkan dirinya ditarik oleh Jeni Yan.
Melihat interior apartemen yang benar-benar asing membuat Brian merasa sedikit tidak nyaman. Namun perasaan itu langsung menghilang karena keberadaan Jeni Yan.
"Duduklah. Biarkan Kakak menyiapkan makanan untukmu," ujar Jeni Yan sambil mendorong Brian untuk duduk di kursi, lalu bergegas ke dapur.
Melihat punggung Jeni Yan yang sibuk menyiapkan hidangan, Brian Won menghela napas tanpa daya.
"Kakak Jeni, Kakak tidak perlu repot. Aku jadi merasa tidak enak," ucap Brian Won dengan nada canggung.
"Haish, ini seperti dengan orang lain saja. Kakak malah senang jika kamu mau memakan masakan Kakak.
Jadi jangan sungkan dan tunggu saja sampai semuanya selesai," jelas Jeni Yan dengan cepat.
Brian Won tersenyum tipis mendengar jawaban itu.
Andai saja kejadian itu tidak terjadi, saat ini pasti Kakak Jeni akan hidup bahagia bersama Saudara Ying, pikir Brian Won dengan ekspresi sedih.
Beberapa menit kemudian, meja makan yang tadinya kosong kini penuh dengan berbagai hidangan.
Jeni Yan menyerahkan piring kepada Brian, lalu duduk di seberangnya.
"Ayo makan! Kamu tidak perlu merasa malu. Aku tahu orang hebat sepertimu pasti membutuhkan banyak energi juga," ucap Jeni Yan sambil tersenyum manis.
Brian mengangguk lembut dan mulai mengambil nasi serta lauknya.
Begitu satu sendok nasi dan lauk masuk ke mulutnya, Brian langsung mengangguk pelan, diliputi rasa nostalgia.
"Ini sangat enak, seperti yang diharapkan dari Kakak Jeni," puji Brian Won dengan ekspresi lembut.
"He-he, terima kasih atas pujiannya. Kalau begitu, jangan sungkan lagi. Ayo habiskan semuanya!
Karena Kakak tahu kamu akan datang, jadi Kakak memasak jauh lebih banyak dari biasanya," jelas Jeni Yan dengan ekspresi bahagia.
"Kalau begitu aku tidak akan sungkan lagi... selamat makan," ucap Brian Won sebelum mulai melahap makanannya dengan lahap.
Kurang dari satu menit, porsi yang biasanya cukup untuk empat orang langsung habis oleh Brian.
Jeni Yan segera berdiri dan menambah makanan ke piring Brian, membiarkannya makan dengan lebih lahap.
Senyum bahagia yang sangat tulus muncul di wajah Jeni Yan saat menatap Brian Won yang sedang menikmati masakannya.
Lima belas menit kemudian, semua makanan di meja habis dan hanya menyisakan tulang belulang.
"Sendawa..."
Brian Won tidak sengaja bersendawa dan langsung menutup mulutnya dengan ekspresi malu.
"Kenapa? Apakah kamu malu bersendawa di depanku?" tanya Jeni Yan dengan nada menggoda.
"Bukan begitu, Kak. Aku hanya takut sendawaku membuat Kakak tidak nyaman, jadi aku menahannya," jelas Brian Won dengan nada malu-malu.
"Hi hi hi, tidak apa-apa. Anggap saja Kakak tidak ada," ujar Jeni Yan sambil tertawa lembut.
"..."
Setelah itu, Jeni Yan dan Brian mengobrol santai dan bercanda selama beberapa waktu.
"Ehem... Kakak Jeni, biar aku saja yang mencuci piring. Kakak duduk saja dan awasi aku," ucap Brian Won sambil meregangkan kedua tangannya.
"Baiklah. Tapi Brian, kamu mau mencuci piring atau menghancurkannya? Kenapa peregangannya seperti itu?" tanya Jeni Yan dengan nada menggoda.
"Hah? Tentu saja mencuci piring. Mana berani aku menghancurkan piring milik Kakak Jeni," jawab Brian Won dengan ekspresi ketakutan.
"He-he, bagus kalau begitu. Pastikan mencucinya dengan baik, harus bersih dan mengilap!"
"Ashiap!" balas Brian Won santai.
Klungting, klungting...
Brian Won mulai mencuci piring dengan sangat hati-hati. Sebagai seorang prajurit khusus, kekuatannya jauh di atas rata-rata, sehingga ia harus ekstra berhati-hati saat melakukan pekerjaan rapuh seperti ini.
"Oh ya, bagaimana perjalananmu? Apa kamu sudah bertemu dengan adiknya Juna?" tanya Jeni Yan di sela-sela Brian mencuci piring.
Brian Won meletakkan piring bersih di sisi kanan dan menghela napas panjang.
"Kacau. Baru tadi aku bertemu dengannya, tapi langsung ditolak mentah-mentah," jelas Brian Won dengan nada sedih.
"Benarkah? Hem, ini pertemuan pertama kalian, bukan?" tanya Jeni Yan ragu.
Brian Won mengangguk pelan.
"Benar. Ini adalah pertemuan pertama paling kacau yang pernah aku alami."
"..."
Jeni Yan terdiam. Ekspresinya terlihat aneh sebelum akhirnya bertanya dengan hati-hati,
"Memangnya bagaimana? Coba ceritakan pertemuanmu dengan adiknya Juna."
Brian Won mengangguk dan mulai menceritakan semuanya, mulai dari dirinya dihadang oleh Luo Nang hingga insiden satu lawan tujuh.
Ia juga menceritakan reaksi Vivian saat menyapanya.
Jeni Yan terus diam, seolah sudah menebak apa yang sebenarnya terjadi.
"Brian, kamu salah karena menunjukkan kekuatanmu di hadapan publik.
Tidak heran jika Vivian mengatakan hal buruk seperti itu padamu. Aku sedikit mengenal gadis itu. Dengan karakternya, wajar jika ia langsung menyalahkanmu atas kematian Wan Juna," jelas Jeni Yan dengan nada lelah.
"Benarkah? Memangnya kenapa?" tanya Brian Won bingung.
"Hah... Brian, menurutmu kejadian saat kamu mengalahkan tujuh orang sekaligus itu hal biasa?" tanya Jeni Yan serius.
Brian Won mengangguk tanpa ragu.
"Bukankah hal seperti itu memang biasa? Saat di tentara, aku bisa mengalahkan seratus orang dan semua menganggapnya hal biasa.
Ini hanya tujuh orang. Kenapa Vivian sampai marah padaku?" tanya Brian Won polos.
"..."
Jeni Yan terdiam.
"Brian, adikku sayang, sepertinya Kakak Jeni harus memberimu pelajaran tentang akal sehat orang biasa.
Ayo! Hentikan dulu cuci piringnya. Kakak akan mengajarmu dengan ketat hari ini!" ucap Jeni Yan santai.
Namun entah mengapa, Brian Won justru merasa sedikit gugup melihat ekspresi dan mendengar nada suara lembut Jeni Yan saat ini.
"Eh? Harus sekarang?" tanya Brian Won ragu.
"Iya! Kalau kita terus menunda, entah kejadian mengerikan apa lagi yang akan kamu tunjukkan pada teman sekelasmu," balas Jeni Yan dengan santai.
---
