Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

[6]

Damian menyerngitkan alisnya saat melihat Amelia yang terduduk dengan kepala menunduk di atas ranjang mereka. Lagi-lagi dia harus melihat air mata itu. Damian benci mengakuinya. Ia benci mengakui jika ia paling tidak rela melihat air mata itu jatuh meski ia tahu mata itu menangis karena dirinya.

“Amel..” Panggil Damian. Laki-laki itu berlutut di hadapan tubuh sang adik, menggenggam jemari adiknya yang terasa dingin.

“Please, jangan nangis. Kamu menyakiti Kakak, Amel,” lirih Damian. Hatinya begitu pilu menyaksikan keadaan sang wanita tercinta. "Apa kamu nggak mencintai kakak? Setelah semua hal yang kita lakukan, apa rasa cinta kamu nggak bisa tumbuh seperti kakak mencintai kamu, Amel?" tanya Damian sembari menatap nanar Amelia.

“Apa kamu tidak bisa menginginkan Kakak, sebesar Kakak menginginkan kamu?” Pinta Damian hampir putus asa. “Amel.. Kakak mencintai kamu.” Ribuan kali ia telah menyatakan perasaannya agar wanita itu memahami cintanya. Tapi Amelia bahkan tak pernah tergerak untuk membalas meski hanya secuil. Wanita itu selalu mencoba keluar dari segala usaha yang dirinya lakukan.

“Kita dari darah yang sama. Bagaimana bisa aku mencintai kamu Damian Wijaya?” Sentak Amelia. Wanita itu menghempaskan tangan Damian, membuat genggaman dari jemari hangat sang kakak terlepas begitu saja.

“Persetan dengan darah yang sama! Persetan dengan kamu adikku. Aku mencintai kamu!” Bentak Damian yang akhirnya malah membuat Amelia menangis semakin keras. “Bagaimana bisa kamu masih memikirkan darah sialan itu disaat setiap malam saja, kamu selalu bergerak di atas tubuhku!” Ucap Damian tajam.

Amelia membekap mulutnya. Kebenaran yang Damian ucapkan baru saja tak bisa dirinya sangkal. Ia memang melakukannya, menikmati setiap cumbuan yang pada awalnya dipaksakan oleh kakaknya.

“Kamu menginginkan Kakak dan Kakak tahu itu, Amelia.” Seribu kali Amelia mencoba membohongi dirinya, Damian mengetahuinya dengan baik. Disini, hati mereka yang berbicara. Bukan mulut yang terus saja mendendangkan dusta untuk menampik kenyataan yang ada.

“Nggak! Kakak yang memaksaku menerima setiap hujaman kakak. Kakak yang memaksaku melakukan hal menjijikan itu.”

Damian terbahak. Memaksa? Ya dia mengakuinya. Awalnya memang dialah yang memaksa Amel setiap kali ia menginginkan berada di dalam wanita itu, tapi bukankah setelah itu nafsu manusia mereka yang berbicara? Menuntun mereka untuk mencari kenikmatan yang mereka kehendaki?

“Bunuh kakak saja kalau begini. Bagaimana? Mau?” Tawar Damian. Laki-laki begitu mudah dalam mengucapkan kata itu. Seolah nyawanya benar-benar memang tidak berharga di hadapan seorang Amelia, wanita yang ia cintai dengan sepenuh hati dan kewarasannya itu.

“KAKAK!!”

“Kenapa kamu menjerit?! Kamu bebas membunuhku jika mau.” Damian berjalan menjauh. Laki-laki itu menghampiri sebuah nakas dimana hanya dia yang memegang kuncinya, menarik handle hingga menampakkan sebuah belati. “Pakai ini Sayang.. Aku rela meninggalkan dunia ini, asal kamu tidak terus menyangkal perasaan yang ada.”

“Kak! Jangan ngaco.. Aku nggak pernah menyangkal apapun. Demi Tuhan, kita memang saudara.”

“Kenyataan itu Kakak tidak pernah memungkirinya. Siapa yang mengatakan kamu bukan adik Kakak, Sayang?!” Damian kembali mendekati Amelia, berdiri tepat di hadapan wanita yang baru saja bangkit tersebut. “Nggak ada seorang pun, kan?!” tanya-nya dalam suara yang tenang sebelum keruh tercipta pada wajah tampan Damian.

“yang selalu ku tanyakan adalah perasaan kamu Amelia. Bukan hubungan kita di dunia. Cinta itu, apakah tidak ada untukku di dalam hati kamu?”

Amelia memalingkan wajahnya. Tubuhnya berjengit kala Damian menarik selongsong melati yang membuat darahnya berkumpul di satu titik.

“Jika tidak,” Damian memindahkan belati ditangannya pada genggaman Amel, “tolong tancapkan ini tepat di dadaku jika memang cinta itu tidak ada untuk ku, Amel. Lebih baik aku mati dibandingkan mencintai kamu seperti orang gila sendirian. Bunuhlah Kakak, Amel. Kakak rela. Lebih baik menanggung kematian ketimbang lara karena kebohongan kamu atas cinta kita.”

Ujung belati tersebut telah mengarah tepat pada bagian dada Damian. Hanya memerlukan satu tusukan di jantung pria itu dan segala penderitaan akan menghilang seperti buih di lautan. ‘Tusuk dia Amel,’ jerit hati Amel meski tangannya jelas bergetar karena ketakutan. Sejujurnya Amel dilemma. Ia ditekan antara benar dan salah meski rasa cinta yang Damian inginkan memang mengakar kuat di hatinya.

“Ayo Amel.. Tunggu apa lagi. Ini adalah tiket kebebasan kamu, Sayang. Bukankah kamu menginginkan lepas dari cinta kakak?! Mati ada pilihannya Amel.”

Belati tersebut merosot jatuh dari tangan Amel. Ia memeluk tubuh Damian erat sembari terus menggelengkan kepalanya. Bagaimana bisa ia membunuh laki-laki yang dirinya cintai menggunakan tangannya sendiri. Akan menjadi seperti apa dirinya di masa mendatang jika dengan tangannya, pria itu harus terbujur kaku tanpa nyawa.

Amel melepaskan pelukannya. Memberi sejengkal jarak sebelum melayangkan tangannya ke wajah Damian. Tangannya menyusuri pahatan rupawan sang kakak. Wajah yang seharusnya tidak ia serahkan seluruh hati dan cintanya. Wajah pria yang memiliki darah yang sama dengannya— Kakaknya sendiri. Laki-laki yang dilahirkan oleh ibu yang sama.

Tuhan, Aku harus bagaimana? Aku mencintainya, tapi semua ini jelas sebuah kesalahan. Apa yang kami lakukan adalah dosa besar yang tak akan mungkin Kau ampuni.

“Kak..” Lirih Amelia memanggil Damian dengan suara penuh getar. Ia tidak bisa memenuhi permintaan laki-laki yang dirinya cintai. Membunuh Damian sama saja dengan bunuh diri— menikam dirinya sendiri.

Tidak-tidak ini salah. Harusnya aku membunuhnya tadi. Menikam laki-laki ini ketika laki-laki itu mengulurkan sebuah belati yang akan menjamin kebebasanku. Tapi, kenapa.. Kenapa rasanya sakit jika aku berpikir demikian.

Perang batin itu menggema dalam hati Amelia di saat Damian terdiam membungkam suaranya. Pria itu ingin Amel mengekspresikan apa yang dirinya mau. Damian ingin melihatnya sendiri pilihan seperti apa yang Amelia pilih setelah ini.

Kak, Dami..

“Bagaimana ini, Kak.. Kita terlalu jauh dalam dosa ini Kak. Perlahan aku ingin memilikimu, tapi ini dosa. Aku mencintai kamu Kak.”

Aku buru-buru menarik jemariku saat melihat wajahnya menyerngit. Kini Amelia menyadari jika kalimat terakhirnya tidak terungkap di dalam hati, melainkan mulutnya sehingga pria itu dapat mendengar isi hatinya secara jelas. Amel secepat kilat membalikkan tubuhnya. Jantungnya berdetak kala lengan Damian memeluknya erat dari belakang sembari merapatkan tubuhnya. Memberi belaian lembut di atas perut ramping Amelia yang tertutupi piyama tipis.

“Cintai aku Amel. Cintai Kakak seperti kakak mencintai kamu, Amel. Kakak sangat mencintai kamu,” bisik Kak Damian ditelinga Amelia. Tubuh wanita itu menegang dengan mata tertutup. Sungguh ia ingin. Andai saja bisa Amelia mengatakannya, ia akan menjawab jika dirinya sudah mencintai kakaknya. Tapi kenyataan itu, fakta bahwa mereka merupakan saudara kandung tetap tak dapat Amelia singkirkan dari kewarasannya.

“Cintai Kakak, Amel. Kakak mohon.” Damian mengiba. Keputusasaan terselip dalam nada suara Damian yang bisanya tegas tak terbantahkan, sehingga membuat Amelia membuka pejaman matanya.

Haruskah?

Amelia memutar tubuhnya kembali menghadap Damian. Ia menatap mata Damian yang sayu— seolah ia dapat melihat duka dan penyesalan di sana. Pada kedua bola mata itu, Amelia menyaksikan kesedihan di dalamnya.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel