Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

[5]

Amelia saat ini sedang mencari apa pun yang dapat ia gunakan untuk menghubungi kedua orang tuanya di Belanda. Ia harus segera keluar dari penjara yang kakaknya buat agar tak semakin larut dalam melakukan dosa. Entah dimana keberadaan ponselnya, ia tidak tahu tempat Damian menyimpan barang penting tersebut. Jadi satu-satunya cara yang bisa ia tempuh sekarang adalah menemukan persegi panjang canggih milik sang kakak. Ia harus segera menemukan pesawat telepon pribadi Damian. Hanya itu cara untuk mencari pertolongan orang tuanya.

Hampir putus asa merupakan satu-satunya hal yang mendera dirinya. Amelia terduduk di atas lantai sembari meratapi hidupnya yang kacau. Setelah mengutuk tubuhnya yang tak bisa menolak sentuhan sang Kakak— Demi Tuhan, Damian adalah kakaknya dan Amelia bisa mengeluarkan desahan menjijikkannya saat kakak laki-lakinya itu memompa dirinya. Ia benar-benar kotor.

“HP Kakak juga nggak ada dimana-mana!” Lirih Amelia. Apa lagi yang bisa ia perbuat sekarang, saat tak menemukan satu pun alat untuk keluar dari penjara yang Damian buat untuknya?

Menangis dan menangis itulah hal yang bisa ia lakukan. Amelia menatap benci laki-laki yang tertidur lelap di atas ranjang bekas percintaannya mereka tadi. Ranjang itu adalah saksi kebuasan sang kakak atas dirinya. Saksi dimana ia meneriakan nama Damian Wijaya saat laki-laki itu mengisi dirinya dengan cairan menjijikan milik pria itu.

“Aku kotor. Aku menjijikkan!” Isak Amelia dalam tangisnya. Tangannya ia gunakan untuk mencakari dirinya sendiri. Ia merasa menjadi manusia yang menjijikan karena melalui semua hal yang jelas-jelas dikutuk dan dilarang untuk dilakukan sepasang saudara.

“Mami, Papi.. Tolong Amel,” isaknya lagi. Amelia bahkan tak memperdulikkan keterlanjangan dirinya. Keluar dari kungkungan menjijikan sang kakak adalah satu-satunya hal yang terpikirkan di benak wanita cantik itu.

Amelia kembali naik, mencari ponsel Damian disekitaran laki-laki itu. “Mana telepon kak Dami. Kamu dimana HP?” Racaunya mulai merasa frustasi. Tubuhnya menegang saat merasakan lengan seseorang melingkar di tubuh telanjangnya.

“Kamu cari apa, Sayang?” tanya Damian. Damian membelai setiap jengkal tubuh Amelia, membuat wanita itu kembali menjerit dalam hatinya.

“Sayang, kamu.” Ucap Damian tidak tahu diri.

“Kak,” lirihan terdengar Amelia saat Damian dari belakang memasuki dirinya. Laki-laki itu seakan tidak puas dengan apa yang mereka lakukan di ranjang beberapa jam lalu.

Tidakkah kakaknya itu melihat kesedihannya? Keterlukaannya karena kelakuan bejat sang kakak ini?

“Mendesah Sayang, bukan menangis. Kamu lihat, kamu pun menginginkan Kakak Amel. Lihat Sayang, Kakak begitu mudah memasuki kamu.” Damian yang masih terus memaksakan keinginannya untuk menggauli adiknya sendiri.

“Kak..”

“Ya, Amel. Ya, Cintanya Kakak,” lirih Damian sembari melakukan segala hal yang menurutnya bisa membuat adiknya itu merintih nikmat di bawah kendali tubuhnya.

“Kak, please.”

“Kakak datang Sayang. Ah, Amel. Kakak cinta kamu.” Racau Damian. Laki-laki itu menyemburkan benih-benihnya ke dalam tubuh sang adik, membuat Amelia kejang karena menerima rasa yang tidak bisa wanita itu jelaskan. Sebelum wanitanya terjatuh karena menikmati sisa-sisa percintaan mereka, Damian menahan tubuh wanitanya, mendekapnya erat.

“Makasih, Cintaku. Kamu selalu tahu cara membuat Kakak mengerang,” bisik laki-laki itu ditelinga wanita yang jelas-jelas adalah adiknya sendiri.”

“Kakak mencintai kamu, Sayang.” Entah kata cinta keberapa yang keluar dari bibir laki-laki beraura dingin itu. Amelia tak bisa menghitungnya. Sejak laki-laki itu memaksakan kehendaknya, Damian tak pernah absen menyatakan rasa cintanya.

Cinta?

Benarkah ungkapan tersebut?

Tapi mengapa semuanya terasa salah bagi Amelia. Apa yang harus Amelia lakukan? Ini semua terasa tidak benar, meski ia sendiri tak bisa memungkiri rasa cinta di hatinya untuk sang kakak.

Kenapa ia begitu menjijikkan? Mengapa Tuhan membuat hidupnya menjadi sulit, disaat ia ingin melupakan rasa cintanya untuk laki-laki yang jelas-jelas memiliki darah yang sama dengannya?

Apa yang harus Amelia lakukan sekarang?! Menerima keadaan tanpa berbuat sesuatu? Tapi ini merupakan dosa yang mungkin akan membakar mereka di panasnya bara api neraka kelak.

“Kita mandi berdua, Sayang. Kakak masih belum puas.”

Amelia tersentak saat tubuhnya melayang dalam gendongan Damian. Laki-laki itu tersenyum, sembari membawanya berjalan masuk ke dalam kamar mandi di kamar yang beberapa hari ini ia tinggali. Amelia memalingkan wajahnya tak ingin melihat senyum kemenangan diwajah sang kakak saat ini.

Setelah membersihkan diri dengan beberapa adegan yang membuat Amelia kembali mengeluarkan tangisnya, Damian menitipkan pesan agar Amelia tak berulah lagi. Pria itu harus pergi ke hotel karena beberapa urusan.

“Jaka taruhannya, Sayang. Kakak tahu kamu wanita yang baik. Kamu pasti tidak akan bisa hidup tenang jika mengorbankan nyawa orang lain untuk kebebasan kamu.” Damian mengecup kening Amelia, “Kakak pulang sore. Kamu bisa melakukan apa pun yang kamu mau, asal tidak pergi dari Kakak.” Ujarnya memperingati.

*

Di tempat kerjanya, Damian terus meremas ponsel ditangannya. Papinya— Theodore tak pernah absen datang ke hotel untuk menanyakan sejauh mana perkembangan pencarian sang adik. Laki-laki yang memiliki kesamaan dalam segi wajah dengan Damian itu begitu menekan dirinya untuk membawa Amelia pulang ke rumah secepat mungkin. Sebuah hal yang jelas-jelas tak bisa Damian penuhi permintaannya.

“Damian, ini sudah satu bulan! Dimana adik kamu Damian! Kenapa orang-orang kamu belum juga menemukan keberadaan dia?!” Bentak Theodore. Ia tidak menyangka putrinya itu menghilang tanpa jejak.

Kepergian Amelia begitu rapi sampai-sampai orang-orang kepercayaannya tidak bisa menemukan dimana posisi putrinya itu berada. Belum lagi Damian yang biasanya dapat ia andalkan, terlihat enggan untuk mencari dimana keberadaan sang adik. Jika pria itu mau, Theodore yakin putrinya sudah berada di hadapannya sekarang.

“Jika kamu tidak menyayangi Amel, setidaknya untuk Papi Damian. Ada apa dengan kamu, kenapa kamu berubah?! Dulu melihat adikmu terluka saja, seluruh orang rasanya ingin kamu bunuh.” Amuk Theodore membawa-bawa kisah masa lalu.

“Pi,” erang Damian.

“Don’t Pi! Kamu benar-benar tidak seperti Damian yang kami kenal. Dalam wajah kamu saja nggak ada gurat kesedihan, apalagi khawatir!” Theodor kembali menaikkan suaranya. Ia heran mengapa Damian bisa setenang ini disaat Amelia menghilang tak tentu rimbanya.

“Temukan adikmu secepatnya, Damian! Ini perintah! Papi tidak mau tahu! Mamimu jatuh sakit karena merindukan putrinya Damian. Apa kamu ingin melihat dia mati hanya karena putrinya?!”

Damian memejamkan matanya. Ini adalah hal tersulit baginya. Dia pasti akan mengembalikkan putri dari keluarga Wijaya yang hilang. Tapi tidak sekarang. Nanti setelah sang adik melahirkan keturunannya. Ia harus mempersiapkan banyak hal agar mereka tak dipisahkan oleh mami dan papinya.

“Papi mengandalkan kamu Dami…”

Tolong jangan andalkan Dami, Pi. Dami nggak bisa mengabulkannya!

“Tolong jangan kecewakan Papi. Ada Mami yang terus menunggu kepulangan adik kamu di rumah.”

Damian menunduk sedih. Jari-jarinya mengepal karena secara sadar, ia telah mengecewakan kedua orang tuanya tanpa mereka ketahui. Kesedihan sang mami, dirinyalah yang menciptakan semua itu.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel