Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Jebakan

"Mas, Sabtu besok aku ada tugas keluar kota. Ada pelatihan yang bahas produk perbankan baru," ucap Arini saat ia menyisir rambut di depan cermin.

Kuhentikan jemariku dari aktivitas berseluncur di dunia maya. Kudekati wanita tangguhku dan mendekap erat tubuhnya dari belakang. Seketika indra penciumanku langsung dimanjakan oleh harum rambut seusai keramas.

"Dek, bisa nggak kalau tugasnya dilempar ke yang lain?" Aku berharap Arini tak meninggalkan rumah, karena itu artinya memberi celah pada wanita jelmaan itu untuk membuatku semakin gila.

"Nggak bisa, Mas. Pimpinan langsung menunjukku karena aku yang nantinya berkompeten untuk mempublikasikan produk tabungan itu." Dengan lembut ia menjawab seraya telapak tangan kanannya mengelus pipiku.

Aku membalikkan badannya, menatap netra dengan manik kelam itu. Ingin kuselami dan kutemukan apa yang sebenarnya mengendap dalam pikiran wanita yang begitu tenang dan teduh ini.

Tak ada rasa khawatir di sana, bahkan senyum yang menyembul dari bibirnya begitu rileks. Sungguh tak sedikit pun terbersit prasangka, wajah tenang itu hanya menyiratkan bahwa ia baik-baik saja.

"Ibu tahu kamu akan pergi?" tanyaku menyelidik yang ia sahut dengan anggukan sembari tersenyum.

"Aku nitip ibu, ya, Mas. Untuk keperluan makan, aku sudah isi kulkas dengan lauk dan sayur. Buah juga sudah ada, jadi nanti biar Ibu yang masak." Begitu ringan Arini mengucapkan itu.

Aku hanya terdiam, melepas pelukan dan kembali menyandarkan kepala ke sandaran ranjang.

"Beruntung ada Ibu, Mas. Jadi, kalau aku tinggal keluar kota ada yang masakin kamu," lanjutnya diiringi tawa kecil.

Aku hanya mendengus, sedikit kesal yang aku rasa. Terbuat dari apa hati wanita di hadapanku ini, sampai-sampai ia tak menaruh curiga pada ibu yang hendak menghancurkan rumah tangganya.

'Ayolah, Arini. Buka mata kamu, lihat bahaya yang akan merusak kehidupanmu,' seruku dalam hati dengan gemas.

"Aku tidur dulu, Mas. Besok jam empat harus sudah siap berangkat." Arini merebahkan badan dan menarik selimut berwarna abu muda kesukaannya.

Inci demi inci kutelusuri wajah berparas manis itu. Tak ada jenuh memandangnya meski berlama-lama, walau jauh dari kata seksi tapi Arini memiliki daya tarik tersendiri bagiku.

Arini, sungguh ia jauh berbeda dari ibunya. Ia bukanlah wanita yang suka mengumbar bagian indah tubuh, ia juga cenderung introvert dengan lawan jenis. Begitu kuingat bagaimana kerasnya aku meluluhkan hati agar ia mau menerimaku.

"Mas janji, Dek. Mas akan jaga hati dan cinta ini untuk kamu." Kubelai lembut pipinya dan mengecup lama dahi yang tertutup anak rambut itu.

Ia merespon dengan membalas mendekatkan wajah ke dada dan memelukku, kemudian tertidur lelap dalam dekapan hangatku.

***

Pagi-pagi buta Arini meluncur dengan mobil dinas yang menjemputnya. Netraku hanya bisa memandangi hingga bayangan mobil menghilang di belokan, meninggalkan aku dengan hati yang gamang.

Dengan langkah berat, kaki ini kembali memasuki rumah ungu yang tiba-tiba menjadi seram bagiku. Seperti hendak ikut uji nyali, dada ini berdesir yang diiringi dengan degub jantung tak menentu.

Kuedarkan pandangan, tak kutemukan sosok dengan tubuh berisi itu. Aman kurasa, mungkin dia masih lelap dalam alam mimpi.

"Arini sudah berangkat?" tanya Bu Hera ketika aku hendak masuk ke kamar sambil berjinjit seperti maling.

Sontak saja aku kaget, alhasil aku menarik pintu kembali dengan cepat dan ... duugh! Daun pintu sialan itu membentur jidatku, hingga aku membalik dan memijat dahi dengan pangkal telapak tangan.

"Kamu ini kenapa?" Masih dengan enteng ia bertanya, ada senyum menyembul di sudut bibir atau mungkin ia sedang menahan tawa karena melihat kelakuanku yang gugup saat di hadapan dia.

"Kaget saja, Bu." 

"Kaget kenapa? Memangnya ibu ini hantu?" Derai tawa mencibir akhirnya keluar dari mulutnya.

Tak sadar juga dia kalau dirinya lebih menakutkan dan lebih horor dari hantu. Ingin sekali kujawab, "Iya, ibu ratunya horor. Lebih horor dari Suzana." Tapi semua kata-kata itu hanya menyangkut di tenggorokan tanpa bisa terucap.

"Meski Arini pergi, aku nggak ada mood godain kamu. Ibu mau lanjut tidur lagi, nanti kamu masak sendiri ya, buat sarapan kamu." Perkataannya membuatku melongo.

Malaikat apa yang telah datang dan membuat ia kembali ke otak waras? Sungguh di luar dugaan. Aku yang telah was-was takut diberi masakan yang ditaburi obat perangsang kini merasa sedikit lega.

Eh, bukan. Bukan sedikit lega, tapi juga penasaran hingga terucap, "kenapa nggak mood lagi, Bu?"

Oh, sungguh pertanyaan bodoh. Ini sama saja aku memancing singa betina yang sedang birahi.

"Untuk apa merayu lelaki yang tidak tertarik denganku? Itu sama saja aku nggak punya harga diri di depanmu," ketusnya sembari melipat tangan ke dada dan bersandar di lemari buffet pemisah ruang TV dan ruang salat.

Apa? Dia bicara harga diri? Apa menggoda menantu itu termasuk punya harga diri? Busyet bener nih mertua, mau mencoba membuatku merasa bersalah tapi dengan dalih harga diri.

Arini, bagaimana bisa kamu punya ibu semacam ini? Ibu yang hatinya telah mati, tak ada lagi tersisa logika dan akal sehat dalam pikirannya. Mungkin saja hati nurani itu telah tergadai oleh kesenangan yang selama ini ia kejar.

Aku hanya tersenyum miris sembari menatapnya yang masih memamerkan kaki indah tanpa cela itu. Meskipun beberapa kali menelan saliva, namun kucoba perbanyak istighfar dalam hati.

Tanpa menghiraukan wanita kesepian itu, kubuka kembali pintu kamar dan salat subuh di dalam. Mencoba menghindar adalah tetap menjadi pilihan untuk terus waspada dari incaran wanita licik itu.

Benar saja, ia tak keluar kamar hingga aku selesai berbenah untuk berangkat kerja. Sedikit tergelitik hatiku dengan rasa penasaran dengan perubahannya hari ini.

"Ah, biarkan saja! Yang penting aku aman dari godaaan wanita kesepian itu," gumamku sembari menikmati roti selai yang kujadikan sarapan pagi ini.

Tak butuh waktu lama untuk menghabiskan tiga slice roti tawar berlapis keju dan secangkir teh hasil seduhan sendiri. Selesai dengan ritual isi perut, segera bola manik melirik penunjuk waktu yang melingkar di pergelangan tangan.

Oke, siap berangkat. Senyumku tak henti terulas dari bibir ini, serasa hari ini begitu ceria menyambut masa yang lebih baik. Begitu ringan kaki ini melangkah menuju garasi samping.

"Sialan!" umpatku sambil menjejak kaki ke tanah.

Suasana hati ini yang semula penuh dengan suka cita kini berubah drastis. Senyumku memudar saat itu juga ketika mendapati mesin tunggangan yang biasa aku gunakan kempes ban depan dan belakang.

Tentu saja aku kalang kabut. Tak akan cukup waktu membawanya ke bengkel sepagi ini. Kalau hanya kempes karena kurang angin bisa saja aku pompa, tapi ini kudapati dua buah paku menancap di masing-masing ban.

Aku tahu pelakunya. Siapa lagi kalau bukan wanita penggoda yang licik itu. Wanita penuh drama mengalahkan tokoh antagonis dalam cerita film ikan terbang.

Dengan geram kugedor pintu kamar mertua jelmaan yang sangat menyebalkan itu. Teriakan keras menggema ke seluruh ruangan, mungkin saja tetangga dapat mendengar suara dengan oktaf tertinggiku. Aku tak peduli, emosi sudah menguasaiku.

Dengan wajah ketakutan ia membuka pintu lebar dan membiarkan aku berteriak meluapkan rasa kesalku. Ia tak membalas, bahkan ia benar-benar memasang wajah takut dan merasa terdzolimi.

"Maaf, Danu. Tapi ibu tidak melakukan tuduhanmu, tolong jangan marah seperti itu." Kini wajahnya telah dipenuhi rinai bulir bening.

"Builshit! Kalau bukan Ibu siapa lagi? Di rumah ini hanya ada Ibu!" Teriakku makin emosi sembari menendang pintu.

Ia semakin ketakutan dan menghambur ke kakiku. "Danu, tolong jangan marah ke Ibu, Nak. Sungguh Ibu tidak tahu."

Aku tarik kakiku hingga terlepas dari erat tangannya. Kutarik napas dalam-dalam, kemudian pergi meninggalkan wanita itu dalam tangisnya, kuputuskan kembali ke kamar untuk menenangkan diri.

Entah sudah berapa kali kuhembus napas kuat-kuat untuk mentralisis sisa-sisa emosi yang masih ingin meledak. Baru saja kuhempas tubuh ini ke sandaran ranjang, kudengar ada suara teriakan dan diiringi tangis.

Kupasang indra pendengaran untuk memastikan suara di luar. Ya Tuhan, kenapa teriakan itu sama seperti yang kulontarkan pada wanita jelmaan itu? Tidak, itu tidak sekedar sama. Itu memang suaraku.

Dengan sigap segera kubangkit dari peraduan dan melangkah keluar. Kembali diri ini dibuat hampir meloncat oleh penampakan wanita itu, dengan senyum penuh kemenangan ia masih menatap layar gawai yang memutar video kejadian tadi.

"Kalau ini tersebar, pasti semua orang akan berpikir aku ini mertua yang terdzolimi, hihihi ...." Ia terkikik geli dengan ucapan yang keluar dari bibir berisi itu.

"Apa maksud semua ini? Kenapa Ibu merekam video itu?" Kembali aku meradang. Jika tidak mengingat ia ibu mertua, rasanya ingin kuhajar wanita di depanku ini. 

"Hanya sedikit permainan, Danu."

"Ini bukan drama, Bu. Aku menghormati Ibu sebagai mertua, ibu dari istriku. Tak sepatutnya Ibu bersikap seperti itu. Bagaimana jika Arini tahu kelakuan Ibu?"

"Kelakuanku? Kelakuan yang mana? Bukankah yang berusaha menganiaya wanita lemah ini adalah kamu? Jika Arini tahu, pasti dia kecewa." Masih dengan tenang ia berujar, semakin membuatku muak.

"Sudahlah, Danu. Kamu itu tak akan bisa menandingi otak geniusku. Sekarang semua ada di tanganmu. Mau ikutin apa kataku, atau ...."

"Atau apa?" tantangku dengan cepat.

"Atau semua orang akan tahu kalau kamu itu menantu jahat yang tega menganiaya ibu mertuanya, hahaha ...."

"Wanita tak punya malu! Awal aku akui aku hampir tergiur dengan kemolekan tubuhmu, tapi setelah tahu hati iblismu aku rasa menyentuhmu menjadi najis bagiku." Sinis dan penuh penekanan kuucap kalimat yang keluar dari isi hati yang penuh dengan letupan emosi.

"Gampang, kalau najis ntar digosok aja pakai tanah. Ilang deh najisnya, hahaha ... iya nggak, Danu Sayang?" candanya seraya menoel daguku dan dengan kasar kutepis tangan nakal itu.

"Lebih baik aku pergi daripada berhadapan dengan iblis jahanam yang tak punya malu!" Ketus kulontar kalimat itu sembari berlalu dari hadapannya.

"Pikirkan lagi, Danu! Jangan sampai menyesal, hahaha ...." teriaknya dengan tawa mengejek seolah dia pemenang dari sebuah kompetisi.

Kulenggangkan kaki keluar dari pagar, berjalan tanpa arah dan tujuan hanya untuk sekedar mengembalikan ketenangan yang terusik. Tak kupedulikan tawa yang menggema mengiringi langkahku yang menjauh dari rumah horor itu.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel