Gigit Jari
Semenjak kepergian Arini keluar kota, kuputuskan untuk numpang di kost-kostan Martin, teman sekantor. Hanya dengannya kuceritakan semua dan disambut dengan gelak tawa.
Mungkin baginya kisah menantu dikejar-kejar mertua itu sama seperti kisah Abu Nawas, penuh tantangan yang butuh akal ekstra untuk mengalahkan semua permainan atau teka-teki.
Tak kupungkiri, ada kekhawatiran yang merayapi ruang pikir. Bagaimana jika Arini melihat video perlakuanku ke ibunya. Yang kutakutkan adalah Arini hilang hormat padaku yang berujung ia akan mendiamkan aku berhari-hari atau lebih parahnya mengusirku karena tidak terima ibunya aku bentak-bentak.
Ah! Kenapa wanita iblis itu hadir dalam hidupku. Kupikir manusia seperti itu hanya ada dalam film-film saja, tapi ternyata memang ada dan hadir dalam kehidupanku sebagai penguji.
Pikiranku buntu saat ini. Otak tak mampu bekerja mencari jalan keluar. Ingin rasanya membalas, tapi takut justru aku yang salah melangkah dan berakhir parah.
Aku sadar betul wanita yang kuhadapi adalah ratu drama yang mampu memperdaya pria yang telah mengangkat derajatnya, sudah dapat dipastikan selicik apa dia. Dapat menghindar dari godaannya saja aku sudah bersyukur, karena itu artinya aku masih belum terjerat dosa bersama wanita yang haus belaian itu.
Drrtt ... drrtt ... drrttt ....
Gawaiku bergetar dari nomor yang tak aku kenal, namun foto dengan wajah menggoda yang terpampang di layar benda pipih itu amat aku kenal. Wanita jelmaan yang kesepian itu menelponku? Netraku membulat.
Bagaimana ia tahu nomor whatsappku? Ah, pasti dia minta ke Arini. Dasar Arini! Tak peka juga dia, malah suaminya diumpankan.
"Haduuh ... jangan salahkan aku, Dek kalau sampai aku jatuh ke pelukan ibumu," gerutuku jengkel sembari menolak panggilan dengan kesal.
Rupanya wanita itu tak menyerah, entah sudah berapa kali ia telepon namun kuabaikan. Tak tahan juga lama-lama mendengar getar gawai yang terus menerus. Jemariku langsung mencari menu blokir.
Kulempar gawai ke atas nakas. Baru sejenak aku mencoba menutup kelopak mata, kembali gawai bergetar. Kali ini ke panggilan seluler. Astaghfirullah ... ia tidak menyerah juga.
"Apa maunya, Ibu? Mau mengancamku?" teriakku penuh emosi.
"Danu, Ibu takut di rumah sendirian."
"Aku tidak akan terjebak lagi dengan tipu muslihat wanita iblis sepertimu!" kecamku tanpa berpikir perasaannya, aku rasa ia tak punya perasaan lagi.
"Danu, jangan begitu. Aku ini ibu mertua kamu. Ibu hanya minta ditemani di rumah, Ibu takut di rumah sendirian."
"Sudahlah, Bu. Aku malas debat, aku akan pulang setelah Arini sampai di rumah."
"Ibu lagi nggak sehat, Danu. Ibu butuh bantuanmu untuk antar ke dokter." Ia masih mencoba merayu dan cari akal agar aku pulang. Sungguh terlalu dan pandai akting.
"Danu, tolong pulang. Dada Ibu sakit sekali," suara rintih kesakitan menyertai ucapannya.
Dia sedang bersandiwara atau sakit beneran, ya? Jika benar ia sakit dan aku nggak pulang, pasti akan jadi masalah. Tapi jika itu bohong dan hanya bagian tipu dayanya, maka aku juga akan dalam masalah besar.
Baiklah, aku harus memutar otak untuk tahu kebenarannya. "Baiklah, Bu. Sebentar lagi aku pulang. Sekarang Ibu istirahat saja, ya."
"Cepat, Danu. Ibu sudah nggak tahan, sakit sekali." Napas tersengal-sengal jelas terdengar, sepertinya ia memang sedang sakit beneran.
"Iya, Ibu tunggu saja. Aku segera pulang." Kuputus sambungan seluler dan segera menemui Martin yang duduk di luar menikmati kicauan burung peliharaannya.
"Aku butuh bantuanmu, Bro!" ucapku pada Martin yang tengah asyik bersiul.
"Bantuan apa?"
"Mengatasi tuh wanita jelmaan. Barusan dia telpon, katanya lagi sakit. Tapi aku nggak yakin, bisa aja ini akal-akalan dia biar aku mau pulang."
"Terus?"
"Temani aku, biar dia nggak macam-macam."
"Hahaha ... kamu ini laki-laki, Danu. Bagaimana bisa takut dengan wanita tua yang genit itu?"
"Udah jangan banyak tanya. Sekarang antar aku kesana dan kamu harus ikut masuk ke rumah. Aku hanya ingin terhindar dari fitnah kejam wanita jadi-jadian itu," kilahku agar Martin tak memperpanjang pertanyaan.
Kutarik lengan Martin dan membawanya mendekati motor. "Buruan naik, aku aja yang di depan biar cepat," ujarku memerintah.
***
Kutepikan motor agak jauh dari rumah, rencana telah kubicarakan dengan Martin. Kali ini jika wanita itu mencoba merayuku, maka akan ada saksi bahwa wanita binal itu yang salah.
Aku sengaja masuk ke rumah terlebih dahulu dan membiarkan Martin menunggu sejenak di luar menanti kode dariku. Segala rancangan telah tersusun rapi, kali ini aku harus bisa mempunyai alat untuk membuatnya berhenti mengancamku.
Kuketuk pintu kamar yang masih terbuka sedikit. Kepalaku sedikit menyembul, mencoba memastikan keberadaan wanita itu. Ia tengah terbaring lemah di ranjang dengan rintih kesakitan.
Aku bergegas mendekat. "Bu, Ibu beneran sakit?" tanyaku cemas seraya membantunya menyandarkan kepala di tumpukan bantal.
"Kamu pikir Ibu bohong?" ucapnya kesal dengan wajah pucat pasi.
"Maaf, Bu. Kita ke dokter sekarang, ya? Sebentar aku pesen driver online dulu." Jariku dengan cepat membuka aplikasi ojek online, namun belum sempat kutekan order tangan itu menarik gawaiku.
"Tidak usah, Danu. Ibu hanya butuh kamu." Dengan manja lengan itu telah melingkar di leherku.
Sosok yang tadi terbaring lemah kini berubah agresif. Hembus desah napas pembangkit syahwat kini mulai menggoda telingaku, menggelitik naluri lelakiku.
Kurasakan belai lembut jemarinya menelusuri tiap lekuk wajah dan leherku. Desiran dalam tubuh membuat darahku mengalir lebih cepat dan ....
"Martiiiin!" teriakku kencang disusul dengan suara derap langkah cepat memasuki kamar.
Dengan cepat wanita itu mendorongku keras hingga aku tersungkur ke lantai. Ia terkejut ketika melihat Martin yang telah berdiri di ambang pintu. Bola mata itu memancarkan amarah, mungkin karena menahan hasrat.
"Kalian?" Wanita itu berdiri dengan garang, tubuh yang lemah kini tak ada tanda-tanda ia sedang sakit.
"Tante baik-baik saja? Kata Danu, Tante sedang sakit." Martin mencoba memancing.
Tentu saja wanita itu kebingungan. "Ya, aku memang lagi sakit. Wajahku pucat, kamu bisa lihat sendiri. Tapi menantu kurang ajar ini malah memanfaatkan situasi."
Duh, Gusti ... mata ini membeliak sebulat mungkin mendengar dalih perempuan ratu drama di hadapanku.
"Memangnya Danu kenapa, Tante?"
"Dia malah mencoba menggerayangi tubuhku. Kurang ajar kan dia?" Dengan wajah ditekuk dan bersungut-sungut ia mencoba meyakinkan Martin.
"Wah, Danu sudah nggak bener ini, Tan! Kudu dihajar dia." Martin bersiap-siap menarik kerah kaosku.
"Nggak usah, biar nanti aku adukan ke Arini." Bibir berisi itu mencebik.
"Bagus itu, Tan. Biar Danu tahu rasa." Martin ternyata sangat pandai mengkompori. "By the way, tante nggak pakai make up kayak waktu pergi ke kantor Danu? Tante cantik lho kalau pakai make up. Aku aja suka." Kerling mata nakal Martin membuat wanita itu tersenyum dan tersipu malu.
"Kalau aku pakai make up, mana bisa wajahku terlihat pucat?"
"Oh, Tante pucat itu karena tanpa make up? Bukan karena sakit?"
"Ehm ... maksud Tante ... ehm ... eh, itu ...." Akhirnya wanita licik itu kelimpungan menjawab pertanyaan Martin.
"Sudahlah Tante, aku sudah tahu tante berpura-pura. Aku bisa jadi saksi kalau Tante berusaha merayu Danu. Ingat, Tan. Danu itu suami dari anakmu. Masa Tante tega menghancurkan rumah tangga anak sendiri."
"Eh, jangan asal tuduh, ya. Mana bukti aku merayu Danu?"
Suasana hening. Martin terdiam, ia tampak berpikir. Memang tak ada bukti yang di dapat kali ini, semua rencana berantakan gegara gawaiku yang akan kujadikan pengirim kode diambil oleh iblis betina berwujud wanita semlohai itu.
"Kenapa diam? Tak ada bukti, kan? Justru sekarang aku yang bisa teriak-teriak dan bilang kalau kalian yang akan mencoba melakukan pemerkosaan terhadapku."
"Apa?" Kompak aku dan Martin mendelik. Sepertinya Martin baru menyadari bahwa yang ia hadapi bukanlah wanita berhati, melainkan iblis dari neraka jahanam yang penuh tipu daya.
"Tolong, Tante. Jangan lakukan itu, aku akan pergi." Martin mengangkat tangan dan mundur, sedangkan aku hanya bisa mematung bingung.
"Kamu lihat, Danu? Aku bisa melakukan apa saja yang kumau."
Aku masih terdiam, bergeming dari tempat aku berdiri. Otakku masih berputar, mencoba mencari jalan untuk lari dari wanita gila satu ini.
Di saat genting, pikiran kalut ... kudengar suara lembut itu kembali. "Assalamualaikum," suara yang kuharapkan telah datang, tak terasa senyumku mengembang seraya menghela napas lega.
"Wa'alaikumsalam!" Sengaja suara kukeraskan agar Arini tahu aku di kamar ibunya.
Sudah pasti wanita itu menghentikan niatnya, ia lalu bergegas menaiki peraduan dan menyelimuti diri. Tak lupa erang kesakitan ia sertakan dalam drama.
Huff ... sungguh memuakkan!
"Ibu kenapa, Mas?"
"Ibu baik-baik aja, Dek. Nggak usah khawatir. Kamu lebih baik istirahat saja dulu."
"Augh ... Arini, dada Ibu sakit sekali." Sungguh pandai wanita itu berakting.
"Sepertinya Ibu sakit, Mas. Kita bawa ke dokter saja."
"Nggak usah, kata Ibu dia hanya butuh istirahat saja. Iya kan, Bu?"
"I-iya, Nak. Kamu pasti capek, istirahat saja. Maaf, Ibu tadi nggak bisa masak. Jadi, belum ada makanan."
"Ibu yakin akan baik-baik saja?"
"Iya, Ibu nggak apa-apa. Ibu hanya butuh istirahat. Keluarlah kalian."
"Ya sudah kalau begitu, Arini tinggal ya, Bu?" Wanita itu hanya menjawab dengan anggukan dan senyuman yang dibuat semanis mungkin.
Aku segera menguntit Arini yang melangkah keluar kamar. Sempat kulihat wajah kesal dari wanita ratu drama itu. Aku menjulurkan lidah sebelum keluar, mengejeknya penuh kemenangan.
Meski rencana gagal, namun kali ini aku terselamatkan kembali. Yes! Keperjakaanku tak ternoda, ups! Kehormatan kejantananku maksudnya, hahaha ....