Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Keresahan

POV ARINI

Namaku Arini, Arini Prabandari itu lengkapnya. Terlahir dalam keluarga broken home. Sejak kecil dalam asuhan paman dan bibi. Cerita tentang orang tuaku hanya kudengar dari mereka saja.

Jujur, kekecewaan itu ada ketika mengetahui bagaimana kehidupan ayah dan ibu. Terlalu tragis bagiku, tapi tidak untuk ibu.

Kata paman, ayahku pengusaha baja kuningan yang tergolong sukses. Banyak barang bernilai seni hasil produksinya yang tembus ke pasaran internasional. 

Ayah menikahi ibu yang berstatus janda bukan semata-mata karena ibu cantik, tapi lebih pada rasa iba. Ibu saat itu sedang kebingungan di sebuah terminal sambil menggendong anak kecil.

Sungguh ironis memang, ayah yang datang sebagai dewa penolong justru harus berakhir tragis. Pernikahan mereka hanya bertahan tiga tahun dan dalam masa itu ayah kehilangan semua jerih payah yang ia bangun bertahun-tahun.

Ya, ayahku adalah suami kedua. Setelahnya ibu menikah lagi dengan lelaki yang menjadi saingan ayah dan menaruh benci hingga tega merusak segalanya.

Pernikahan mereka juga tak lama. Kabar yang paman dengar waktu itu, ibu dicampakkan begitu saja setelah berhasil menghancurkan ayah. Selang berapa bulan menikah lagi dengan pria yang lebih muda darinya.

Antara kasihan dan sakit hati aku menghadapi ibu. Wanita yang tega menghancurkan kehidupan rumah tangganya sendiri demi kesenangan semata. Tapi kasihan ketika mendengar kabar ia tak punya tempat tinggal untuk berteduh. Ia baru saja diusir oleh suami ke empatnya.

Harapan bahagia dapat bertemu ibu dan berkumpul kembali sempat muncul ketika mendengar kabar dari paman. Namun, semua itu pupus ketika melihat bagaimana sosok ibu yang dalam bayanganku adalah wanita bersahaja dan lembut tak sesuai ekspektasiku.

Semenjak ibu di rumah, bukan bahagia atau suka cita yang kurasa. Aneh, sungguh aneh yang aku rasa ketika berhadapan dengan sosok ibu. Jujur, dari dalam hati aku tak sepaham dengan cara berpikir atau gaya hidupnya.

"Ibu terpaksa tinggal di sini, karena ayahmu tak menyisakan sedikit pun warisan untukku." Tanpa rasa bersalah ia berucap seolah ia bukanlah penyebab hilangnya seluruh harta ayah.

Aku hanya diam, kutahan semua hal yang menyesakkan dada karena wanita yang kupanggil ibu itu. Kupaksa bibir ini tetap tersenyum meski terkadang kesal melihat tingkahnya.

Seperti hari itu, saat makan siang pertama sebagai penyambutan kedatangannya. Aku yang sudah antusias menanti kehadirannya harus menelan pil pahit penuh kekecewaan. 

Selesai kupersiapkan masakan, ia keluar dengan pakaian yang menurutku jauh dari kata pantas. Aku saja meski di rumah tak pernah memakai yang seterbuka itu.

Hatiku makin panas ketika memergoki netra Mas Danu tak berhenti mencuri pandang ke belahan dada yang sepertinya sengaja ibu pamerkan.

Aku akui di usianya yang sudah berkepala empat, tubuh ibu masih terlihat menarik dibandingkan aku yang bertubuh langsing dan dengan segala size yang kecil. Apalagi aku tak pandai memakai make up hanya sebatas bedak, lipstik, dan eyeliner.

Entahlah, ini hanya perasaanku saja atau bukan. Namun, aku berharap apa yang aku takutkan tak akan pernah terjadi. Aku takut kisah pernikahanku akan seperti yang pernah aku baca dalam berita yang bertajuk suami selingkuh dengan ibu mertua.

Hatiku mulai resah tatkala melihat semakin hari ibu seolah memancing mata lelaki suamiku untuk liar menikmati indahnya lekuk tubuh sintal itu. Beberapa kali berdehem hanya untuk membuat Mas Danu berhenti memandang.

Saat malam merambat menuju larut, aku sering terjaga hanya karena ketakutan yang selama ini menghantui. Kupastikan lelakiku ada di sisi pembaringan hingga esok pagi.

Sungguh, ini kehidupan yang tak normal. Apakah aku harus mencurigai ibuku sendiri sebagai pelakor? Apa mungkin ibu setega itu akan menghancurkan biduk rumah tanggaku?

Kuhela napas panjang, melepas lelah jiwa yang merayapi tubuh. Berharap takdir akan tetap berpihak baik padaku dan mengijinkan aku berjodoh dengan Mas Danu hingga ajal menjemput.

Mas Danu, Adarga Handanu adalah pria pertama yang berhasil meyakinkan aku akan tulusnya cinta. Meski beberapa kali aku tolak, ia tak pantang surut terus memohon.

Masih ingat dalam memoriku, bagaimana ia menyayat bagian lengan kirinya membentuk huruf 'A' demi mendapatkan hatiku. Bahkan bekas sayatan itu hingga kini masih ada. Bagiku tindakan konyolnya bukan hal romantis, tapi kegilaan yang ... entahlah.

Mengingat itu semua, keyakinanku pada cinta Mas Danu kembali. Aku percaya padanya, ia tak akan tergoda oleh wanita lain. Terbukti ia menghindari bersitatap dengan ibu, bahkan aku tahu saat ia pulang kerja justru ia memilih ke masjid.

Mas Danu juga beberapa kali hendak mengingatkan aku tentang ibu, tentang pakaian yang ibu kenakan, dan perihal lainnya. Seperti hari itu, saat ia melihat ibu dengan pakaian minim sedang menyiram tanaman di teras rumah.

Aku malu, benar-benar malu atas penampilan ibu yang tak pandai menjaga aurat. Jangankan menjaga aurat, menjaga kehormatan dirinya saja ia tak mampu. Hari itu hatiku sudah tak bisa diajak kompromi.

Kakiku dengan berat melangkah mendekati ibu yang masih menyiram mawar putih kesayanganku, bibirnya menyenandungkan lagu romantis. Ya, dia tengah asyik menikmati suasana hati yang aku sendiri tak paham.

"Bu," panggilku, ia menoleh sejenak kemudian melanjutkan kembali aktivitasnya mengacuhkan panggilanku.

"Ibu sudah berumur, tolong berubah. Sudah seharusnya apa yang ibu alami menjadi pembelajaran bagi ibu. Mulai hari ini, aku tidak mau melihat penampilan ibu yang memamerkan aurat kemana-mana," tegasku tanpa basa-basi.

Wanita itu berhenti menyiram, meletakkan alat semprot ke meja kecil. Dengan tatapan yang tak bersahabat ia melangkah mendekatiku.

"Ingat kembali, aku tinggal di sini karena terpaksa. Kalau saja ayahmu meninggalkan warisan sudah pasti ...."

"Ayah tidak meninggalkan warisan sedikit pun karena ulah ibu sendiri. Jangan pikir aku tidak tahu apapun. Arini bukan anak kecil lagi." Rasa hormat yang tersimpan rasanya menguar tak bersisa, hanya kecewa yang terus menghinggapi hati.

Dia diam, tak menyahut sedikit pun perkataanku. Berharap ia sadar bahwa selama ini adalah akibat yang harus ia terima karena ulahnya.

"Besok aku beri uang, belilah pakaian yang tertutup. Jika ibu ingin tetap tinggal di sini, ikuti aturanku." Kembali aku menegaskan sebelum akhirnya aku kembali masuk meninggalkan ia yang masih mematung.

Tangisku pecah dalam guyuran air yang jatuh dari shower. Salahkah caraku yang tak berlaku lemah lembut ke ibu? Sisi hatiku yang lain tetaplah menganggap ia sebagai ibu yang tetap harus aku hormati, namun di sisi lain aku tak bisa membiarkan ia semakin lalai dalam bersikap.

Selama ini aku sengaja diam, diamku bukan karena tak tahu. Bahkan apa yang dilakukan oleh ibuku pun aku tahu. Bagaimana ia mencoba merayu Mas Danu, bahkan sampai menyusul ke kantor.

Aku tahu Mas Danu pasti malu karena sikap ibu. Itu sebabnya ia menghubungiku untuk menjemput ibu yang menunggu Mas Danu pulang kerja. Jujur, aku sempat shock karena ibu begitu nekad menyambangi Mas Danu.

Aku percaya, Mas Danu akan menjaga cinta untukku. Ia bukanlah menantu biasa, ia tidak sama dengan pelaku dalam berita itu.

"Maafkan aku, Mas. Aku selama ini sering salah mengartikan maksud yang ingin kamu ungkap. Tapi, sungguh aku tak tahu bagaimana meminta ibu untuk pergi. Lagipula, orang tuaku tinggal ibu." 

Kudekap kembali bantal yang telah basah oleh air mata, menanti Mas Danu datang dari mengambilkan air untukku. Namun, lebih dari sepuluh menit ia tak juga muncul.

Langkahku terhenti ketika kudengar suara ibu ada di dapur, menyebutku bodoh seperti ayah. Ah, ternyata ....

Sekarang jelas sudah, kasih sayang macam apa yang ibu punya. Hati jenis apa yang ada dalam dirinya. Kuputuskan kembali ke kamar dan bersikap seolah tak mendengar apapun.

"Bu, tunggulah waktu yang tepat. Jika hidayah itu tak segera datang, maka akulah yang akan mengambil alih." Kuremas bantal dengan penuh amarah, muak dan kecewa menyesak menekan setiap sudut ruang hati.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel