Bab 9 Kritis
Bab 9 Kritis
Mobil yang membawa Nira sudah sampai di depan gedung rumah sakit. Bangunan yang tinggi menjulang nan luas itu merupakan bangunan rumah sakit termewah di kotanya. Maka, tidak heran, banyak sekali pasien berdarah bangsawan yang datang daripada masyarakat biasa. Namun, siapa peduli siapa yang datang? Apakah ada orang sakit yang sebelumnya sudah bercita-cita ingin dirawat di rumah sakit mana? Terasa bodoh sekali. Itu artinya sama saja ia telah bercita-cita untuk sakit.
Setelah sekilas matanya menyapu sudut depan rumah sakit dan menemukan beberapa petugas yang berjaga saat tengah malam, Pak Ketua dengan gerak cepat memanggil petugas untuk membawa Nira. Para petugas berlarian dengan mendorong brankar.
“Korbannya ada di dalam, Pak!” seru Pak Ketua kepada para petugas.
Pak Ketua membuka pintu belakang mobilnya. Tubuh wanita itu digotong dan diletakkan ke atas brankar, kemudian dilarikan ke IGD. Pak Ketua berlari mengikuti para petugas. Entah mengapa ia semakin khawatir akan wanita itu. Saat sudah sampai di depan ruang IGD, Pak Ketua dilarang masuk.
“Maaf, Pak. Cukup sampai di sini. Silakan Bapak menunggu di kursi tunggu,” ucap seorang dokter pada Pak Ketua.
Tanpa sadar, Pak Ketua seakan-akan ingin terus melihat kondisi wanita itu. Matanya terus melirik ke dalam ruangan IGD.
“Baik, Dok,” ujarnya sembari melangkah menuju kursi tunggu.
“Bisakah aku untuk tidak secemas ini kepadanya? Dia akan baik-baik saja, Azka!” ucapnya lirih. Tangannya ia letakkan di atas kedua pahanya, lantas dengan segera ia mengatur napas agar terasa lebih menenangkan.
Keadaan rumah sakit pada malam hari itu masih terlihat ramai. Banyak petugas dan pengunjung berlalu-lalang. Aroma rumah sakit begitu berbeda, terkadang bisa membuat orang yang tidak sakit jadi merasa sakit. Sama halnya dengan Pak Ketua, tiba-tiba ia memijat kepalanya yang terasa pusing. Satu jam yang lalu ia masih menghirup segarnya udara di hutan. Namun, sekarang ia harus menghirup udara di rumah sakit yang berbau obat-obatan.
Ia menyandarkan punggungnya ke kursi. Mata bulatnya ia pejamkan. Tangannya ia silangkan di depan dada. Rasanya ia perlu untuk istirahat sejenak. Beberapa menit kemudian, ponsel yang berada di saku celananya berdering. Ia tersentak dan langsung mengangkat panggilan tersebut.
“Kau masih di markas?” tanya seseorang di telepon dengan nada datar. Seperti tidak selera untuk berbicara.
“Tidak, Tuan. Saya sedang di rumah sakit,” jawabnya.
“Kau datang sebelum kupanggil, Azka. Cepat kemari!” Terdengar nada senang dari orang itu. Ia adalah Tuan Endru Abraham, seorang pria konglomerat. Nama Pak Ketua adalah Azka, ia merupakan asisten pribadi Tuan Endru yang sudah setia menemani selama tujuh tahun.
“Sebenarnya, saya ke rumah sakit mengantarkan korban kecelakaan, Tuan.”
“Jangan bilang kau menabrak seseorang ….”
“Tidak, Tuan. Saya dan tim menemukannya dibuang ke hutan oleh orang yang tidak bertanggung jawab. Karena keadaannya begitu buruk, saya membawanya ke rumah sakit.”
“Ah, sifatmu tidak pernah berubah. Saya tunggu di ruang rawat inap putri saya, ada hal yang ingin saya bicarakan,” ucap Tuan Endru.
“Baik, Tuan. Saya akan segera datang,” ucapnya.
Tuan Endru mematikan panggilan.
Azka berdiri dari tempat duduknya. Sebelum melangkah, matanya melihat pakaian yang ia kenakan. Ia baru tersadar, pakaiannya belum diganti. Ia juga masih memakai sepatu ceko dan pakaian serba hitamnya.
Apakah orang-orang memperhatikanku? batinnya. Matanya melihat ke sekitar. Untung saja tidak ada yang peduli dengan dirinya. Azka berjalan cepat menuju ruang rawat putri Tuan Edru.
Putri Tuan Endru juga sedang dirawat di rumah sakit tersebut sejak dua minggu yang lalu. Semakin hari, keadaannya semakin memburuk. Tuan Endru sekarang lebih banyak meluangkan waktunya di rumah sakit, menemani Reisa putri kesayangannya, daripada memikirkan hal lainnya.
Saat Azka tiba di ruang rawat inap Reisa, Tuan Endru langsung menyambutnya dengan hangat. Azka sempat bahagia karena Reisa sudah dipindahkan ke ruang rawat inap. Itu artinya keadaaannya sudah membaik. Di dalam ruangan ada Tuan Endru, seorang dokter, dan dua perawat di dalam, sedangkan dua bodyguard menjaga di luar ruangan. Azka menjadi khawatir karena keadaan tidak sesuai dengan ekspektasinya.
“Apa yang terjadi, Tuan?” tanya Azka. Ia melihat dokter sedang mengecek kondisi dan berusaha menyadarkan Reisa.
Bukannya menjawab, Tuan Endru hanya melemparkan tatapan kosong pada Azka. Tidak lama dari itu, seorang dokter menghampiri Tuan Endru dengan cepat.
“Nona Reisa harus dibawa ke ruang ICU dengan segera, Pak,” ucapnya, yang kemudian memberi intruksi pada perawat untuk membawa Reisa.
Tuan Endru tersentak dan mengangguk. Ia hanya bisa memercayakan semuanya pada Tuhan dan dokter yang menangani.
“Tolong Dokter,” pinta Tuan Endru pada dokter.
“Saya akan berusaha sekuat tenaga saya.” Dokter itu berlalu, meninggalkan ruang rawat inap menuju ruang ICU.
“Mari duduk dulu, Tuan,” ucap Azka kepada Tuan Endru yang terlihat cemas. Ia mempersilakan Tuan Endru duduk di sofa. Lantas memberinya minum.
“Semua akan baik-baik saja, Tuan.” Azka tersenyum.
“Bagaimana bisa saya tenang, putri yang sangat saya sayangi mengapa harus mengalami keadaan seperti ini?” Tuan Endru memejamkan matanya. “Kemarin, dia sudah mulai membaik. Namun tadi, tiba-tiba ia kejang-kejang dan langsung tidak sadarkan diri. Saya takut kehilangan putri saya,” lanjutnya dengan mata yang masih tertutup. Azka tahu, Tuan Endru sedang menyembunyikan air matanya.
Azka memegang bahu Tuan Endru, lalu menepuk-nepuknya, “Saya paham bagaimana perasaan, Tuan.” Senyum Azka semakin mengembang. “Mari kita berdoa untuk keselamatannya. Percayakan saja pada dokter,” lanjutnya.
Tuan Endru melirik Azka, ia merasa Azka adalah anak laki-lakinya. Tujuh tahun bekerja untuk dirinya, membuat Tuan Endru bak api tanpa bara jika kehilangan Azka. Dari sekian banyak orang kepercayaan Tuan Endru, Azka-lah yang dirasa paling setia menemani dan membantunya selama ini.
“Kau benar. Tapi, akan ada kemungkinan terburuk jika Reisa meninggal,” ucap Tuan Endru dengan raut wajah yang serius. Azka mulai membenahi posisi duduknya.
“Perihal apa, Tuan?” tanya Azka.
“Perusahaan, harta warisan, dan semua yang dimiliki oleh Reisa. Saya kira saudara dan ibu tirinya akan semakin tidak tahu diri. Mereka menikmati hartaku tanpa susah payah mengeluarkan keringat. Tidak seperti yang telah dilakukan Reisa. Ia begitu semangat belajar bisnis sejak kecil. Dia juga menghormati saya dari segala penjuru. Tidak seperti mereka yang bermain-main di belakang saya. Mereka kira saya tidak tahu akan itu semua.” Tuan Endru mulai geram. “Saya takut akan terjadi kekacauan jika Reisa telah tiada. Saya harus menyusun ulang strategi untuk kehidupan saya.”
Azka mengangguk-anggukan kepala dengan lembut, ia merasa memahami kondisi itu. Pasti akan selalu ada orang yang tergila-gila terhadap harta. Mustahil jika di dunia, orang tidak membutuhkan harta. Namun, lain halnya untuk orang yang picik dan serakah. Mereka rela menghalalkan segala cara untuk bisa mencapai semua keinginannya.
“Ya, saya tahu bagaimana sikap putri Tuan yang lainnya. Mereka tidak pernah kenyang akan sebuah pencapaian. Selalu merasa kurang, tanpa mau berusaha keras seperti yang orang-orang lakukan. Namun, saya yakin, Nona Reisa akan terselamatkan secepatnya,” ucap Azka mantap.
Tiba-tiba, dokter yang membawa Reisa ke ruang ICU datang kembali. Wajahnya pucat pasi. Ia seperti ragu-ragu untuk mengatakan sesuatu.
“Bagaimana keadaan anak saya, dok?” belum sempat dokter itu membuka suara, Tuan Endru langsung berdiri dan lebih dulu bertanya.
“Keadaan Putri bapak sangat kritis. Kecil kemungkinan untuk terselamatkan. Saya mohon maaf, Pak. Saya dan tim lainnya sudah berusaha keras sejauh ini.” Dokter itu menunduk, seperti menyesali apa yang terjadi.
“Tidak mungkin!” teriak Tuan Endru. Suaranya menggema di dalam ruangan, lantas memantul dan terbawa keluar dan meletup-letup di gelapnya malam.
Harapannya pada seseorang seakan menancap ulu hati Tuan Endru. Ia sudah tidak bisa lagi membendung air matanya.
“Ini bukan salah Anda, Dok,” ucap Azka. “Kematian memang di luar kendali kita. Pasien kritis semoga masih bisa diselamatkan, walaupun peluangnya hanya sedikit. Setidaknya kita masih memiliki peluang. Gunakan peluang tersebut.” ucap Azka dan seketika dokter itu pergi meninggalkannya.
***
Bersambung