Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 10 Cangkok Wajah

Bab 10 Cangkok Wajah

“Mencangkok wajah? Kamu sudah gila Azka? Tidak, saya tidak mau memberikan wajah putri saya kepada orang lain.” Tuan Endru menolak ide dari Azka. Azka terpikirkan untuk mencangkok wajah antara Nona Reisa dengan wanita yang ditolongnya dari hutan.

Cangkok wajah atau transplantasi wajah adalah metode untuk mengganti sebagian atau seluruh wajah seseorang dengan komponen pendonor yang cocok. Operasi cangkok wajah ini biasanya menggunakan struktur di dalam wajah tersebut, seperti kulit, jaringan, saraf, pembuluh darah, tulang, atau komponen lainnya pada wajah orang yang telah meninggal untuk dicangkok pada seseorang. Dalam cangkok wajah, tentunya ahli bedah melakukan rekonstruksi pada wajah seseorang, termasuk susunan tulang, dan unsur-unsur yang berada di wajah itu.

Tidak ada sesuatu yang tidak memiliki sebab-akibat. Termasuk cangkok wajah. Ide tersebut akan mengubah hal besar di hidup Tuan Endru.

Azka menghela napas. Ia merasa, hal itu memanglah ide yang buruk. Namun, ia juga merasa itu adalah ide yang tepat agar membuat Nona Reisa terlihat masih hidup di hadapan semua orang. Pasalnya, tidak banyak yang mengetahui mengenai Nona Reisa yang sedang dalam keadaan sakit. Termasuk lawan bisnis serta saudara-saudara yang memusuhinya. Hal tersebut sangat dirahasiakan oleh Tuan Endru. Terlebih sekarang, nyawa Reisa sudah berada di ujung tanduk. Hanya keajaibanlah yang bisa membuatnya bertahan.

“Apakah wanita yang kau temukan itu memiliki keluarga?” tanya Tuan Endru. Ia seakan sedikit tertarik akan wanita itu.

“Saya tidak tahu, Tuan. Jikalau ia punya, tentu semua orang akan mengiranya telah menghilang atau meninggal. Setelah identitasnya berganti, dia pasti akan menerima wajah barunya. Kita cukup memberinya uang dan membuat perjanjian,” jelas Azka.

“T-tapi saya masih ragu dan tidak rela putri kesayangan saya kehilangan wajah cantiknya.” Tuan Endru mengarahkan pandangannya ke arah Reisa.

“Semua ini dilakukan untuk membuat semuanya baik-baik saja, Tuan. Musuh-musuh Tuan akan senang jika mengetahui kalau Non Reisa telah meninggal. Masih banyak bisnis dan hal yang fundamental yang perlu ditangani oleh Non Reisa.”

Ruangan tempat Reisa terbaring menjadi hening, hanya tersisa suara dari monitor detak jantung yang begitu lambat. Tuan Endru sedang memikirkan perkataan Azka. Namun, ia tetap yakin bahwa putrinya bisa selamat.

Para dokter sudah mengerahkan semua tenaganya, tapi tetap saja, Reisa belum sadarkan diri. Tumor semakin menjalari otaknya. Hanya perlu beberapa waktu untuk ia mengembuskan napas terakhirnya. Tomor otaknya tidak bisa diangkat. Operasi hanya akan membuatnya meninggal seketika. Itulah mengapa para dokter membiarkan Reisa bertahan dengan tumornya selama berminggu-minggu.

Awalnya, para dokter membutuhkan waktu untuk memperhambat pertumbuhan tumornya dengan alternatif lain. Namun, sepertinya cara tersebut gagal dilakukan.

“Ayah …. ” Tiba-tiba terdengar lirih suara gadis yang memanggil ayahnya dengan penuh kasih. Tuan Endru yang sedang termenung, sontak menghampiri putrinya. Sebuah keajaiban hadir saat itu juga. Reisa akhirnya sadarkan diri.

“Reisa, putriku ….” Tuan Endru memegang jemari putrinya yang lembut dan dingin itu.

“Ayah boleh mencangkok wajah Reisa. Lakukanlah. Reisa … sudah … tidak … bisa melanjutkan pekerjaan itu. Reisa mohon … pada Ayah, untuk … berbuat yang terbaik. Maafkan Reisa, Yah.” Reisa dengan susah payah mengucapkan kalimat itu dengan terbata-bata. Saat sedang tidak sadarkan diri, ternyata Reisa bisa mendengar pembicaraan Tuan Endru dan asistennya.

Tuan Endru tidak bisa menahan tangisnya. Ia menggeleng cepat.

“Tidak, Sayang. Kamu harus bertahan. Kamu pasti sembuh,” ucap Tuan Endru sembari menciumi tangan Reisa. Ia menoleh ke arah Azka, “panggilkan dokter, cepat!” seru Tuan Endru.

Azka dengan gerak cepat memanggil dokter.

“Reisa … sudah … tidak kuat lagi, Yah. Reisa … sayang Ayah.” Kata terakhir diucapkannya dengan nada sangat rendah. Perlahan mata Reisa menutup. Ada air mata yang mengalir di sudut matanya.

Tangis Tuan Endru pecah. Punggungnya berguncang. Tuan Endru melemas, ia merasa seperti kehilangan separuh hatinya.

Tepat saat dokter tiba, detak jantung Reisa di monitor sudah berubah menjadi lurus. Dokter dan para perawat berusaha memicu detak jantungnya. Setelah lima menit dilakukan, hal itu tidak ada perubahan. Dokter menggeleng sembari menatap wajah Reisa yang cantik jelita. Reisa terlihat sangat cantik meski dengan wajah yang begitu pucat.

Tuan Endru dan Azka yang sedang menatap dari luar menjadi sedih. Terutama Tuan Endru, ia langsung terjatuh lunglai melihat putrinya sudah tidak bisa terselamatkan lagi.

Dokter keluar dari ruangan, ia langsung menghampiri Tuan Endru.

“Nona Reisa benar-benar tidak bisa terselamatkan. Maafkan kami, Pak,” ucap Sang Dokter pada Tuan Endru. Suaranya dilingkupi penyesalan. Ia menatap iba Tuan Endru yang terlihat sangat terpukul.

Bagaimana tidak, sangat sulit bagi Tuan Endru untuk menerima semua ini. Putri kesayangan yang selalu dipercayanya telah pergi meninggalkannya. Sungguh, semua ini sulit dipercaya.

Tiba-tiba, Tuan Endru bangkit dari duduknya. Ia menyeka air mata di sudut matanya. Lantas menatap Azka.

“Azka, lakukanlah idemu itu. Aku menyetujuinya,” ucap Tuan Endru dengan mantap.

Azka mengangguk, ia langsung mengajak bicara dokter yang sedang berada di hadapannya. Saat sedang dibisiki, dokter tersebut memperlihatkan ekspresi terkejut. Seakan tidak percaya dengan apa yang didengarnya.

“Ini untuk kebaikan keluarga Tuan Endru, Dok. Saya harap Dokter bisa bekerja sama dengan kami,” ujar Azka.

Sang dokter berpikir sejenak sebelum akhirnya ia mengatakan, “iya”.

Tidak perlu waktu lama untuk meyakinkan Sang Dokter. Dengan secepat mungkin, Reisa dibawa ke ruang operasi wajah. Begitu pun wanita yang ditolong Azka di hutan. Semua administrasi sudah diselesaikan oleh Azka. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan perihal itu. Pihak rumah sakit hanya perlu merahasiakan semua data yang tercatat. Tidak boleh ada yang tahu putri Tuan Endru telah meninggal dan melakukan cangkok wajah.

Dengan uang dan kekuasaan, semuanya tampak berjalan mudah bagi Tuan Endru. Namun, tampaknya mudah juga untuk semua orang. Di dunia ini manusia sangat menyukai uang, dan itu tidak bisa terelakkan. Uang seakan bisa mengubah segalanya. Dengan uang, semua hal yang sulit, menjadi mudah.

Pencangkokan wajah dilakukan oleh para ahli dibidangnya. Tuan Endru harus memastikan bahwa pencangkokan wajah ini tidak boleh gagal. Semuanya harus berjalan dengan sempurna. Pencangkokan ini akan memerlukan waktu kurang lebih sepuluh jam. Hal itu membuat Tuan Endru harap-harap cemas.

“Semuanya akan berjalan dengan baik, Tuan.” Azka mencoba menenangkan Tuan Endru yang terlihat sangat gusar.

“Kau tahu Azka, apa yang paling saya takutkan di hidup ini?” ucap Tuan Endru sembari menatap lurus ke arah depan.

Azka mengedikkan bahunya. “Tidak. Memangnya apa itu, Tuan?”

“Saya takut orang yang saya percayai penuh meninggalkan atau mengkhianati saya.” Tuan Endru beralih menatap Azka. Tatapan Tuan Endru membuat Asisten pribadinya itu bingung.

“Ya, saya hanya akan menjadi pecundang jika memercayai banyak orang. Saya tidak pernah percaya pada siapapun selain putri saya, Reisa ….” Tuan Endru terdiam. “Dan juga kau.”

Azka menatap Tuan Endru dengan hati terenyuh. Ia tahu, Tuan Endru sudah sangat berjasa kepadanya selama tujuh tahun. Ia yang telah mendidiknya hingga bisa kuat seperti ini. Ia pula yang selalu membantu saat ia direndahkan banyak orang.

Azka sudah berjanji pada dirinya sendiri, bahwa ia akan menjaga Tuan Endru sepenuh hati. Walaupun taruhannya adalah nyawa.

“Kau mengerti apa yang aku katakan, Azka?” tanya Tuan Endru.

“Ya, Tuan. Saya mengerti. Terima kasih sudah memercayai saya. Saya akan berusaha melakukan yang terbaik untuk Tuan.” Azka menunduk di hadapan Tuan Endru.

Tuan Endru tersenyum melihat Azka. Perhatiannya lantas beralih pada ruang operasi. Ia membayangkan bagaimana Reisa dengan tubuh barunya.

“Saya yakin, wanita itu adalah wanita yang baik. Semoga hal ini tidak lantas membuat hidupnya lebih buruk.”

“Ya, semoga saat dia terbangun nanti, dia seperti yang kamu pikirkan.”

Malam cepat berlalu, hari sudah berganti. Waktu dini hari tidak membuat kantuk di wajah Tuan Endru. Sedangkan Azka, kepalanya sudah naik turun dan menggeleng-geleng karena tidak tahan dengan rasa kantuk. Ia juga hampir terjatuh karena hilang keseimbangan. Tuan Endru lantas mengajak Azka ke rumah penginapan di rumah sakit. Penginapan tersebut begitu mewah, layaknya hotel berbintang lima. Sungguh, rumah sakit yang menakjubkan.

Setelah meninggalkan ruang operasi, Tuan Endru memerintahkan dua bodyguard-nya untuk berjaga di luar ruang operasi sampai operasinya selesai. Tuan Endru sangat berharap, semuanya bisa berjalan sesuai dengan yang ia rasakan. Saat pagi tiba, matahari menampakkan cahayanya di ufuk timur, Tuan Endru tetap duduk dengan mata yang telah berjaga semalaman. Hanya satu yang ia tunggu, ia ingin melihat senyum Reisa yang menyejukkan.

***

Bersambung

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel