Bab 11 Penerimaan
Bab 11 Penerimaan
Lima hari kemudian ….
Nira terbangun dari tidur panjangnya. Ia memang sudah tidak sadarkan diri sebelum menjalankan operasi. Pada saat membuka mata, yang dilihatnya pertama kali hanyalah dinding serba putih dan plafon putih yang terbiaskan oleh cahaya lampu. Ia mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Namun, yang hanya bisa ia gerakkan adalah bola matanya saja. Wajahnya terasa kaku. Ia merasa wajahnya dibelit oleh sesuatu.
Ia lantas menggerakkan tangannya untuk menyentuh benda yang menutupi wajahnya itu. Ia tidak tahu, bahwa benda yang membelit wajahnya adalah perban. Perban untuk menguatkan wajahnya. Saat ia memegang pipinya, ia merasa sangat linu. Saat tahu benda itu adalah perban, yang dibayangkan olehnya adalah sebuah mumi yang merasuki dirinya. Atau dirinyalah yang merasuki mumi? Sungguh pikiran yang konyol!
Nira kebingungan sendiri. Ia tidak bisa berbuat banyak untuk bisa melihat keadaannya saat ini. Yang bisa ia lakukan adalah diam dan tidak bergerak, sesuai dengan instruksi perawat.
“Ada apa dengan wajahku?” tanya Nira dengan perasaan gelisah.
Tiba-tiba, ada seseorang yang masuk. Langkahnya berirama bak detik jam dinding. Dari sudut mata Nira, terlihat seorang lelaki jangkung berkulit sawo matang. Ia memakai jas biru tua. Atau sekilas juga terlihat hitam.
Perawat yang berada di sampingnya langsung menghampiri seseorang itu.
“Bagaimana keadaannya?” tanya lelaki itu.
“Keadaannya sudah mulai membaik, Pak. Dia sudah sadarkan diri lima menit yang lalu. Hanya saja memang butuh waktu yang lama untuk penyesuaian wajah barunya,” ujar Sang Perawat.
“Baik, terima kasih.” Lelaki itu tersenyum pada Perawat, kemudian berjalan mendekati Nira.
Nira semakin gelisah dengan penyebutan “Wajah baru” oleh Perawat.
“Kau sudah siuman?” tanya lelaki itu.
Nira tidak langsung menjawab pertanyaan lelaki yang berada di hadapannya itu. Saat matanya beradu, ia malah melongo karena terpesona oleh lelaki itu. Jantungnya berdegup kencang. Seakan ada getaran halus yang menyerbu perasaannya. Lelaki itu berwajah proporsional, ia memiliki mata yang tajam, berkulit sawo matang, dan senyum tipisnya yang manis. Sungguh, wanita mana pun pasti akan langsung jatuh cinta. Ia merasa sedang bermimpi. Lelaki berwajah seperti ini hanya bisa dilihatnya di film-film.
Lelaki itu merasa heran, karena Nira tidak kunjung menjawab. Ia menjadi khawatir bahwa wanita itu belum benar-benar sadarkan diri.
“Hey!” seru lelaki itu sembari melambai-lambaikan tangannya di depan wajah wanita yang terbaring.
“Ya? Maaf.” Nira langsung tersadar.
“Kau sudah benar-benar siuman?”
“Iya,” jawabnya singkat.
“Ya, baguslah. Apa yang kau rasakan sekarang?”
“Ehm …” Nira berdehem agak lama. “Apakah dia menanyakan perasaanku saat pertama kali bertemu dengannya?” ucapnya dalam hati.
“Ah, tidak mungkin!” seru Nira.
“Kau masih merasakan sakit?”
“Tidak, aku baik-baik saja. Hanya saja tubuhku masih terasa kaku dan wajahku linu,” ucap Nira.
“Baik. Istirahatlah.” Senyum lelaki itu mengembang, dan berhasil membuat hati Nira tidak karuan.
“Kau siapa?” tanya Nira ragu.
“Oh, ya. Saya Azka. Saya menemukanmu terbuang di hutan dengan wajah dan tubuh yang lebam. Keadaanmu begitu buruk waktu itu. Sehingga saya membawamu ke rumah sakit.”
Hati Nira terenyuh. “Saya tidak tahu harus berkata apa padamu, seakan terima kasih saja tidak cukup,” ucapnya.
“Saya hanya membenci penyiksaan.”
Nira termenung, memikirkan apa yang dikatakan lelaki itu.
“Terima kasih, Pak Azka. Setelah saya sembuh, saya akan melakukan apa pun yang Pak Azka perintahkan, sebagai balas budi saya,” ucapnya lirih.
“Siapa namamu?” tanya Azka.
“Nira.”
“Baik. Ada yang saya ingin sampaikan kepadamu,” ucapnya. Ia terdiam agak lama.
“Ada perubahan pada wajahmu.”
Nira tersentak. “Apakah mungkin wajahku bertambah semakin buruk?”
“Tidak. Ada sebuah keadaan yang sulit sehingga mengharuskan saya mengubah wajahmu. Hal itu sebagai bentuk permintaan bantuan saya padamu. Apakah kau akan memaafkan saya karena meminta bantuan setelah bantuan itu sudah dilakukan?”
“Saya tidak mengerti. Mengubah wajah … bantuan … apa yang terjadi dengan wajah saya, Pak?” tanya Nira kebingungan.
“Kau telah menjalankan transplantasi wajah. Wajahmu telah berubah.”
“Transplantasi wajah? Dengan siapa? Tidak mungkin. Wa-wajah saya ….” Nira meraba wajahnya. Ia sangat terkejut akan apa yang ia dengar. Tiba-tiba ia mencoba untuk melepaskan perban di wajahnya.
Azka terkejut melihat wanita itu menarik-narik perbannya.
“Hey, apa yang kau lakukan! Kau akan merusak wajahmu.”
“Betapa menyedihkannya memiliki wajah sepertiku. Sampai-sampai orang yang tidak aku kenal melakukan hal ini.” Nira menangis kencang.
Azka menyentuh bahu Nira. “Tolong tenang terlebih dahulu, saya akan menjelaskannya,” ucap Azka lembut. Hal itu sontak membuat tangis Nira berhenti.
Entah apa yang terjadi dengan perasaannya. Ia merasa bingung mengapa sentuhan lelaki itu menenangkannya.
“Saya mengerti perasaanmu. Pasti sulit untuk menerima keadaan yang mengejutkan ini. Saya akan jawab pertanyaanmu. Kamu telah melakukan transplantasi wajah dengan anak dari bos saya. Bos saya memiliki putri yang kritis selama dua minggu karena tumor di otaknya. Akhirnya dia meninggal dunia lima hari yang lalu. Hari itu bertepatan dengan dibawanya kamu ke rumah sakit ini. Bos saya sangat terpukul karena kehilangan Putrinya. Ia juga memiliki hal yang sulit jika semua orang tahu bahwa putrinya telah meninggal. Maka dari itu, untuk menutupi berita mengenai meninggalnya putri bos saya, saya mengusulkan untuk mencangkok wajahmu dengan wajah putri bos saya. Terlebih, saya melihat wajahmu yang banyak lebam dan seakan seperti akan membusuk,” jelas Azka.
Nira terdiam cukup lama. Ia menangis. Bukan karena ia menyesal atau marah pada Azka. Namun, ia merasa wajahnya memang benar-benar sangat menyedihkan untuk dilihat orang lain. Ia tidak tahu, apakah ia harus senang atau marah.
“Tapi untuk apa aku marah?” batinnya. “Pak Azka sudah menolongku dengan mengubah wajah burukku. Arghh… Apakah ada motif lain dari ini? Lalu bagaimana dengan indentitasku nanti?” lanjutnya.
“Hey, kau marah?” tanya Azka. Ia merasa tidak enak hati karena bagaimanapun juga, seburuk-buruknya wajah seseorang, itulah takdir yang ia miliki, yang sudah diberikan Tuhan. Ada banyak wanita yang terus mengubah bentuk wajahnya hanya karena ingin terlihat cantik berdasarkan penilaian orang lain. Tidak jarang pula ada wanita yang sangat mencintai wajahnya apa adanya. Dan Azka tidak tahu wanita di depannya ini tipe yang mana.
“Saya akan membayarmu untuk ini, tenang saja …. ”
“Terima kasih,” ucap Nira. “Saya sangat berhutang budi pada Pak Azka karena secara tidak langsung telah mengerti perasaan saya. Saya selalu tidak percaya diri dengan wajah saya yang buruk selama ini. Namun, wajah asli saya tidaklah seburuk itu, dan saya menerimanya dulu. Ehm … Apakah ada motif lain dari pencangkokan wajah ini? Bagaimana dengan identitas saya, Pak?”
Azka tersenyum simpul, wanita itu sudah terlihat tidak keberatan dengan keadaannya saat ini. “Untuk identitas, kau diminta untuk menggunakan identitas putri bos saya.”
“Hah?” Nira terkejut. Ia semakin bingung akan apa yang ia dengar dari Azka. Apakah ia akan diangkat anak oleh bosnya. Ataukah ia hanya akan menjadi boneka bosnya. Sungguh, mengapa ia merasa hidupnya menjadi sangat rumit.
“Sebenarnya apa yang sedang direncanakan orang-orang ini?” batinnya. Ia memejamkan mata, bermaksud menghilangkan rasa tidak karuannya.
“Saya sudah mengatakan, bahwa ada keadaan sulit yang sedang dihadapi oleh bos saya. Maka, ia sangat ingin meminta bantuan darimu. Kau akan paham setelah berbicara dengannya,” ucap Azka dengan tegas.
“Saya tidak mengerti apa yang terjadi di balik semua yang telah kalian lakukan. Tapi, sepertinya ada alasan yang sangat serius untuk ini.” Nira menghela napas dengan penuh kekhawatiran.
Ia khawatir, akan terjadi sesuatu yang buruk kepadanya nanti, dan ia harus siap-siap akan hal itu. Mau tidak mau, hal yang harus dilakukan olehnya saat ini adalah menerima apa yang sudah terjadi. Penerimaan terhadap sesuatu adalah bentuk kesadaran masuk akal, agar keadaan tidak semakin rumit.
“Sebentar lagi Tuan Endru akan segera tiba. Ia sedang menuju ke sini. Tenang saja, dia bukan orang yang kasar,” ujar Azka. Ia langsung duduk di sofa sembari menyilangkan kakinya.
“Tuan Endru? Nama itu serasa tidak asing bagiku,” ucapnya.
***
Bersambung