Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 12 Sebuah Perjanjian

Bab 12 Sebuah Perjanjian

Pintu ruangan terbuka. Muncullah pria berumur 45 tahun dengan paras tampan dari balik pintu. Azka langsung berdiri dan menyalami pria itu.

“Selamat datang, Tuan,” ucap Azka.

“Terima kasih. Saya bersemangat sekali saat menuju kemari, karena mendengar kabar bahwa wanita itu sudah sadarkan diri.” Tuan Endru tersenyum, lantas menatap Nira.

Tuan Endru melangkah menghampiri Nira.

“Bagaimana keadaanmu?” tanya Tuan Endru.

“Ba-baik, Tuan.”

“Saya lega mendengarnya.”

Mata Nira tidak lepas dari Tuan Endru. Ia mengingat-ngingat seseorang yang pernah ia temui sebelumnya. Beberapa menit kemudian, akhirnya ia mampu mengingatnya.

“Tidak salah lagi, dia adalah Pak Endru yang membayarkan utang ibu!” batin Nira.

“Aku tidak sabar ingin melihat wajahmu, Nak.” Tuan Endru mengelus rambut Nira.

Nira menjadi canggung karena Tuan Endru berbuat seperti itu.

“Kapan perbannya akan dibuka?” tanya Tuan Endru pada Azka.

“Akan saya tanyakan pada dokter dahulu, Tuan.” Azka melangkah pergi keluar ruangan.

Tuan Endru sangat tidak sabar. Ia ingin cepat melihat wajah putrinya lagi. Ia sangat merindukan sosok cantik nan ceria itu.

“Tuan, maaf, bolehkah saya bertanya?” Nira membuka suara.

“Tentu. Apa yang ingin kau tanyakan?” Tuan Endru menarik kursi lantas duduk di samping ranjang Nira. Ia menumpangkan dagunya sembari menatap Nira.

“Saya sepertinya pernah melihat Bapak. Apakah Bapak ingat saya, Nira? Bapak … eh maksud saya Tuan, sempat saya tolong karena hampir terserempet truk di depan toko bangunan, dan kemudian bapak memberi imbalan pada saya dengan membayarkan utang ibu saya.”

Tuan Endru berpikir sejenak, tiba-tiba matanya membelalak. “Kau kah gadis itu?”

“Astaga, bagaimana bisa? Dunia begitu sempit sekali.” Tuan Endru tertawa.

Nira tidak percaya bahwa Tuan Endru akan tertawa setelah mendengar pernyataan itu. Seperti tidak ada keterkejutan berlebih darinya.

“Bagaimana kabar ibumu?” Tuan Endru malah menanyakan ibu Nira.

“Dia baik,” jawab Nira singkat.

“Apakah dia sudah tahu kamu ada di rumah sakit? Pasti dia mengkhawatirkanmu.”

“Dia tidak sepeduli itu, Tuan. Lebih baik saya bersikap menjadi baik-baik saja dan tidak mengganggu dirinya.” Nira membalikkan wajahnya berlawanan arah dengan Tuan Endru.

“Maaf, jika saya membuatmu bersedih.”

“Saya baik-baik saja, Tuan,” gumam Nira.

“Ya. Apakah Ibu mengkhawatirkanku? Rasanya tidak mungkin. Bahkan, ia tanpa tega memukuliku setiap hari. Juga membiarkan aku seperti babunya. Tapi, mau bagaimana lagi?” ucap Nira dalam hati.

Tiba-tiba, Nira membayangkan perlakuan ibunya yang begitu kasar. Seakan terputar jelas bagaimana ibunya yang ringan tangan menjambak rambutnya, memukul wajahnya, menyiram ia ketika tidur, meninju dirinya, merampas gajinya, juga hal-hal lain yang begitu menjijikkan. Nira seakan tidak berdaya jika di hadapan ibunya. Ia tidak mampu balas menyerang ibunya itu. Saat ini, wajah ibunya muncul jelas dalam ingatan.

Tiba-tiba Nira mengaduh dan hal itu membuat Tuan Endru terkejut.

“Nak, kau merasakan sakit? Saya akan panggil dokter dengan segera!” seru Tuan Endru. Ia hendak keluar, tapi dokter ternyata sudah datang.

“Dia mengaduh seperti yang kesakitan, Dok.”

Sang Dokter mengangguk, lantas dengan segera memeriksa kondisi Nira.

“Dia baik-baik saja. Tapi sepertinya, ia sedang memikirkan suatu hal buruk yang membuatnya panik,” jelas dokter.

“Syukurlah. Kapan perbannya bisa dibuka, Dok?” tanya Tuan Endru. Sejak tadi ia menunjukkan ketidaksabarannya.

Sang dokter tersenyum. “Sekarang juga sudah bisa.”

Terpampang kebahagiaan dari raut wajah Tuan Endru. “Baik, lakukanlah, Dok.”

“Tunggu beberapa menit setelah dia mulai merasa tenang.”

“Baik. Tidak masalah, Dok.”

Seiring berjalannya waktu, tubuh Nira yang dirasa begitu kaku sudah mulai membaik, rasa kaku seakan memudar.

Dokter yang melihat Nira sudah tenang, mulai bergerak untuk membuka perbannya.

“Kau bisa duduk?” tanya dokter.

“Ya. Saya bisa, Dok.”

“Mari, saya bantu. Tenangkan dirimu, ya.”

Nira mengangguk pelan. Dokter membantu Nira yang kesusahan untuk bangun. Sang dokter dengan perlahan membuka helai demi helai perban yang membelit kepala Nira.

Saat sampai di helaian terakhir, Tuan Endru dan Azka terkejut melihat tampilan wajah itu. Semuanya terlihat lebih dari ekspektasi mereka. Wajah yang dimiliki gadis di hadapan mereka sangat indah. Bahkan terlihat lebih indah dari sebelumnya.

“Kau … Putriku.” Tuan Endru mendekati Nira.

“Engkau benar-benar Putriku. Tuhan, aku seperti menemukan dia hidup kembali.”

Nira membuka matanya, lantas menemukan Tuan Endru yang melongo dengan mata berkaca-kaca, berada di dekatnya.

Perawat memberikan cermin pada Nira.

Ia terkejut bukan main. Apa yang ia lihat sekarang sangat jauh berbeda dengan apa yang ia lihat dulu. Nira menangis haru sembari memegangi wajahnya.

“Apakah ini wajahku saat ini? Indah sekali, seakan tiada cacat sesenti pun.”

“Ya. Itulah dirimu saat ini, dengan wajah Putriku, Reisa.”

Tuan Endru semakin memangkas jarak dengan Nira. “Boleh aku memelukmu?”

Dengan cepat Nira mengangguk. Tuan Endru menangis dalam pelukan. Ia sangat senang akan apa yang dilihatnya.

“Reisa … Oh putriku—” Suara Tuan Endru tertahan. Entah mengapa ia begitu meluapkan emosinya saat ini.

Tuan Endru melepaskan pelukannya. “Saya ada sebuah permintaan untukmu.”

“Apa itu, Tuan?”

“Mungkin asisten saya sudah menjelaskan sebelumnya. Saya ingin kamu menjadi Reisa, Putri saya.”

Nira tidak begitu terkejut mendengarnya. Karena sebelumnya Azka memang sudah mengatakan bahwa dirinya diminta memakai identitas putrinya. Ya. Itu artinya ia menginginkan Nira menjadi putrinya.

Nira sulit untuk menolaknya. Ia pun akhirnya mengangguk. “Ya, Tuan. Saya mau.”

Semua orang yang berada di ruangan itu tersenyum. Mereka jadi terbawa suasana haru. Seperti menonton drama seorang ayah yang menemukan anaknya yang hilang. Sorot mata Tuan Endru memperlihatkan sebuah pengharapan besar.

Azka yang sudah mengerti kondisi dalam ruangan, lantas meminta dokter dan perawat untuk keluar.

“Bisakah dokter meninggalkan kami bertiga di sini beberapa waktu? Ada hal penting yang ingin kami bicarakan.” Azka dengan cepat memanfaatkan waktu.

Dokter mengangguk. “Tentu saja.”

“Oh iya, esok hari Nona sudah bisa dibawa pulang. Namun, Nona butuh banyak waktu untuk penyesuaian wajah. Saya sarankan, wajahnya jangan sampai terbentur atau terluka,” jelas Sang dokter yang dibalas anggukan oleh Nira.

Dokter melangkah keluar diikuti oleh seorang perawat.

Setelah hanya ada mereka bertiga, Azka menyerahkan sebuah kertas dan pena kepada Nira dan Tuan Endru. “Ini, ada yang harus disepakati sebelum kita melangkah lebih jauh.”

“Perjanjian?” tanya Nira saat membaca tulisan paling atas.

“Ya. Kita harus melakukan perjanjian terlebih dahulu. Silakan baca.”

“Baiklah.” Mata Nira langsung tertuju pada tulisan yang ada di kertas.

“Memimpin sebuah perusahaan? Ini … Bagaimana saya bisa?” Wajahnya menyiratkan keraguan saat membaca salah satu poin perjanjian.

“Kau bisa. Kau akan menerima pelatihan sebelum kau kembali memimpin.”

“Iya.” Nira akhirnya menandatangani surat perjanjian itu.

“Oke, mulai dari saat ini, namamu adalah Reisa Alika Abraham. Putri dari Endru Abraham. Mengerti?” ucap Azka.

Ia mengangguk lantas tersenyum tanggung. “Iya.”

Nira menjadi kikuk. Sesuai perjanjian, mulai dari sekarang, ia akan dipanggil Reisa.

“Reisa. Nama yang cantik, secantik wajahnya,” gumamnya.

“Reisa, kau bisa memanggil saya Ayah.” Tangan Tuan Endru memegang dadanya.

“Iya, Ayah….” Reisa mengucapkannya dengan ragu.

Sungguh, hal ini tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. Setelah sekian lama ia tidak merasakan bagaiamana memiliki seorang ayah, akhirnya ia pertama kali dengan sadar memanggil ayah pada orang lain. Orang lain baginya, tapi tidak dengan wajahnya. Wajah yang ia miliki sekarang bukanlah orang lain bagi Tuan Endru. Ia adalah Putri kesayangannya.

Perjanjian agar ia bisa sepenuhnya menjadi Reisa mungkin akan menjadi tantangan terberat baginya. Namun, ia akan berusaha melakukan yang terbaik.

Perjanjian bukanlah sesuatu yang bisa dipermainkan. Tentu saja akan ada resiko untuk apa pun yang ia lakukan. Pikirannya mulai berkeliaran. Ia berpikir, hidupnya pasti akan berubah jika ia menjalaninya dengan mulus. Inilah saatnya ia mengubah hidup yang kelam menjadi berwarna. Dari gadis buruk rupa menjadi gadis yang penuh pesona.

Ia merasakan wajahnya begitu hangat. Sepertinya pemilik wajah itu sangat baik.

“Istirahatlah. Besok Non Reisa akan kembali ke rumah,” ucap Azka. Ia mengambil surat perjanjian yang berada di tangan Reisa. Kemudian menyimpannya dalam map.

Tuan Endru membantu Reisa untuk kembali berbaring. Ia lantas mengecup kening Reisa.

“Rasakan… anggaplah, bahwa saya benar-benar ayahmu,” ucap Tuan Endru dengan lirih sembari tangannya bergerak menyelimuti Reisa. Tidak hanya tubuhnya yang merasakan kehangatan. Namun ada yang lebih merasakan hangat, yakni hatinya. Perlahan, air mata jatuh di sudut matanya.

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel