Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 13 Kehidupan Baru

Bab 13 Kehidupan Baru

Deru roda mobil mewah yang menggilas aspal seakan tidak terdengar dari dalam mobil. Mobil melaju dengan kesamaran yang menggugupkan. Membuat Reisa mematung dan membisu, pada saat ia keluar dari rumah sakit dan menemukan mobil ini berhenti di hadapannya. Sesuai apa kata dokter yang merawat Reisa. Reisa sudah bisa dibawa pulang ke rumah. Reisa memang baru pertama kali menaiki mobil mewah yang luas nan nyaman. Namun, kenyamanan itu berangsur hilang saat ia hampir dekat dengan rumah Tuan Endru. Tentu saja hal itu membuat Reisa gusar. Ia takut tidak bisa beradaptasi.

“Kau baik-baik saja, Sayang?” tanya Tuan Endru yang duduk di sampingnya.

“Saya baik, Ayah.”

“Oke. Tenangkan dirimu, ya.”

“Ya.” Reisa mengangguk.

“Oh, ya, jangan berbicara terlalu formal. Ketika berbicara dengan keluarga, Reisa lebih sering mengakukan dengan namanya atau ‘aku’, bukan ‘saya’.

“Baik, Tuan … eh, Ayah.”

“Kau akan terbiasa nantinya.” Tuan Endru mengelus kepala Reisa yang menunduk.

Perjalanan telah usai. Mobil mewah itu terparkir di halaman rumah. Tiga orang telah siap siaga menghampiri mobil itu. Mereka membukakan pintu mobil untuk Reisa dan Tuan Endru. Mereka juga telah menyiapkan kursi roda untuk Reisa. Reisa menaiki kursi roda dengan dibantu oleh salah seorang body guard. Mereka semua bertubuh kekar dan bermuka sangar.

“Selamat datang kembali di rumah, Non Reisa. Selamat datang, Tuan. ” Azka menyambut hangat kedatangan mereka berdua.

“Terima kasih, Azka,” ucap Tuan Endru dan Reisa berbarengan.

“Ayah dan putrinya kompak sekali.” Azka tertawa. “Mari masuk,” lanjutnya.

Tuan Endru tersenyum melihat kejadian itu. Sedangkan Reisa merasa sangat malu.

Saat mulai memasuki rumah, Reisa gelagapan karena melihat isi rumah sangat menawan daripada melebihi ekspektasi saat melihat dari luar. Kondisi dari luar saja sudah membuatnya tidak bisa berhenti mengedip, apalagi sekarang saat sedang berada di dalam rumah. Matanya beredar menatapi sudut rumah yang tidak semuanya bisa terjangkau oleh matanya.

Rumah bak istana itu memikili lima lantai. Ruang tamu yang begitu luas, membuat Reisa tidak bisa berkata-kata. Isi rumah yang bernuansa keemasan itu menunjukkan bahwa, Tuan Endru memang sangatlah kaya raya.

Reisa dengan cepat mengatupkan mulutnya saat salah seorang body guard melihatnya. Ia langsung bersikap biasa. Sepertinya, ia terlalu kentara dalam menunjukkan keterkejutan.

“Azka, tolong antar Reisa ke kamarnya,” perintah Tuan Endru.

Azka langsung mengambil alih kursi roda dari body guard. Ia langsung menyuruh mereka berjaga kembali.

Reisa diantar ke kamarnya di lantai 4 menggunakan lift.

“Kau pasti terkejut melihat kemewahan ini.” Azka mulai membuka pembicaraan dengan Reisa.

“Ya. Saya belum pernah melihat langsung kemewahan dengan mata kepala saya sendiri. Apalagi sampai bisa menggunakan kemewahannya.”

Azka menoleh ke arah Reisa. “Kau akan terbiasa dengan kemewahan.”

“Semoga.”

“Harus.”

“Saya akan berusaha.”

“Kau perlu banyak belajar.”

“Saya bisa belajar dengan cepat.”

Azka tersenyum mendengarnya. “Untuk pembelajaran awal, kau harus berkenalan dengan Reisa.”

“Berkenalan?” gumamnya.

“Agar bisa menjadi Nona Reisa yang seutuhnya.”

“Dia kan, sudah .…” Reisa berpikir sejenak, dan akhirnya ia mengerti. “Baiklah,” lanjutnya.

Selama di dalam lift, Azka juga menceritakan tentang keluarga Tuan Endru. Tuan Endru memiliki dua istri. Dari istri pertama, Tuan Endru mendapatkan satu orang anak, yaitu Reisa. Sedangkan dari istri kedua, ia memiliki dua orang anak. Raya dan Tio.

“Lantas, Mamanya Reisa sekarang di mana?” tanya Reisa.

“Ia tidak tinggal di rumah ini.”

“Mengapa?”

“Karena Mamanya Reisa menghindari tudingan sebagai istri serakah. Ia tinggal di suatu tempat yang memang membuatnya tenang. Reisa juga sering berkunjung ke sana,” jelas Azka.

Reisa manggut-manggut mendengarnya.

Saat mereka sudah sampai di lantai empat, Azka langsung membawa Reisa masuk ke dalam kamar.

“Istirahatlah. Lima menit lagi ada pembantu yang akan melayani semua kebutuhanmu.”

“Tidak perlu. Saya bisa sendiri.”

“He! Jadilah Nona Reisa. Ingat?”

“Ah, iya. Maaf.”

“Bersikaplah tenang dengan para pekerja di sini. Reisa adalah orang yang ceria dan baik hati.”

“Iya, terima kasih.”

Azka menganggukkan kepalanya sebagai tanda hormat. Ia lantas melangkah pergi.

Tidak lama dari itu, tiga orang pembantu datang ke kamarnya. Satu orang menyiapkan makanan di atas meja makan kecil. Satu orang lagi ada yang langsung memijat kakinya, dan satu orang lagi hendak menyuapinya.

“Terima kasih. Saya bisa makan sendiri, Bi.”

“Non Reisa, kan, baru pulang dari rumah sakit. Jangan sampai sakit kembali. Izinkan kami melayanimu, Non. Ya?” Salah satu pembantu merengek ingin menyuapinya.

“Baiklah,” ucap Reisa.

Reisa tersenyum melihat keramahan para pembantu. Ia sangat tidak biasa dengan perlakuan ini semua. Memang benar-benar berbanding terbalik dengan kehidupannya dulu. Namun, meskipun tidak nyaman, ia tetap harus memaksakannya.

***

“Keadaannya tidak seburuk itu. Tidak ada penyakit yang serius. Ia hanya perlu banyak istirahat karena kelelahan bekerja.” Tuan Endru menatap satu-persatu keluarganya yang sedang berkumpul di ruang keluarga. Mereka terdiri dari istri kedua, dua anaknya, mertua, dan dua keponakannya.

“Tapi mengapa kami tidak boleh bertemu dengannya, Ayah? Kami juga, kan, khawatir padanya. Ya, kan, Ma?” ucap Raya. Anak kedua dari istri keduanya.

Mamanya mengangguk. “Iya, Mas. Kami hanya ingin melihat keadaannya saja.”

Tuan Endru tertawa tanggung. “Sejak kapan kalian peduli dengan Reisa?”

Mereka saling pandang. “Ya. Dari dulu kami sangat peduli dengan Reisa,” ucap istri keduanya sembari tertawa.

Tuan Endru menatap tajam istrinya. Kemudian ia berdiri sembari merogoh saku celana. “Jika hanya itu yang ingin kalian bicarakan, silakan enyah dari hadapanku.”

Semua orang pergi meninggalkan Tuan Endru. Mereka terlalu takut untuk melawannya. Tuan Endru kembali bersantai di sofa sembari meminum kopi pahitnya. Rasa pahit itu perlahan menyusuri tenggorokannya, dan kemudian tersimpan ke dalam sebuah tampungan yang bisa menerima segala rasa. Rasanya, ia ingin seperti itu. Ketika kepahitan atau rasa apa pun yang menghadang kehidupannya, ia harap bisa menerima prosesnya dengan bijak.

***

Reisa tertidur pulas saat para pembantu selesai memijat kakinya. Makanan yang begitu lezat, pijatan demi pijatan yang menenangkan, kasur empuk, selimut hangat, dan kemewahan lainnya yang hanya baru secuil ia dapatkan, membuat Reisa bermimpi menjadi seorang putri.

Satu jam sudah Reisa tertidur. Saat membuka mata, ia menemukan Tuan Endru sudah berada di sampingnya.

“Ayah,” ucapnya sembari ingin bangun dari tempat tidur. Namun, Tuan Endru menahannya.

“Sudah, kau berbaring saja.”

Reisa menurutinya. “Iya.”

“Menurutmu, bagaimana rumah ini?” tanya Tuan Endru. Matanya melihat ke sembarang arah.

“Luar biasa, sangat mewah. Aku baru pertama kali memasuki rumah mewah seperti ini,” lirihnya.

“Awalnya, Ayah berencana memberikan rumah ini sepenuhnya pada Reisa ….” Kalimatnya terhenti. “Tapi, dia menolak dan berkata bahwa ia harus mendapatkan sesuatu sesuai dengan usahanya sendiri,” lanjutnya. Semburat senyum terpampang di wajah Tuan Endru.

“Ia begitu mandiri dan bijak.”

“Maka dari itu, Ayah sangat menyayanginya dan selalu peduli padanya. Hingga hal itu membuat hampir semua keluarga membenci dirinya. Beberapa dari mereka terlalu kentara menyimpan kebencian dan keserakahan. Ayah percaya padamu, Nak. Kau bisa menjadi Reisa seutuhnya. Dan membantu Ayah untuk mengurus semuanya,” ucap Tuan Endru.

“Tapi, kau perlu belajar dan berlatih terlebih dahulu sebelum memulai pekerjaan-pekerjaan Reisa. Semoga waktu dua bulan cukup membuatmu bisa menguasai semuanya dengan cepat. Kau akan kukirim ke suatu tempat tanpa ada yang bisa mengganggu proses pelatihanmu. Akan ada Azka yang mengawasimu.” Tuan Endru menggenggam jemari Reisa. Lantas pergi keluar dari kamar.

“Bagaimana aku bisa? Reisa sepertinya adalah sosok yang luar biasa dan berharga bagi Tuan Endru. Pasti sangat sulit menjadi seperti dia,” ujarnya.

Kekhawatiran Reisa semakin menguat. Apakah jika ia tidak menjadi Reisa seutuhnya akan membuat semua orang mencurigainya? Dan tentunya itu akan membuat Tuan Endru berada dalam masalah. Reisa menarik napas panjang, lantas menghembuskannya.

“Aku pasti bisa. Kau sudah membuat perjanjian! Jangan sampai mengecewakan! Ayo, kita mulai kehidupan baru ini!” seru Reisa. Tangannya mengepal. Senyumnya mengembang.

***

Bersambung

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel