Bab 14 Menjadi Reisa
Bab 14 Menjadi Reisa
MENJADI REISA
Reisa keluar dari kamar mandi dengan harum wewangian yang semerbak. Dirinya begitu terlihat segar. Pembantunya telah menyiapkan baju untuk dipakai hari ini. Perlu waktu lama Reisa berdandan. Pasalnya, semua barang yang ia lihat di rumah itu membuatnya terkagum-kagum sampai ia berdiam diri untuk melihatnya lama. Ia juga berjam-jam mematut diri di depan cermin, Ia merasa tidak percaya bahwa itu adalah dirinya.
“Wajah ini begitu luar biasa.” Reisa meraba wajahnya, lantas membalik-balikkan pipinya berkali-kali. Tubuhnya berputar-putar di depan cermin demi ingin melihat penampilannya dari segala arah. Reisa senang sekali. Sungguh.
“Aku sangat cantik,” lirihnya. Secepat mungkin ia tersadar, bahwa wajah itu bukanlah dirinya. Tiba-tiba, senyumnya terenggut seiring terdengar nada dering di ponselnya. Ia baru ingat, ia harus berangkat sebelum pukul 11.00 WIB.
“Astaga! Ini sudah pukul sebelas lebih lima belas!” Reisa langsung menyudahi dandanannya. Meraih tas dan berjalan cepat keluar kamar.
Di ruang kerja Tuan Endru, Azka sudah menunggu Reisa. Matanya berulang kali memandangi jam tangannya. Ia sudah mendesah beberapa kali. Tuan Endru yang menyaksikan Azka sejak tadi tersenyum tipis.
“Mengapa tidak kau susul saja ke kamarnya? Wanita memang sangat lama dalam mematut dirinya. Meyakinkan agar ia benar-benar percaya diri dengan penampilan.”
Azka tersentak. “Non Reisa tidak seperti itu, dia selalu tepat waktu, Tuan,” ucap Azka.
Tuan Endru tertawa. “Ya, kau benar. Ajari dia—”
“Maaf, aku terlambat.” Reisa muncul dengan napas yang memburu sembari mengetuk pintu yang sudah terbuka. Ia berdiri di depan pintu.
Tuan Endru melempar senyuman pada Reisa. “Tidurmu pasti nyenyak, ya, Nak?”
Reisa membalas senyumnya. “Iya, seperti yang kau pikirkan, ayah.”
Azka memandang Reisa dengan tatapan kesal. Namun, saat Reisa balik memandangnya, Azka langsung menundukkan kepalanya. Kemudian ia bangkit dari duduknya dan menghampiri Reisa.
“Bisakah kita pergi sekarang, Non?”
Reisa mengangguk. Ia segera masuk ke ruang Ayahnya, bermaksud ingin berpamitan.
“Reisa pamit, Yah.”
“Ayah akan baik-baik saja di sini. Semoga liburanmu menyenangkan. Meskipun liburanmu di sana harus diisi dengan berbagai materi pembelajaran. Nikmati, ya,” seru Tuan Endru.
Kata ‘liburan’ sudah jarang terdengar di telinga Reisa. Lama sekali rasanya ia tidak berlibur. Dulu, ia hanya fokus kuliah dan bekerja. Terus saja begitu tanpa ada perubahan. Namun, berbeda untuk sekarang. Semuanya seakan berubah 180 derajat dari kehidupan sebelumnya.
Setelah berpamitan pada Tuan Endru, Reisa dan Azka melangkah pergi dari rumah itu. Mereka hendak pergi ke suatu tempat, di mana Reisa bisa benar-benar fokus belajar untuk berlatih. Ia akan menerima pelatihan oleh para ahli di bidangnya, agar Reisa bisa mengambil alih perusahaan dengan cepat. Tidak lupa ia juga berlatih untuk menjadi Reisa. Banyak informasi yang dimiliki Azka perihal kebiasaan Reisa.
***
Raya yang melihat Reisa pergi dari rumah, langsung menghampiri Tuan Endru.
“Ayah, Reisa mau pergi ke mana? Bisa-bisanya dia pergi tanpa bertemu lebih dahulu dengan keluarga lainnya,” ketusnya.
“Apa maumu Raya? Biasanya kau yang tidak pernah mengacuhkan dia.” Tuan Endru tetap fokus pada layar laptopnya. Namun, sudut matanya melihat wajah Raya yang begitu kesal.
“Aku peduli padanya, Ayah. Mengapa Ayah berpikir seperti itu?”
“Kau terlalu jelas menunjukkannya.” Tuan Endru menatap wajah Raya. “Lebih baik kau fokus pada bisnismu. Jangan hanya melimpahkan semua pada asistenmu!” seru Tuan Endru.
Raya tersentak. “Aku mengurusnya dengan baik.”
“Lihat saja, bisnisku akan mengalahkan bisnis Reisa,” batinnya.
“Baik. Mari kita lihat.”
Raya keluar dari ruangan. Lantas dengan cepat pergi mengendarai mobil mewahnya.
“Kau kira aku tidak tahu. Kau yang selalu punya banyak rencana untuk menggagalkan bisnis Reisa. Dan akhirnya, kau hanya membuang-buang tenaga dan uang hanya untuk menjalankan rencana bodohmu itu. Kau sama seperti mamamu Raya,” ujarnya.
Tuan Endru menerima telepon dari seseorang. Wajahnya berubah sumringah melihat nama yang tertera. Kemudian ia tertawa dalam hitungan sekian detik. Lantas bergegas keluar dari ruangannya.
***
Tidak ada yang mengetahui bahwa Reisa yang asli telah meninggal dunia. Tuan Endru bersyukur, tidak ada yang mencurigainya. Termasuk keluarganya sendiri. Ia ingin terbebas. Dari kebohongan yang sudah dirancang. Namun, Tuan Endru tidak akan memberitahu hal itu selamanya. Banyak para kerabat dan sahabat Tuan Endru menanyakan perihal keberadaan Reisa.
Menyimpan rahasia memanglah sulit. Ada pepatah. “Semakin kita menyembunyikan bangkai di sekitar kita, lama-lama bangkai itu akan tercium. Betapa segarnya suasana hair ini.”
***
Reisa dan Azka sudah sampai di tempat ia akan belajar menguasai berbagai ilmu. Lebih tepatnya ilmu yang Reisa yang asli kuasai. Villa Cempaka begitu sejuk dirasa. Padahal hari itu sudah siang.
“Ah, aku senang berada di sini.”
“Tentu saja. Tempat ini sejuk, sepi, jauh dari keramaian dan polusi.”
“Kau benar, Azka.” Reisa menghirup udara segar dengan mata terpejam. Hidungnya seakan tidak ingin melewatkan kesempatan untuk menerima udara ini.
Azka menatap Reisa yang sedang menutup mata. Ia tidak berkedip dalam semenit. Wajah Reisa memang menjadi sangat cantik sekarang.
“Non, mari kita mulai pembelajaran pertama. Gurunya sudah menunggu di dalam.”
“Baik.”
Mereka berjalan ke dalam Villa. Hari ini Reisa akan belajar mengenai dasar-dasar berbisnis. Untunglah, semuanya berjalan dengan lancar. Reisa mampu memahami pembelajaran tersebut dengan cepat.
“Saya salut padamu. Kau terlihat bersemangat dan seperti tertarik mempelajari bisnis. Dua jempol untukmu!” ucap Sang guru pada Reisa saat pembelajaran sudah selesai.
Reisa memang tertarik akan segala hal. Apapun jenis ilmunya, pasti akan ia lahap asalkan bermanfaat. Tidak hanya mengenai pembelajaran bisnis, ia pun belajar desain, IT, bahasa asing, dan juga beladiri, yang diajarkan oleh guru-guru yang berbeda.
Selain itu, seiring dengan waktu, Azka juga menjelaskan mengenai kebiasaan-kebiasaan Reisa.
“Non Reisa itu sosok gadis yang baik hati, ceria, mandiri, dan pintar. Yang lebih mengagumkan dari dirinya, ia tidak hanya mampu menangani bisnisnya agar terus berkembang pesat, tapi, ia juga bisa mengatasi dengan cepat masalah-masalah yang terus hadir dalam lingkup bisnisnya.”
“Begitu sempurnanya ia.”
“Ya. Ia pun dikenal dengan gadis yang tangguh. Sekeras apa pun masalah menimpanya, salah satunya karena ulah adik tirinya, ia tetap berdiri kokoh. Malah saat Tuan Endru ingin membantunya, ia selalu menolak. Dari situ, saya menjadi tahu bahwa Non Reisa tidaklah sama seperti ornag-orang kaya di sekolahnya,” jelas Azka.
Reisa manggut-manggut mendengar penjelasan Azka. Ia mulai memahami. Menurutnya, sifat-sifat Non Reisa yang sebenarnya memang mirip dengan dirinya. Mereka memiliki kesamaan dalam hidup mereka yang tegar dan juga kemandirian.
“Sepertinya tidak sulit untuk menjadi dirinya.”
“Ya. Semoga. Tapi gerak-gerik tubuhmu sangat berbeda. Maka dari itu kau perlu juga belajar berjalan, berlari, and anything about her.”
Reisa mengangguk. Terdapat keseriusan dari raut wajahnya. Setiap hari, Reisa selalu diajarkan kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan Reisa dulu. Azka juga menceritakan informasi yang lebih mengenai keadaan keluarga Reisa dan kebiasaan para keluarganya.
Hingga akhirnya, berminggung-minggu lamanya Reisa mulai berubah sedikit demi sedikit menjadi seperti Reisa yang sebenarnya. Azka sampai mengira bahwa wanita itu benar-benar Reisa yang asli.
***
“Apakah Non Reisa memiliki kekasih?” tanya Reisa pada Azka saat mereka duduk di balkon. Matahari mulai menenggelamkan diri di ufuk barat.
Azka tersedak. Kopi yang ia minum ia muntahkan kembali.
Reisa langsung mendekati Azka. “Makanya hati-hati,” ucapnya sembari mengelap bibir Azka yang belepotan.
Tiba-tiba Azka mematung saat bibirnya disentuh Reisa. Jantungnya berdegup gencang seakan-akan menabuh matahari yang sudah benar-benar tenggelam.
“Kopinya panas, seharusnya kau meminumnya dengan perlahan.” Reisa menatap Azka yang sedang menatapnya. Mereka saling pandang cukup lama.
Hingga pada saat Azka tersadar, ia langsung menepis tangan Reisa yang menyenntuh bibirnya.
“Saya harus ke dalam, cuaca semakin dingin,” ujarnya. “Kau juga.” Ia menoleh pada Reisa.
Reisa langsung mengikuti Azka masuk. Ya, hari menjadi semakin dingin. Tangan Reisa pun mendadak dingin dan gemetar.
“Apa yang sudah aku lakukan? Tumben sekali aku peduli sampai-sampai menyentuh bibirnya? Oooh, jangan seperti itu. Nanti malah dirimu yang akan menyesal,” rutuknya dalam hati.
***
Bersambung