Bab 8 Sebuah Harapan
Bab 8 Sebuah Harapan
Gemeletuk api yang membakar kayu serta dedaunan kering juga basah, terdengar jelas seiring keheningan melingkupi sebuah markas yang berada di tengah hutan. Api itu dikelilingi oleh orang-orang berseragam hitam dari ujung rambut sampai ke ujung kaki. Juga pohon-pohon yang menjulang tinggi. Mereka sedang menunggu makan malam tiba, yang dimasak oleh tim yang bertugas. Memang sudah menjadi kebiasaan mereka, makan malam sangat terlambat. Bahkan, sehari tidak makan pun sepertinya tidak masalah. Orang-orang itu cukup sibuk untuk bekerja setiap waktu hingga kelaparan pun terlupakan.
Hutan itu berada di pinggir kota, tapi banyak yang mengkategorikan hutan itu terlarang karena memiliki penjagaan khusus oleh salah seorang bangsawan di kota tersebut. Meski tidak dikatakan atau dijelaskan, masyarakat mengetahui bahwa hal itu sama saja hutan itu berubah menjadi kepemilikannya. Terlepas dari alasan apa yang menyebabkan mereka menjaga hutan tersebut dengan penjagaan yang begitu khusus.
Suasana masih hening cukup lama. Tubuh mereka seakan kedinginan. Tidak ada suara, tapi tetap terlihat dari gemetar yang mereka lakukan pada tubuh mereka. Hening adalah hal yang paling diperlukan, saat ada hal ramai yang harus didiamkan dan dicerna. Hening juga tidak selalu perihal ketidakadaannya suara yang ditangkap oleh telinga. Namun, ia adalah keadaan di mana kita bisa menangkap sesuatu yang dapat mengisi kekosongan dengan hal yang melembutkan. Hening adalah suara yang melembutkan.
Malam itu, saat mereka; anggota tim khusus siap untuk menyantap makanan yang terhidang, mereka mendengar sesuatu yang dirasa datang dengan penuh ketegangan. Akhirnya, mereka berlari menuju tempat di mana suara itu berada. Tidak lupa, mereka berlari atas dasar izin ketua tim mereka.
***
Nira, wanita tangguh yang dibuang oleh pacar dan sahabat dekatnya setelah penganiayaan, pasti merasa sangat hancur dan kesepian. Siapa yang menginginkan kehancuran dengan sengaja dalam hidupnya? Adalah manusia bodoh yang menginginkan kematian sebagai bentuk perjuangan terakhir yang penuh dengan suka cita. Mereka yang telah menggenggam amal banyak, belum tentu ia menuju kepada sebuah kehidupan indah jika yang ia tempuh adalah duri, timah, pecahan kaca, atau semacamnya yang malah dilemparkan kepada jalan orang lain. Apakah ia mampu bertahan? Ya, tapi mustahil sempurna ketika sampai ke tepian.
Saat Herdi dan Poppy bersenang-senang atas penderitaan Nira, Nira berjuang sekuat tenaga untuk bisa mengambil celah agar hidungnya bisa bernapas di sebuah karung yang terikat. Ia hanya merasakan seluruh tubuhnya kaku dan lumpuh seketika. Tidak jarang pula ia pingsan dan sadar dalam waktu berdekatan. Dalam kesadarannya, Nira selalu merasa bahwa ia sudah berada di tempat keabadian, di mana tidak ada lagi kekerasan untuknya.
Ketika tim khusus dengan cepat membuka karung yang mengunci udara itu, hidungnya mulai merasakan sebuah harapan. Meski matanya sama sekali tidak bisa ia buka, tubuhnya juga sudah sulit untuk merasa. Namun, ia bisa melihat, banyak orang baik yang tengah mengerubunginya, dan ia menghela napas lega.
“Ternyata seorang perempuan, Pak Ketua!” ucap salah satu anggota setelah ia mengeluarkan wanita itu dari dalam karung. Semua mata terkejut melihatnya. Menurut mereka, Nira adalah gadis kecil yang malang. Tega sekali orang yang telah membuangnya ke hutan ini.
“Apakah dia masih hidup?” tanya Sang Ketua.
Anggota yang membuka karung tersebut langsung mengecek napas dan denyut nadinya. “Masih hidup, Pak Ketua,” ucapnya. “Napasnya masih ada,” lanjutnya.
“Mari kita bawa dia ke markas,” perintah Sang Ketua, anggotanya lebih sering memanggil ia dengan sebutan Pak Ketua.
Tim khusus tersebut membawa tubuh Nira dengan cepat menuju markas. Markas yang dibangun dengan sederhana, tapi memiliki kesan yang teramat panjang hingga bisa diingat sepanjang masa. Pantulan warna hitam dan merah akan memenuhi mata jika kita melihatnya. Ya, pasalnya, warna bangunan markas itu lebih dominan hitam dan merah. Markas yang lebih mirip dengan rumah hantu, tapi dengan versi yang lebih bersih dan terawat, tempat itu ditempati oleh belasan anggota tim khusus penjaga hutan terlarang.
Namun, tetap saja, markas bernuansa hitam dan merah itu terlihat sangat menyeramkan dengan hiasan tulang belulang hewan dan tidak bisa dipungkiri, itu milik manusia juga. Terlebih, hanya api yang menerangi markas tersebut dalam gelapnya malam. Juga ada bulan dan bintang menemani keindahan malam saat mereka berjaga. Suara hewan pun silih bergantian mengisi kesepian tempat itu. Atau bahkan, terkadang mereka seperti paduan suara yang tak mau kalah satu sama lain. Lebih parahnya lagi, jika ada yang datang melihat markas tersebut, mereka akan berbicara berlebihan pada warna hitam dan merah Itu. Bahkan, warna tersebut bisa didapat dari darah para hewan dan manusia.
Markas tersebut tidak jauh dari tempat mereka menemukan wanita itu. Hanya perlu menempuh 100 meter dari sana. Setelah Nira ditidurkan di dalam markas, lantas dibersihkan luka-luka yang berada di kepalanya, datanglah Sang Ketua.
“Bagaimana keadaannya?” tanya Sang Ketua.
“Tidak lebih buruk daripada saat kita menemukannya,” ucap Yanto, salah satu anggota yang membersihkan luka wanita itu. “Luka-lukanya sudah saya tutupi dengan ramuan obat. Tapi, ia harus tetap mendapat perawatan yang khusus. Karena ada yang bermasalah dengan kepalanya. Lukanya begitu lebar, Pak. Saya tidak yakin ia akan bertahan jika terus berdiam di sini,” lanjutnya dengan wajah cemas. Ia menatap wanita itu dengan lama, sembari terus mengecek apakah darahnya terus mengalir atau tidak.
Raut wajah Sang Ketua tiba-tiba berubah muram. Ia pandangi wanita itu dengan tatapan iba. Wajah lebam, tubuhnya yang hanya kentara tonjolan tulang yang terbungkus kulit tanpa daging, serta luka di kepalanya yang terus mengeluarkan darah. Sang ketua seperti sedang melihat adik perempuannya sendiri. Tiba-tiba, terlihat air mata yang menggenang di pelupuk matanya. Ia tidak tega melihat seorang perempuan harus merasakan penderitaan.
“Saya akan bawa dia ke rumah sakit,” ucap Sang Ketua mantap.
“Baik, Pak.” Yanto dengan segera memanggil anggota yang lain untuk menggotong wanita itu ke dalam mobil Sang Ketua.
“Hei kawan, mari bantu saya untuk membawa wanita itu ke dalam mobil Ketua,” teriak Yanto pada anggota yang lain. Mereka sudah menandaskan makanan di piring makan malamnya.
Tanpa harus diteriaki dua kali, dua orang dengan cepat menghampiri Yanto dan langsung membawa wanita itu. Mereka dengan hati-hati membawanya.
“Jangan lupa, Pak Ketua, ramuan obat itu mudah lepas. Itu hanya sementara untuk menghambat darahnya keluar. Kau harus berhati-hati membawa mobilmu, jangan sampai ia terluka kembali dengan guncangan selama di perjalananan,” pesan Yanto. Ia tersenyum hangat pada Sang Ketua. Yanto terlihat begitu mengkhawatirkan sekali wanita itu.
“Pikirkan bahwa aku bukan anak kecil. Kau bisa memercayaiku,” ucap Sang Ketua tersenyum.
Yanto menjadi sedikit tersedak. Apa ada yang salah dengan ucapanku? batinnya.
“Panggil petugas UGD setelah kau sampai di rumah sakit ….”
Sebelum kalimat itu genap terselesaikan, mobil segera melaju setelah wanita itu ditidurkan di jok belakang mobilnya dengan aman oleh para anggota. Yanto merasa putus asa dan terus berpikir apakah ia berbuat sesuatu yang berlebihan kepada wanita itu? Sehingga Sang Ketua melihatnya seperti yang sudah melakukan banyak kesalahan. Sang Ketua berubah menjadi sangat dingin dan tegas padanya. Padahal, sikap tegas dan dinginnya memang lah sikap dia sejak ibu dan adiknya meninggal
“Arh, mengapa aku terus memikirkan Pak Ketua yang begitu, ya? Sepertinya ia begitu peduli pada wanita yang sekarat tadi. Seharusnya aku bisa tertidur dengan segera,” ucap Yanto pada temannya.
“Benarkah? Bagaiaman kau merasakan itu semua?” ucap temannya sembari tertawa.
“Apa? Sudahlah, lupakan saja. Aku memang barusan sudah berbicara apa?”
“Kau bercerita mengenai kekhawatiran,” timpal temannya.
“Mungkin aku melindur. Aku perlu istirahat sebentar.” Yanto segera pergi menuju ruang istirahat.
***
Dalam perjalanan menuju rumah sakit, Nira masih belum sadarkan diri. Seluruh tubuhnya pucat hampir seperti mayat. Dari raut wajahnya, Sang Ketua begitu khawatir, jikalau Nira tidak sadarkan diri, Sang Ketua pasti akan sangat menyesal karena terlambat membawanya ke rumah sakit.
***
Bersambung