Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 7 Membuang Ke Hutan

Bab 7 Membuang Ke Hutan

Kepanikan seketika melingkupi perasaan Poppy dan Herdi. Pasalnya, tidak ada reaksi apa pun dari tubuh Nira yang tergeletak di lantai kamar mandi. Herdi masuk ke kamar mandi dan mencoba untuk menggerak-gerakkan kaki Nira. Ia ingin memastikan Nira masih sadarkan diri atau tidak. Namun, tetap saja ia diam. Herdi langsung mengecek denyut nadi wanita itu. Denyutnya masih terasa. Herdi menghela napas lega. Sedang Poppy yang berdiri di luar kamar mandi harap-harap cemas. Ia sangat terkejut, mengapa hal ini bisa terjadi begitu cepat.

“Bagaimana ini, Her? Ya ampun darah itu!” pekik Poppy setelah melihat darah yang menggenang di lantai.

“Dia masih hidup.” Herdi melirik ke arah Poppy.

“Mau kita bawa ke rumah sakit saja?” tanya Poppy.

“Tidak,” ucapnya.

Dahi Poppy mengerut. Herdi lantas berdiri dan menghampiri Poppy. Kamar mandi yang berukuran 1 x 2 meter itu seketika berbau anyir.

“Aku jadi berpikiran, Nira kita buang saja ke hutan,” ucap Herdi dengan santai. Ia lantas menarik kursi yang ada di dekatnya, kemudian duduk bertumpangkan kaki.

“Apa?” ucap Poppy dengan terkejut.

“Ya, ini sebuah ancaman bagiku jika dia masih hidup. Jika orang lain tahu, aku mencelakakan Nira, image-ku sebagai lelaki terpopuler di kampus akan hancur,” ucap Herdi dengan menatap ke sembarang arah. Ia sangat memedulikan kepopuleran dan nama baiknya di kampus.

“Hmm, kamu memang sudah berbuat berlebihan, Herdi. Kamu memukul, menarik dan mendorong Nira dengan sekuat tenaga. Sebelumnya aku tidak pernah membayangkan kamu begitu ringan tangan ketika tersulut emosi. Seharusnya kamu bisa lakukan cara lain untuk menghentikannya.”

“Sudah kubilang, aku melakukan itu hanya karena aku tidak mau kamu celaka. Itu spontanitasku saja, Sayang.” Herdi memalingkan wajahnya pada Poppy.

“Iya, aku tahu. Kamu melakukan ini demi aku. Tapi, coba kamu lihat akibatnya, kalau sudah begini bagaimana?” ucap Poppy, terlihat semburat ketakutan di wajahnya. “Aku takut jika harus berurusan dengan polisi, Her. Aku kasihan melihat Nira seperti itu.”

“Poppy, ayolah, dia juga sudah menampar dan hampir melemparmu dengan vas bunga, bukan? Seharusnya kamu kesal padanya.”

“Aku kesal, tapi rasa kasihanku melebihi itu.” Ia melirik-lirik ke kamar mandi.

“Kamu ingin terus bersama denganku, kan?” tanya Herdi dengan nada serius, kemudian dibalas dengan anggukan ragu dari Poppy.

“Iya, kita akan bersama jika Nira sudah tiada. Kita akan menjalani kehidupan nanti dengan tenang jika dia kita enyahkan sejauh-jauhnya. Atau tidak, enyahkan ke tempat di mana orang-orang jarang mendatangi tempat itu.”

“Itu ide buruk. Tapi, mungkin akan membuat kita aman untuk saat ini,” ucap Poppy. Bibir merahnya seketika menyungging.

Dengan secepat kilat, mereka beraksi. Herdi melakban mulut Nira. Poppy mengikat tangan dan kaki Nira dengan kuat. Setelah itu, mereka memasukkan Nira ke dalam karung besar yang cukup untuk tubuh Nira.

Nira yang sudah dimasukkan ke dalam karung, diseret oleh Herdi ke luar kontrakan. Poppy yang mengecek keadaan di luar beberapa menit yang lalu, mengangkat ibu jarinya. Ia memastikan bahwa keadaan di luar sepi dan aman. Herdi lanjut menggusur Nira dengan kuat menuju mobil baru Poppy yang terparkir di depan. Mereka menyimpan Nira ke dalam bagasi dan mereka langsung meluncur pergi menuju tempat tujuannya.

***

Di sepanjang perjalanan, Poppy termenung menatap indahnya kerlap-kerlip lampu kota dari kejauhan. Rasa kasihan pada Poppy kian lama kian memudar. Poppy membayangkan, esok nanti ia akan bersanding dengan Herdi yang tampan dan mapan di pelaminan. Mereka akan hidup bersama, membangun rumah, mengurus anak dengan tanpa adanya pengganggu. Sungguh, Poppy sudah melayangkan pikirannya dengan ekspektasi yang panjang.

“Kamu mengapa senyum-senyum terus dari tadi?” tanya Herdi.

Poppy tersadarkan dari lamunannya. “Ah, tidak, aku hanya membayangkan kehidupan kita nanti jika kita terus bersama.” Senyum Poppy mengembang, kemudian tangannya meraih tangan kiri Herdi yang sedang mengendalikan kemudi.

“Aku benar-benar ingin terus bersama dirimu,” ujarnya sembari menaruh kepalanya di lengan Herdi yang kekar. Genggaman tangan Poppy pada Herdi kian mengeras.

Poppy seperti benar-benar dimabuk asmara. Kecintaannya pada Herdi tidak bisa terelakkan lagi, terlalu berlebih. Sepanjang perjalanan, Poppy meracau mengenai hidup bersama dan mempunyai anak. Ia membayangkan betapa bahagianya keluarga itu. Terlebih dirinya cantik dan Herdi tampan, pasti hidupnya akan bahagia dan lebih dihargai.

Herdi melihat Poppy dengan tatapan sinis. “Mimpinya terlalu tinggi. Mana mungkin aku bersama orang bodoh seperti dia,” batin Herdi.

Herdi ternyata tidak benar-benar serius dalam semua perkataannya. Terutama perihal cinta. Julukan bermuka dua sepertinya sangat cocok diberikan kepada lelaki semacam dirinya. Ia masih memiliki banyak mimpi untuk diraih. Kisah percintaannya ia buat hanya untuk mengambil manfaat dari tiap wanita yang sudah ia kencani.

Menyakitkan rasanya bagi Poppy, jika nanti ia putus, ia harus menerima kenyataan bahwa Herdi hanya ingin bersenang-senang dengan dirinya. Begitu pula yang terjadi pada Nira, ia sudah dibuat jatuh cinta teramat dalam oleh Herdi, lantas ia tiba-tiba diejek dengan hinaan dan penyiksaan.

Mobil Poppy meliuk-liuk di jalanan. Mereka sudah memasuki tempat tujuan yang jaraknya 10 km dari kontrakan Herdi. Jalanan itu sangat sepi dan gelap. Suara burung hantu banyak terdengar di situ. Juga suara hewan-hewan yang berada entah di pohon, semak-semak, atau rumput, seperti ikut menyambut kehadiran mereka.

Saat dirasa sudah sampai di tempat yang benar-benar jarang didatangi orang, Herdi memberhentikan laju mobilnya. Ia turun dari mobil, membuka bagasi, dan langsung mengangkat karung yang berisi Nira. Poppy membantu mengangkat karung itu dengan hati-hati.

“Her, kita ke manakan ini? Gelap sekali,” tanya Poppy.

Herdi tidak menjawab, ia lantas melangkah menuju semak-semak belukar yang lebat dan ternyata ada jurang di sana.

“Kita lempar saja ke sana,” ujarnya.

Mereka mulai mengayunkan karung itu, dalam hitungan ketiga, mereka melemparnya. Karung itu terperosok ke bawah di mana semuanya terlihat sangat gelap. Mereka masuk kembali ke dalam mobil, lantas meninggalkan tempat itu, yakni sebuah hutan yang terlarang.

Herdi merasa sangat lega setelah melakukan itu. Sedang Poppy, perasaannya masih saja bercampuran. Antara senang, gelisah, dan menyesal. Ia senang karena telah berhasil menyingkirkan seseorang yang menjadi penghalang hubungannya. Gelisah, karena ia baru pertama kali melakukan hal setragis itu. Terlebih pada sahabatnya sendiri. Dan menyesal, mengapa ia begitu mencintai Herdi dan mau melakukan apa pun yang dia perintahkan.

Poppy sudah dibutakan oleh cinta. Ia akhirnya lebih memilih memperjuangkan cintanya, daripada mempertahankan persahabatannya. Jika Nira dicari, pasti Poppy menjadi salah satu orang yang akan ditemui. Dan dia sudah mengantisipasinya sejak hari ini.

Yang berkelebat dipikiran Herdi saat ini adalah ingin membersihkan semua darah dan kekacauan yang berada di kontrakannya.

***

Malam yang semakin larut, menghantarkan jiwa-jiwa pada ketaatan dan kesabaran untuk berjaga. Dalam heningnya malam di dalam hutan, derap langkah kaki terdengar samar. Tidak terburu-buru, tapi mantap pada satu tujuan. Suara langkah mereka bercampur dengan berbagai suara penginjakan pada benda-benda yang berada di tanah. Lima orang berpakaian serba hitam lengkap dengan senjata api yang digenggamnya, mereka menuju titik di mana ada sesuatu yang mencurigakan. Perawakan mereka tinggi-tinggi besar, mata yang awas memberikan kesan menakutkan dari mereka yang menutup sebagian wajahnya, dan hanya tersisa mata. Ketua pasukan tersebut memerintahkan anggotanya untuk pergi ke arah yang berbeda-beda. Dalam waktu dua menit, satu orang datang dan mengabarkan ada jejak ban mobil, mesinnya masih tercium hangat. Ia memperkirakan bahwa mobil itu baru beberapa menit lalu pergi.

Tiba-tiba, satu orang lagi mengabarkan ada sebuah karung yang banyak bercak darah. Setelah mendengar informasi tersebut, semuanya berjalan menuju tempat yang ditunjukkan. Ketua pasukan tersebut menyuruh anggotanya untuk membuka karung itu. Mereka terkejut karena ternyata manusia-lah yang berada di dalamnya.

“Siapa bedebah yang berani membuang manusia ke sini?” geram Sang Ketua. Matanya awas melihat manusia yang sedang dikeluarkan perlahan dari karung itu. Ia sangat membenci jika orang berperilaku tidak beradab seperti ini.

***

Bersambung

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel