Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 6 Refleks Siksa

Bab 6 Refleks Siksa

Gemercik hujan terdengar seakan mengiringi perasaan Nira yang kacau balau. Pikirannya tertarik pada kejadian masa lampau, saat dirinya dan Poppy bermain pasir di taman. Saat itu, Poppy yang selalu marah-marah karena ibunya tidak bisa berlama-lama menemaninya bermain. Ia hampir membuat semua orang ketakutan atas perbuatannya. Pasir ia tebar-tebarkan, skop, batu, dan semua benda yang berada di dekatnya ia lempar-lemparkan. Tidak ada anak-anak yang berani mendekatinya. Mereka dilarang ibu mereka untuk mendekatinya, takut-takut anak mereka akan celaka jika bermain bersama Poppy.

Poppy semakin menangis karena ulahnya tidak membuat orang-orang tertarik padanya. Ketika ibunya memaksa untuk pulang, tiba-tiba ada seorang anak perempuan yang menghampiri Poppy. Anak itu dikucir kuda dan memakai baju berwarna kuning. Ia tersenyum pada Poppy, dan seketika tangisan Poppy berhenti. Poppy menatap anak yang berada di hadapannya itu.

“Hai, aku Nira. Nama panjangku Nira Ayunda Ningtyas.” Anak itu tersenyum hingga menampakkan gigi kelinci mungilnya. Lantas ia mengulurkan tangannya pada Poppy.

Poppy mengedipkan matanya beberapa kali. Seakan tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Hanya anak itulah yang ingin berkenalan dengannya. Sedangkan ibunya memandang Nira dengan raut wajah yang bahagia. “Aku, Poppy.” Poppy menerima uluran tangan Nira. Ia lantas tertawa.

“Mau main?” ucap Poppy kepada Nira. Nira mengangguk, senyumnya tidak pernah lepas. Selalu bertengger bak burung dalam sangkar, tidak terlihat kebosanan.

Ibu Poppy melepaskan genggaman tangannya pada Poppy. Kemudian, ia membiarkan anaknya bermain dengan Nira. Tapi, ketika mereka asyik bermain, seorang wanita meneriaki Nira. Nira terkejut dan langsung berlari menghampiri wanita itu. Ia langsung dimarahi dan dipukul di hadapan semua orang. Wanita itu lantas menggusur Nira layaknya rongsokan.

Semua orang tentu terkejut dengan sikap seorang ibu yang sangat kasar terhadap anaknya. Hingga ketika Nira dan ibunya pergi, semua orang ribut membicarakan kejadian itu.

Poppy merasa sedih karena teman bermainnya pergi. Namun, dikemudian hari, mereka dipertemukan lagi. Akhirnya, mereka bersahabat hingga saat ini. Banyak sekali persamaan dari mereka berdua. Dari mulai rambut yang selalu sepunggung, hingga sepatu juga sama. Terlebih, Poppy-lah yang ingin terlihat sama, bukan Nira. Pasalnya, Nira hanya memakai sesuatu yang sudah disediakan oleh ibunya. Terlepas dari itu barang bekas atau apa. Nira tidak pernah meminta apapun pada ibunya, karena ia tidak bisa berharap banyak.

Sikap Poppy yang selalu ingin sama, sepertinya berpengaruh sampai sekarang, Terutama sampai ke hal percintaan pun ia ingin sama. Nira tidak menyangka jika dirinya dan Poppy menyukai lelaki yang sama. Amat menyakitkan jika harus merelakan antara persahabatan atau cinta. Memang sulit memilih pilihan yang keduanya sama-sama berarti. Di situlah ego kita dituntut untuk bermain.

***

Tidak seperti biasanya, Nira sangat merasakan emosi seperti sekarang. Saat ia membuka mata, ia menemukan vas bunga yang berada di atas nakas. Nira mengambilnya dengan cepat dan hendak ia lemparkan ke Poppy.

“Aaa, kamu jahat, Poppy!” teriak Nira dengan penuh emosi.

Namun, lemparan itu urung dilakukan, karena Herdi refleks mengambil tongkat yang ia sandarkan di dinding, lantas memukul tengkuk Nira dengan kuat. Nira tersungkur hingga kepalanya dengan keras membentur lantai. Darah segar mengalir dari kepalanya.

Poppy yang melihat kejadian itu, tidak bisa menahan keterkejutannya.

“Nira!” Poppy menghampiri sahabatnya. Ia menutup mulut dan menggelengkan kepalanya, merasa tidak percaya dengan apa yang ia lihat. Ia juga melihat, mata Nira yang mengerjap-ngerjap.

Herdi yang sudah memukul Nira, melemparkan tongkat yang dipegangnya ke kasur. Ia bergeming, memandang Nira dengan raut wajah mengilukan.

Poppy merasa kesal atas apa yang sudah diperbuat oleh Herdi.

“Mengapa kamu melakukan itu?” tanya Poppy.

“Aku … aku hanya berusaha menghentikan dia agar tidak mencelakaimu,” jawab Herdi.

“Tidak begitu caranya. Ayolah, ini menjadi sangat rumit jika kamu tidak bisa mengontrol emosi juga. Ini semua memang salahku, Her,” ucap Poppy, telapak tangannya berkeringat.

“Tidak, kamu tidak salah, Sayang.” Herdi meraih tangan Poppy yang sudah basah oleh keringat dingin. “Ini sudah takdir, takdir bahwa kita memang harus hidup bersama. Tidakkah kamu berpikir sama denganku?” tanya Herdi.

“Tapi Nira tersakiti akan hal itu. Aku telah mengkhianati sahabatku sendiri, Her. Aku bukan sahabat yang baik. Aku bukan sahabat yang setia dan tidak bisa dipercaya lagi. Selama ini, Nira sudah banyak membantuku. Dasar bodoh, bodoh!” Poppy memukul kepalanya, Herdi lantas mendekap Poppy.

“Tenang, kamu tidak salah. Maafkan aku sudah membuatmu merasa bersalah.”

Poppy menangis dalam dekapan Herdi. “Kamu tega!” ucapnya sembari memukul dada Herdi, lantas melepaskan pelukan.

“Tega apa?”

“Kamu tega sampai berbuat seperti itu. Kita harus bagaimanakan Nira sekarang?” Ia menunjuk Nira yang tergeletak di lantai. Herdi hanya diam.

“Aku harus obati lukanya.” Poppy hendak membangunkan Nira, tapi Herdi malah mencegahnya.

“Biarkan saja dia mati. Kalau dia mati, tidak akan ada lagi pengganggu hubungan kita,” jelas Herdi dengan santai. Tanpa sadar, dalam baringannya, Nira masih bisa mendengar semua percakapan mereka.

“Her! Dia sahabatku, aku tidak bisa membiarkannya begitu.”

Poppy memang benar-benar iba. Ia tidak bisa melihat sahabatnya terluka di hadapannya. Dulu, setiap kali Poppy terluka, selalu ada Nira yang membantu mengobati. Padahal, luka pada tubuh Nira lebih banyak daripada luka yang ada pada dirinya. Namun, Nira sama sekali tidak mengeluhkan itu. Tapi bagaimana bisa ia yang hanya sedikit beret bisa semanja dan selemah itu di hadapan semua orang? Sungguh, perbandingan antara Poppy dan Nira perihal sikap dan kemandirian sangat jauh berbeda.

Semakin lama mereka bersama, akhirnya Poppy tahu, di balik semua kebahagiaan yang ditunjukkan Nira padanya dan semua orang, ternyata menyimpan beribu luka. Sejak sekolah menengah, ia sudah mulai bekerja. Entah itu sebagai kuli angkut, pengamen, atau bahkan tukang ojek payung.

“Aku hanya ingin mencoba bermain pekerjaan. Bosan rasanya jika harus bermain di taman saja. Aku ingin suasana yang berbeda,” jawab Nira ketika ia ditanya mengapa anak-anak sepertinya sudah bekerja.

Pada saat itu, Poppy juga menjadi ingin bekerja seperti Nira. Namun, ibunya melarang keras. Ibunya mengatakan, bahwa tugas anak saat itu adalah belajar, belum waktunya untuk bekerja,” ucap ibu Poppy.

***

“Kita harus membersihkan luka Nira, aku tidak mau tahu!” Poppy merengek pada Herdi. “Tapi aku tidak tahu bagaimana cara mengobatinya.” Sorot mata Poppy menunjukkan kebingungan. Ia tidak tahu harus mulai dari mana.

“Aku bisa, tapi aku tidak mau jika Nira sadar kembali.” Herdi berbaring di kasurnya. “Ah, akupun sakit, Sayang. Aku ingin istirahat saja.”

“Jadi kamu ingin Nira mati?” tanya Poppy.

“Jika itu harus, ya bagus.”

“Herdiiiiii … kamu ini bagaimana? Lihat, dia sudah tidak sadarkan diri sejak tadi.”

Poppy mulai cemas. Ia akhirnya membalikkan badan dan hendak memutuskan untuk mengobati Nira.

Namun tiba-tiba, Nira sudah sadarkan diri dan mencoba untuk bangkit. Poppy sangat terkejut melihat Nira yang sudah berdiri, begitu pun Herdi.

“Nira, maafkan aku,” ucap Poppy sembari menangis. Ia mendekati Nira yang menatapnya dengan tatapan geram. Darah yang bercucuran diwajahnya membuat Nira sedikit menyeramkan.

“Nira, aku mohon,” Poppy hendak menyentuh lengan Nira, ia berniat memapahnya. Namun, dengan cepat Nira menepis tangan Poppy. Nira mendekatinya tanpa bersuara, Poppy melangkah mundur dengan perlahan.

Plakkk!

Suara tamparan di wajah Poppy begitu terdengar keras. Poppy memegangi pipinya yang memerah. Ketika Nira menghampiri Herdi, Herdi malah mendorong Nira dengan kasar hingga jatuh terjerambah ke lantai.

“Berani-beraninya kamu menampar kekasihku, hah!” seru Herdi.

Nira hanya menatapnya dengan penuh amarah. Herdi yang geli melihat raut wajah Nira, langsung menyeret Nira ke kamar mandi dengan kasar dan mendorongnya dengan kuat. Namun, sial, Nira tidak hanya terjatuh, kepalanya pun membentur bak kamar mandi. Dan akhirnya Nira kembali tidak sadarkan diri.

“Herdi! Apa yang kamu lakukan?” teriak Poppy, saat ia menghampiri Herdi ke kamar mandi. Darah segar kembali mengalir di kepala Nira.

***

Bersambung

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel