Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 4 Main Gila

Bab 4 Main Gila

Setelah tiga hari Nira mengalami sakit di sekujur tubuh, sampai-sampai ia tidak bisa bekerja seperti biasa, hari ini Nira kembali mengembus sejuknya kesegaran kota. Pasalnya, selama sakit, ia tidak bisa ke mana-mana selain terbaring di kasur, karena dilarang keluar oleh Mirna. Mirna mengunci Nira. Ia tidak mau Nira mengacaukan acaranya yang ia adakan selama dua hari di rumah.

Nira tetap bersyukur karena Mirna masih mau memberinya makan dan minum. Mungkin itu bentuk terima kasih Mirna pada Nira karena telah membayarkan utangnya yang sangat besar.

Waktu itu, setelah pulang dari pasar, Nira langsung menghubungi bapak-bapak yang telah ia tolong, lantas mengirimkan nomor rekeningnya. Tidak perlu waktu lama, dua menit setelah nomor rekening ia kirimkan, uang lima puluh juta sudah masuk ke dalam rekeningnya. Nira tak henti-henti mengucap syukur atas pertolongan Tuhan. Ia pun dengan segera menghubungi debt collector dan langsung membayar tunai utang Mirna. Sertifikat rumah yang digadaikan pun kembali. Nira sangat senang.

Meski ia telah melakukan hal yang besar, tetap saja Mirna tidak mau mengapresiasi semua kerja keras Nira. Bahkan, Mirna juga tidak mau tahu bagaimana ceritanya sehingga Nira bisa mendapatkan uang itu. Ia seakan menutup telinga dan tidak mau berbangga terhadap Nira.

Ada pelangi setelah hujan, ada bahagia setelah kesedihan. Nira merasa sangat bahagia hari itu. Akhirnya ia bisa keluar rumah, melewati kesakitan-kesakitan yang ia rasakan, dan bisa melakukan berbagai aktivitas: kuliah, organisasi, dan bekerja.

Nira tidak hanya cakap dalam bekerja, ia pun pintar dalam akademik. Di kampusnya, ia mendapat julukan, si kepo. Pasalnya, Nira seperti yang paling antusias di setiap mata kuliah, dibandingkan teman-temannya. Nilainya selalu di atas rata-rata. Kata kepo merupakan pelesetan dari ‘kritis’ yang dibuat teman-temannya. Padahal, dari maknanya saja sudah berbeda. Biasanya kepo dicocokan dengan orang yang ingin tahu secara berlebihan terhadap kepentingan orang lain. Sedangkan kritis, itu sifat tidak lekas percaya atau sifat yang selalu ingin tahu kejelasan dari setiap kesalahan.

Selesai pulang kuliah, ia lanjut bekerja di hugo’s cafe. Ia memang wanita tak kenal lelah. Dari pagi sampai tengah malam selalu saja berkegiatan di luar. Jadwal ia bekerja, sudah diatur. Ia bekerja pada hari kerja hanya di waktu malam. Sedangkan di akhir pekan, ia bekerja dari pagi sampai petang. Para pekerja di Hugo’s Cafe kebanyakan adalah mahasiswa yang mangambil kuliah karyawan. Sehingga, mereka hanya libur kerja di akhir pekan. Berbeda dengan dirinya, ia mengambil kuliah reguler. Jadi, ia harus menyesuaikan jadwal antara kuliah dengan pekerjaannya.

Pimpinannya pernah bertanya pada Nira, apakah ia tidak lelah jika bekerja seminggu penuh tanpa libur?

Nira hanya menjawab tidak dengan senyuman. Pimpinannya merasa kasihan, jadi, Nira diberi waktu libur satu hari di hari Selasa. Meskipun Nira bersikeras untuk tetap ingin bekerja, pimpinannya tetap menolak. Terkhusus, hasil kerja Nira sangat bagus, pimpinan pun segan dan harus berpikir ulang untuk mengeluarkannya.

***

“Nira, apa kabar?” teriak Ratna, pelayan baru yang pernah dibantu oleh Nira.

“Hai, Ratna. Kabar baik, bagaimana denganmu?” Nira tersenyum dibalik maskernya sembari mengambil seragam kerja.

“Aku sehat. Senang rasanya melihatmu kembali bekerja.” Ratna menatap lekat wajah Nira saat maskernya dibuka. Dua detik kemudian ia tercengang karena melihat wajah Nira yang babak belur.

“Nira, wajahmu.” Ratna refleks menutup mulutnya.

Nira menutup kembali wajahnya dengan masker. Ternyata, wajahnya memang terlihat buruk oleh siapa pun, tidak hanya dirinya.

“Kamu habis dipukuli siapa?” tanya Ratna.

“Tidak, aku hanya jatuh,” Nira berbohong. Tidak mungkin ia berkata bahwa ia telah dipukuli oleh ibunya sendiri pada orang lain.

Alasan jatuh tidaklah membuat orang lain langsung percaya padanya. Ratna memutuskan untuk tidak bertanya lebih, ia tahu, mungkin Nira ada masalah pribadi yang tidak ingin dicampuri.

Dengan keadaannya yang buruk, Nira tetap fokus bekerja dengan baik sampai petang. Setelah berganti Shift dengan temannya, ia beristirahat sejenak di belakang. Saat ia membuka ponselnya, ada sebuah pesan dari pacarnya tadi siang.

Sayang, bisakah kamu antar aku ke dokter?

Nira mendadak cemas, ia langsung menelepon Herdi. Setelah tiga kali ditelepon, nomornya tidak aktif. Nira dengan cepat keluar kafe dan segera meluncur menuju kontrakan Herdi menggunakan ojek online yang sudah ia pesan.

Herdi, semoga kamu baik-baik saja, batin Nira.

Setelah sampai dekat kontrakan Herdi, tidak lupa, Nira mampir ke warung untuk membeli makanan.

Sebelum Nira mengetuk pintu kontrakan Herdi, Nira berkaca terleih dahulu. Ia membenahi penampilannya, tapi, wajahnya yang babak belur tidak bisa ia tutupi jika tidak pakai masker. Nira menghela napas. Ia berharap Herdi bisa menerima wajahnya yang sedang memburuk. Ia pakai kembali masker agar tidak terlalu kentara babak belur di wajahnya.

Nira mengetuk pintu kontrakan Herdi.

“Her, Herdi…”

“Ini aku, Sayang!” seru Nira.

Pintu terdengar sedang dibuka dengan perlahan. Herdi muncul dari balik pintu dengan memakai kaus hitam dan celana bokser. Wajahnya begitu pucat, Nira langsung memeluk pacarnya. Nira merasa bersalah karena terlambat membaca pesan darinya.

“Maafkan aku, ya,” ucap Nira dengan mata berkaca-kaca.

“I-iya, ada apa? Mengapa kamu ke sini Nira?” tanya Herdi sembari melepas pelukan Nira.

“Tak biasanya kamu panggil aku dengan nama,” Nira tidak langsung menjawab pertanyaan Herdi.

“Emm, iya, Sayang, kamu mengapa ke sini?” Herdi tersenyum dengan tanggung.

“Aku khawatir denganmu. Kamu sakit, kan?”

“Iya, aku sakit. Tapi sudah mulai membaik, kok.” Herdi menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

“Baguslah. Ayo, aku suapin, aku sudah membeli makanan untukmu.” Nira hendak masuk ke kontrakan Herdi, tapi Herdi menghalangi Nira untuk masuk.

“Loh, biasanya kamu suka menyuruh aku ke kontrakan. Sekarang, kok, kamu melarang aku masuk?” Nira mengerutkan dahi. Rasa curiga mulai menyerbu dirinya.

“Tidak apa-apa, a-aku belum membereskan kamar. Kotor sekali, Yang. Bau lagi,” ujarnya.

“Hmm, tidak apa-apa, kamu, kan, sedang sakit. Jadi wajar saja kamu tidak sempat beres-beres.” Nira tersenyum di balik maskernya.

Herdi menggaruk kepalanya lagi. “Iya, eh, Yang, aku hari ini ingin istirahat sendiri dulu. Kamu pulang saja, ya. Nanti makanannya pasti aku makan, kok.” Herdi tersenyum manis.

“Hmm, tingkahmu mengapa aneh sekali?”

“Iyakah?” Matanya bergerak ke kanan dan ke kiri.

Tingkah Herdi semakin membuat Nira penasaran. Namun, ia juga kasihan jika waktu istirahatnya terganggu olehnya.

“Ya sudah, ini makanan untukmu, jangan lupa dimakan, ya,” ucap Nira sembari memegang tangan Herdi dan memberikan makanan yang sudah ia beli.

“Iya, Sayang. Kamu juga kelihatannya masih sakit. Tuh, pakai masker segala.”

“I-iya, tapi sudah membaik, kok. Kamu ke dokter tadi dengan siapa?” tanya Nira.

“Sama… Eh, sendiri.”

“Hmm, oke, aku sungguh merasa bersalah karena tidak bisa mengantarmu.”

“Tidak apa, aku masih bisa sendiri ternyata.” Herdi mengelus kepala Nira.

“Ya, sudah, aku pulang, ya.”

Nira membalikkan badannya dan melangkah pulang. Namun, tiba-tiba ia menghentikan langkahnya. Ujung matanya melihat sesuatu yang aneh. Ia menuju rak sepatu Herdi yang berada di dekat jendela depan kontrakan. Nira melihat sepatu wanita berada di rak sepatu pacarnya. Setelah ia amati, ia merasa kenal dengan sepatu itu. Herdi terkejut dan mendadak cemas.

Nira dengan cepat menerobos masuk ke kontrakan Herdi. Herdi tidak berhasil menahannya.

“Mampus!” Herdi menepuk jidatnya.

Saat Nira masuk, memang benar, keadaan kamar Herdi begitu berantakan. Ada dua piring di meja makan, sepertinya ada dua orang yang sudah makan di sana.

Herdi makan dengan siapa? Batin Nira.

Matanya menyapu seluruh sudut kontrakan, akhirnya ia menemukan bra wanita yang tergeletak di atas Kasur Herdi. Tubuh Nira gemetar. Tanda tanya memenuhi pikirannya. Ia mengambil bra tersebut.

“Tolong jawab jujur…” Nira menarik nafas dan menghembuskannya cepat, “ semua ini milik siapa?” Nira menenteng sepatu wanita dan bra di hadapan Herdi.

Wajah Herdi memerah, ia hanya diam, tidak menjawab.

“Jawab!” bentak Nira. Air matanya tertahan di pelupuk mata.

“Itu…”

Tiba-tiba, seseorang keluar dari kamar mandi mengenakan kimono di badannya dan kepalanya dibalut handuk. Wanita itu terkejut dan mematung melihat Nira sedang berada di hadapannya.

Akhirnya, air mata yang tertahan terluapkan jua. Nira menjatuhkan bra dan sepatu wanita itu di lantai. Hatinya seakan ikut terjatuh ke jurang paling dalam. Dan seketika hancur berantakan.

“Poppy!” seru Nira. Ia tak menyangka, wanita yang selama ini ia percaya sebagai sahabat baiknya, telah bermain gila dengan pacarnya sendiri.

“Nira, maaf, aku salah. Aku menyukai Herdi.” Poppy meneteskan air matanya.

“Ini bukan salah Poppy, Nira. Ini .... ” Herdi hendak menjelaskan.

“Iya, ini salah kamu!!!” Nira berteriak di hadapan Herdi dengan tatapan nanar. Sungguh, hal ini berada di luar ekspektasinya. Ia kira Herdi adalah pacar yang setia. Ia kira, sahabatnya adalah orang yang bisa dipercaya. Semua hal di hidupnya memang menyakitkan.

***

Bersambung

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel