Bab 3 Menganggap Ibu
Bab 3 Menganggap Ibu
Nira terbangun dari ketidaksadarannya. Ternyata ia dibiarkan tergeletak di lantai selama satu jam dengan darah yang bercucuran dari hidung dan mulutnya. Dengan sekuat tenaga, Nira beranjak menuju kamar mandi, ia ingin membasuh lukanya. Saat berkaca, ia menemukan wajahnya yang penuh dengan lebam. Nira menangis. Pukulan ibunya berhasil membuat wajahnya menjadi buruk.
Setelah mengobati luka-lukanya, ia pergi dari rumah. Ia tutupi wajah yang babak belur itu dengan masker. Langit siang tetap cerah meskipun hatinya tengah bersedih. Ya, langit memang tidak selalu berpihak padanya. Begitu pun manusia yang lain. Namun, langit begitu bukan tiada arti, mungkin ia ingin memberi pelajaran, bahwa hati harus tetap cerah, jangan redup sebelum waktunya tiba.
Nira berjalan menuju tempat seseorang yang akan selalu mengerti permasalahannya. Sahabatnya pasti akan menenangkan hatinya yang tengah bersedih. Mungkin Nira akan menginap beberapa hari di rumah Poppy demi menghindari kemarahan ibunya dan menenangkan hatinya. Ketika dua langkah lagi menuju gerbang rumah Poppy, Nira berhenti dan kemudian mengubah arah langkahnya. Ia berbalik dan berlari.
“Aku tidak bisa membiarkan rumah itu disita. Aku harus mencari uang untuk membayar utang ibu.” Nira berujar sembari berlari.
“Aku kuat, aku pasti kuat.”
Ia mengucapkan kalimat itu berulang-ulang, agar memberi sugesti pada dirinya untuk kuat. Percaya tidak percaya, apa pun yang kita ucapkan akan berpengaruh pada pikiran dan keadaan kita. Maka dari itu, Nira selalu mengucapkan kalimat positif. Terlebih, sulit sekali mendapatkan teman yang selalu menyemangati dirinya.
Ia harus kuat menjalani kehidupannya. Ia mengamini bahwa setelah kesulitan ada kemudahan. Nira tidak bisa melewatkan sedetik pun waktunya untuk tidak berjuang. Karena kita tidak tahu, seberapa dekat kita pada sebuah kesuksesan. Untuk itu, Nira selalu ingin berjuang menghadapi hidup ini. Meskipun ia tidak tahu, apa yang sebenarnya ia cari di kehidupan ini.
Nira berpikir cepat, bagaimana caranya mendapatkan pekerjaan tambahan agar ia bisa mengumpulkan uang dan segera membayar utang ibunya. Kakinya terus melangkah menyusuri pertokoan di daerah pasar. Ia memohon pada pemilik toko, apa yang bisa ia kerjakan hari itu dan bisa mendapatkan uang saat itu juga. Tidak sedikit yang mengusirnya, ada pemilik toko yang menolak dengan kasar, ada pula yang pura-pura tak mendengar. Hingga waktu sore tiba, ia baru mendapatkan uang lima puluh ribu, itu pun hasil dari membantu pedagang di pasar.
Ia duduk di depan toko bangunan. Ada kursi panjang di sana. Ia menyelonjorkan kedua kakinya. Ia merasa sangat lelah karena harus banyak berjalan dan berlari. Nira mengecek ponselnya, ada pesan dari Herdi.
Sayang
Iya?
Kamu di mana?
Aku di pasar. Ada apa?
Tidak, aku rindu.
Aku juga
Mari bertemu di kontrakanku
Tidak bisa, Her, aku harus mencari uang
Bukankah kamu libur kerja hari ini?
Iya, tapi aku perlu banyak uang untuk membayar utang ibu
Aku akan membantumu jika kamu mau ke kontrakanku
Nira memejamkan mata. Ia malas untuk membalas pesan Herdi. Pasti ia akan memaksanya untuk ke kontrakan. Bukannya ia tidak ingin ke kontrakan Herdi. Hanya saja ia takut, jika kejadian beberapa bulan yang lalu terulang lagi. Herdi sempat terkuasai oleh nafsu dan hampir melakukan sesuatu yang tidak senonoh kepada Nira.
Waktu itu, ketika mereka pulang dari sebuah pesta yang diadakan oleh teman sekampus, Herdi mengajak Nira untuk pergi ke kontrakannya terlebih dahulu. Kebetulan saat itu hujan lebat, dan kontrakan Herdi dekat dari jalan itu. Akhirnya Nira mengiakan. Saat Nira membuka jaket, lantas menggantungkan jaket itu di pintu, Herdi tiba-tiba memeluknya dari belakang.
Nira mengira, Herdi hanya memeluknya dengan pelukan biasa, hingga Nira membalas pelukan itu. Namun, Herdi tiba-tiba memeluk Nira sangat erat, kepala Herdi sengaja menelusuri tubuh Nira. Nira memberontak karena ia merasa sangat risih. Tapi Herdi semakin memaksa ingin mengecup bibir indah Nira. Sebelum kecupan itu terjadi, Nira akhirnya menampar Herdi. Dengan seketika, Herdi tersadar, ia meminta maaf pada Nira karena telah melakukan hal yang sangat tidak menyenangkan.
Semenjak itu, Nira menjadi sangat hati-hati kepada Herdi. Pasalnya, dulu, saat beberapa kali ia ke kontrakan Herdi, Herdi bertingkah dengan sewajarnya, tidak seperti waktu itu. Semenjak itu pula, Herdi menjadi susah untuk dihubungi. Ia hanya menghubungi ketika ingin bertemu dengan Nira dan mengajaknya untuk ke kontrakan.
Dering telepon Nira berbunyi.
“Iya?” ucap Nira.
“Kamu di mana sayang?”
“Aku di pasar. Kapan-kapan saja aku ke kontrakanmu, ya.”
“Aku akan jemput kamu.”
“Tidak perlu, kamu istirahat saja. Bye.” Nira mematikan teleponnya.
Di sisi lain, Nira ingin sekali bertemu dengan pacarnya. Namun, ia merasa tidak percaya diri dengan wajahnya yang menjadi buruk karena babak belur. Nira takut, Herdi malah mencacinya jika muncul dengan wajah seperti itu.
Nira mengikat rambutnya. Ia bersiap kembali untuk mencari kerja.
“Semangat, Nira!” ujarnya.
Tiba-tiba, ia melihat seorang bapak-bapak yang berada di pinggir jalan seperti sedang menerima telepon saat akan menyeberang. Tetapi dari arah kanan, ia melihat truk yang mengangkut pasir melaju dengan kecepatan kencang. Nira berlari, dan kemudian menarik bapak-bapak tersebut sebelum truk itu menyerempetnya. Nira dan bapak-bapak itu terjatuh. Truk lewat dengan tanpa memberi klakson. Bapak-bapak itu seperti sangat terkejut dengan apa yang telah terjadi.
“Yaampun, Tuhan, aku hampir saja mati.” Ia mengelus dadanya, lantas menatap Nira yang terjatuh di sampingnya.
“Nak, kau tidak apa-apa?” tanya Bapak itu.
“Oh, tidak apa-apa, Pak. Maaf, saya menarik Bapak sampai terjatuh.” Nira menelungkupkan tangannya.
Bapak itu berdiri, “seharusnya Saya yang berterima kasih kepada kamu.”
Nira tersenyum, ia pun segera berdiri. “Tidak usah sungkan, Pak. Sebagai sesama manusia, memang sudah sepatutnya saling membantu. Apalagi dalam keadaan bahaya seperti tadi.”
“Iya, sekali lagi terima kasih. Saya bingung harus membalas apa kepadamu.” Bapak itu merogoh saku jasnya. “Ini kartu nama saya.” Ia menyerahkan kartu namanya.
Nira menerima kartu nama itu dengan gugup.
“Jika kamu perlu bantuan, silakan hubungi saya,” ujarnya.
Nira mengangguk cepat. Ia tidak ingin melewatkan kesempatan itu. “Pak, apakah Bapak ada pekerjaan untuk Saya dan bisa dibayar dalam seminggu?”
“Pekerjaan? Hmm.” Bapak itu berpikir sejenak.
“Ya, saya sedang mencari uang untuk membayar utang ibu saya. Jika tidak dibayar dalam waktu seminggu, rumah kami akan disita,” jelas Nira.
“Berapa utangnya?”
“Eng.. Lima puluh juta, Pak.” Nira dengan ragu menyebutkannya.
“Saya akan bantu kamu.”
“Jadi bapak ada pekerjaan untuk saya?” Raut wajah Nira berubah menjadi gembira.
“Tidak, tapi saya akan membayar utang ibu kamu,” ucapnya dengan santai.
Nira menjatuhkan ponselnya. Mulutnya membuka. “Serius, Pak?”
“Iya, kamu sudah menolong saya, jadi saya pun akan menolong kamu.”
Nira menggamit tangan Bapak itu, “terima kasih banyak, Pak. Terima kasih..” Nira meneteskan air mata. Ia bahagia.
“Tapi, Pak, jika nanti Bapak perlu bantuan saya, saya akan siap membantu.”
“Baik, baik. Nanti kamu hubungi saja nomor yang tertera di kartu nama. Lalu kirimkan nomor rekeningnya.” Bapak itu tersenyum, “Saya harus pergi dahulu, sampai jumpa.”
“Baik, sampai jumpa.” Nira melambaikan tangannya, lantas mengambil ponsel yang terjatuh.
Sungguh sebuah keajaiban baginya. Ia tidak pernah berpikir bisa mendapatkan uang itu dengan cepat. Akhirnya, ia bisa membayar utang ibunya. Bagaimanapun juga, Mirna adalah ibu yang sudah merawatnya dari kecil. Meskipun hanya ibu tiri, ia tetap menganggapnya layaknya ibu kandung. Nira sangat menyayangi Ibunya.
Sejak dulu, Mirna yang telah membuat Nira menjadi kuat.
Jika aku tidak dipukuli dan dikasari, mungkin aku akan menjadi anak yang manja dan tidak bisa menghadapi hidup ini, batinnya.
Memang, tidak bisa dipungkiri, selalu terselip rasa kesal dan marah pada ibunya saat ibunya menyiksa. Tapi Nira tidak pernah membalas memukul, sekalipun ia hampir mati karena disiksa olehnya. Yang ada dipikiran Nira, ia ingin selalu membahagiakan ibunya. Nira berusaha untuk tidak membuat ibunya marah-marah lagi. Apapun yang ibunya minta, pasti ia selalu menuruti. Bahkan, saat Nira gajian, gaji itu selalu dirampas oleh ibunya, ia tetap terima. Lagi pula, ia kuliah pun karena mendapat beasiswa. Selain berhati tulus, Nira pun anak yang cerdas.
***
Bersambung