Bab 2 Pukulan Tanpa Iba
Bab 2 Pukulan Tanpa Iba
Matahari dengan lancar berjalan menyusuri sudut lurus hingga membentuk sudut siku-siku. Hari mulai memanas. Sama halnya dengan hati Nira yang saat ini memanas karena kesal terhadap seseorang. Sambil berjalan, ia terus menekan tombol panggilan kepada salah satu nomor yang menurutnya sangat spesial, terutama yang memilikinya. Nira akhirnya menyerah untuk menelepon nomor tersebut.
“Huft ... selalu saja dia membuatku cemas.” Nira menundukkan kepala. Ia merasa, perasaannya begitu menyebalkan.
Tiba-tiba, ponselnya berdering, ada sebuah panggilan masuk. Awalnya Nira sangat semangat karena ia mengira bahwa itu adalah panggilan dari seseorang yang ia tunggu.
“Hai, Niraaa!” teriak suara dari ponsel. Nira mendadak lesu kembali.
“Iya,” ucapnya.
“Kok, lemas begitu. Kamu sakit?”
“Tidak.”
“Serius? Maafkan aku, ya, Ra. Semalam aku tak menjawab panggilanmu, karena aku sudah tertidur sangat pulas setelah pulang dari kafe. Lelah sekali,”
“Iya, aku tidak apa-apa, Pop. Kamu baru bangun?” tanya Nira kepada Poppy, sahabatnya sejak kecil. Mereka kuliah dan bekerja di tempat yang sama. Poppy selama ini selalu menjadi tempat ia menceritakan segala kegundahannya.
“Hehee ... iya, aku kebablasan. Ibuku sampai mengguyurku dengan air seember. Duh, sangat tega dia. Sekarang aku baru selesai menjemur kasur dan bantal. Makanya aku membolos kuliah hari ini, Ra,” ujar Poppy bercerita dengan nada suara yang tanpa beban.
Nira ingin tertawa mendengarnya. Diguyur dengan air seember memang kejadian yang sangat memalukan. Mungkin memang begitulah cara terakhir orang tua untuk bisa membangunkan anaknya. Namun, lain halnya dengan Nira yang mendapat perbuatan tersebut tanpa sebab.
“Tapi untungnya, ibuku sudah memasak makanan yang begitu lezat, Ra. Jadinya rasa kesalku padanya seketika hilang,” lanjut Poppy.
“Ah, iya, ibumu memang pengertian. Itu artinya dia memang sayang padamu.” Nira menyunggingkan senyumnya.
“Iya, kamu juga nanti akan merasakan kasih sayang seorang ibu, kok, Ra. Jangan sungkan jika mau ke rumah, ibuku sering menanyakanmu, loh.” Poppy memang selalu bisa mengubah suasana hatinya menjadi tenang.
“Iya, terima kasih, Pop,” ucap Nira. Setelah itu ia terdiam cukup lama.
“Oh iya, semalam memangnya kamu ada apa meneleponku?” tanya Poppy.
“Aku dihadang preman.”
“Hah, di mana? Terus, kamu tidak apa-apa? Uangmu bagaimana?” ucap Poppy dengan terkejut.
“Di jalan dekat toko bangunan Pak Yasa. Tapi aku tidak apa-apa, karena ada yang membantuku ketika tasku diambil oleh preman itu. Entah siapa aku tak mengenalinya, ia memakai setelan jas.”
“Waaah dia pahlawan kemalaman.” Poppy menertawakan ucapannya sendiri.
“Haha ... kau ini. Tapi aku kesal sekali, pacarku tidak menjawab panggilan teleponku sejak semalam sampai siang ini.”
“Hm, jangan kesal. Mungkin dia sedang sibuk.”
Nira menghela nafas, “iya, kau benar. Nanti juga dia pasti akan balik menghubungiku.”
“Nah, begitu, dong. Sahabatku harus tetap optimis! Eh, sudah dulu, ya, ibuku menyuruhku,” ucap Poppy setengah berbisik.
“Oke, siap. Bye.” Nira mematikan panggilan itu, lantas kembali berjalan.
Saat sampai di depan gerbang kampusnya, tiba-tiba ada seseorang yang membuatnya terkejut.
“Hai, sayang ...” Seorang lelaki bertubuh jangkung sengaja mencegat Nira di depan gerbang dan membiarkan tubuhnya tertubruk oleh Nira.
“Herdi! Ih, kamu hampir membuat jantungku copot,” ucap Nira sembari memukul dada lelaki itu.
“Oh, ya? Mana sini aku lihat.” Lelaki itu hendak memegang dada Nira, tapi Nira segera menepisnya.
“Apaan, sih. Tidak lucu.” Nira memundurkan tubuhnya, lantas menyilangkan tangan di dadanya.
“Hehe ... maaf. Kamu jangan marah begitu, nanti cantiknya hilang.”
“Memang aku tidak cantik,” jawab Nira singkat.
“Ini, aku ada sesuatu untukmu.” Lelaki itu memberikan buket ke hadapan Nira.
Nira mengambil buket itu. “ Terima kasih,” ucapnya.
“Kamu mau ke mana sekarang? Makan? Ke kontrakanku?” tanya lelaki itu.
“Aku ingin pulang.” Nira berjalan melewati lelaki itu.
Herdi mengejarnya. “Hey, kenapa pergi. Kamu mau pulang, aku antar.”
“Tidak usah Herdi. Nanti ibuku marah karena melihatmu.”
“Aku mengantarmu seperti biasa saja, sampai dekat pos.” Lelaki itu memohon dengan wajah penuh harap. Nira sampai tidak tega melihatnya. Hatinya seketika luluh oleh wajah tampan itu. Akhirnya Nira mengangguk, menerima tawaran lelaki itu.
Lelaki itu adalah Herdi Putra Lesmana, pacar Nira. Mereka sudah menjalin hubungan selama satu tahun. Pertemuan di sebuah kegiatan pagelaran mahasiswa membuat mereka saling menyimpan rasa. Herdi yang tampan dan ramah memang mudah membuat Nira atau wanita mana pun jatuh hati. Namun, sikap cuek Herdi jika tidak bertemu, membuat Nira selalu dibuat cemas akan dirinya. Meski sering kesal dan marah, tapi saat bertemu dengan Herdi membuat kesal dan marah itu seketika sirna dari hatinya. Entah mengapa Herdi selalu memberi kesejukan di setiap kehadirannya.
Nira diantar Herdi dengan sebuah motor ninja merah. Setiap menaiki motor, Herdi selalu meminta Nira untuk memeluknya dengan erat. Dan Nira tak bisa menolaknya. Ia hanyut dalam kemesraan sesaat. Hingga ia sudah sampai di tempat tujuan, momen itu terasa sangat singkat untuk mereka berdua.
“Sudah sampai tuan Putri,” ucap Herdi sembari melihat wajah Nira di kaca spion. Nira ketahuan sedang fokus melihat Herdi di kaca Spion itu. Mereka saling berpandangan bermediakan kaca spion.
“Eh, iya.” Nira tersadar, ia lantas melepas pelukan dan segera turun dari motor. “Terima kasih, ya.”
“Iya, sama-sama.”
Herdi mendekatkan wajahnya ke wajah Nira, sangat dekat, hingga tersisa satu cm jarak antara mereka. Jantung Nira berdegup kencang, napasnya tertahan. Herdi sudah memejamkan matanya, Nira pun sama. Namun, Nira segera mengontrol diri dan langsung membuat jarak.
“Ekhm, aku pulang, ya, sampai jumpa.” Nira dengan ragu berjalan mundur dan kemudian melambaikan tangan kepada Herdi. Nira tersenyum ceria. Lambaian itu tidak dibalas Herdi. Ia langsung memakai helm dan melajukan motornya dengan cepat.
Nira tahu, kejadian itu pasti akan terjadi setiap kali dirinya menolak untuk menyambut cara romantis Herdi. Tapi Nira merasa, ia belum bisa melakukan itu. Dirinya tidak nyaman dengan cara Herdi yang seperti itu.
***
Setelah sampai di depan rumah, Nira melihat dua orang lelaki sedang menggedor-gedor rumahnya. Nira menerka-nerka, siapa mereka dan memiliki keperluan apa. Dengan hati-hati, Nira menghampiri mereka.
“Permisi, ada apa, ya, Pak?” tanya Nira. Dua lelaki itu langsung menengok ke sumber suara.
“Kamu pasti anak Bu Mirna Iryani, kan?” Dua lelaki itu balik bertanya pada Nira.
“Iya.” Nira mengangguk.
“Baik, ke mana Ibumu? Dia harus membayar utangnya. Ini sudah jatuh tempo,” ucap salah satu lelaki itu dengan tegas.
“Utang? Berapa utangnya?”
“Lima puluh juta.”
Mata Nira seketika membelalak mendengar besarnya utang tersebut. Gaji setahunnya saja tidak cukup untuk melunasi utang ibunya.
“Apakah benar ibu saya berutang sebanyak itu, Pak?”
“Iya, benar. Jadi tolong, bayar segera.”
“Tapi, ka-kami tidak punya uang sebanyak itu.”
“Utang ya harus dibayar!” Lelaki yang berada di dekat pintu memukul pintu dengan keras.
“Beri saya waktu untuk bisa mendapatkan uang sebanyak itu, Pak. Saya mohon.”
Kedua lelaki itu saling berpandangan. “Berapa lama?”
“Tiga bulan.”
“Hey, kau pikir kami ini temanmu? Lama sekali. Tapi baguslah, semakin lama, bunganya akan semakin besar.”
“Apa? Bunga?”
“Ya. Kami beri waktu satu minggu saja, jika kamu dan ibumu tidak membayar, kami sita rumah ini.” Mereka langsung pergi menyisakan kekhawatiran. Nira masih berdiri mematung, memandangi punggung kedua debt collector. Ia merasa tidak percaya bahwa ibunya bisa menggadaikan rumah.
Nira membuka pintu rumah dengan kunci yang dipegangnya. Ia masuk ke rumah dengan napas memburu. Ia mencari ibunya, ia yakin ibunya berada di dalam.
“Bu, bu!” teriak Nira.
Mirna keluar dari kamar dengan mengendap-endap. Takut-takut debt collector tadi masih ada di depan. Ia mengembuskan nafasnya karena merasa lega karena mereka sudah pergi.
Nira yang melihat Mirna langsung menghampirinya.
“Bu, apa benar ibu berutang lima puluh juta?” tanya Nira.
Seketika Mirna terkejut. “Iya, mengapa?”
“Bu, apakah gajiku selama ini yang dirampas oleh ibu tidak cukup untuk keperluan rumah? Sehingga ibu berani berutang dan menggadaikan rumah ini?” tanya Nira.
“Tentu saja tidak, bodoh! Kau pikir, aku bisa bahagia mendapat uang gajimu yang kecil? Urus saja utang itu olehmu. Kau yang harus membayarnya!”
“Tidak. Mengapa aku yang harus membayarnya?”
“Banyak tanya, ya, kau! Aku sudah mengurusmu sampai sebesar ini. Kamu tidak tahu balas budi, hah? Dasar anak tidak berguna!” Mirna menjambak rambut Nira dan membenturkan kepalanya ke dinding.
“Aw, sakit, Bu.” Nira merintih sembari memegangi kepalanya.
Tak cukup begitu, Mirna memukul wajah Nira berkali-kali. Nira tidak sekalipun membalas atau menangkis pukulan tersebut. Ia hanya bisa menangis dan menerimanya. Ia tidak mau menyakiti ibunya sendiri
“Bu, cukup, Bu,” ucap Nira dengan suara lemas. Wajahnya sudah lebam, hidung dan mulutnya berdarah. Mirna melayangkan pukulan terakhirnya kepada Nira tanpa iba, dan seketika Nira jatuh pingsan.
***
Bersambung