Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Upacara sunyi di balik pagar

“Selamat datang di sangkar, Tuan Arsitek,” gema suara Elena di benak Samudra saat ia membuka mata.

*

Kepalanya berdenyut. Bukan karena minuman, tapi karena badai emosi semalam. Ia mengerjap, pandangannya menyapu sekeliling. Bukan kamarnya. Jauh lebih mewah, lebih megah. Dinding berpanel kayu gelap dengan ukiran rumit. Jendela tinggi berbalut gorden beludru tebal. Ranjang berkanopi yang ia tiduri terasa terlalu empuk, terlalu asing. Aroma lavender dan kayu cendana mengisi udara, kontras dengan bau amarah yang masih membakar di dadanya.

Samudra bangkit duduk. Pakaiannya. Bukan piama. Ia mengenakan setelan pengantin berwarna navy gelap, kemeja putih bersih dengan dasi kupu-kupu yang terpasang rapi. Semalam, ia hanya ingat menendang pintu, berteriak, lalu menandatangani tumpukan kertas neraka itu. Ia tertidur dalam kemarahan, dan seseorang… Elena, pastilah, yang mengganti pakaiannya. Rasa jijik merayapi kulitnya. Ia merasa seperti boneka yang dimainkan.

Ia melangkah ke cermin panjang. Wajahnya pucat, mata merah, namun setelan itu entah bagaimana memberinya aura yang berbeda. Bukan lagi Samudra yang berantakan, melainkan Samudra yang siap menghadapi medan perang.

Ironi itu mencekik. Hari pernikahannya yang sesungguhnya sudah hancur. Ini adalah pernikahan kedua, yang bahkan belum dimulai, dan sudah terasa mati.

Pintu terbuka pelan. Seorang pelayan wanita muda, dengan seragam hitam rapi dan wajah tanpa ekspresi, masuk. Ia membawa nampan berisi kopi hitam pekat dan roti panggang.

“Nona Elena meminta Anda untuk segera bersiap, Tuan Samudra. Notaris akan tiba dalam lima belas menit,” ucap pelayan itu, suaranya datar.

Samudra tidak menjawab.

Ia hanya mengangguk kaku. Pelayan itu meletakkan nampan di meja kecil, membungkuk sedikit, lalu pergi tanpa sepatah kata pun. Keheningan kembali merayap, kali ini lebih berat.

Ia menyesap kopi.

Pahit.

Seperti hidupnya sekarang. Ia memandangi setelan pengantinnya lagi. Ini adalah seragamnya, bukan pakaian perayaan. Seragam untuk pertempuran yang baru saja ia mulai.

Balas dendam.

Karier.

Nama. Itu saja.

Cinta? Itu sudah menjadi lelucon murahan.

Lima belas menit terasa seperti seabad. Tepat saat ia selesai menghabiskan kopi, pintu kembali terbuka. Kali ini, Elena.

Ia berdiri di ambang pintu, mengenakan gaun putih gading yang sederhana namun elegan. Rambutnya disanggul tinggi, wajahnya dipoles riasan tipis, menonjolkan fitur tajamnya. Ia tampak tenang, anggun, dan berkuasa. Tidak ada senyum. Tidak ada kehangatan. Hanya tatapan mata yang dingin, menilai.

“Sudah siap, Tuan Arsitek?” tanyanya, suaranya rendah dan tenang, seperti danau yang permukaannya tampak diam namun menyimpan kedalaman yang tak terduga.

Samudra mengepalkan tangan di samping tubuhnya. Ia benci cara Elena memanggilnya. Ia benci dominasi yang terpancar dari setiap gerak-geriknya. Tapi ia juga tahu, ia tak punya pilihan.

“Siap untuk apa? Upacara pengorbanan?” Samudra membalas, mencoba menyembunyikan getaran dalam suaranya.

Elena tidak bereaksi. Ia hanya mengangkat satu alis.

“Siap untuk melaksanakan apa yang sudah kau tandatangani. Jangan drama. Kita tidak punya waktu.”

Ia berbalik, melangkah keluar dari kamar.

Samudra mengikutinya. Langkahnya berat, seolah setiap pijakan menyeretnya lebih dalam ke dalam jurang yang ia gali sendiri.

Mereka berjalan menyusuri koridor panjang yang dihiasi lukisan-lukisan klasik. Tidak ada percakapan. Keheningan itu sendiri adalah bentuk komunikasi, menegaskan siapa yang berkuasa. Samudra menatap punggung Elena. Wanita ini.

Ratu Gelap. Ia telah menjual dirinya padanya.

Mereka tiba di sebuah ruangan kecil yang Samudra duga adalah perpustakaan mini atau ruang baca. Jendela besar menghadap ke taman yang rimbun. Di tengah ruangan, sebuah meja kayu mahoni besar. Di baliknya, seorang pria paruh baya berkacamata tebal, notaris, sedang mengatur dokumen.

Dua pelayan lain berdiri di sudut ruangan, wajah mereka sama-sama tanpa ekspresi. Saksi-saksi bisu.

Notaris itu bangkit, membungkuk hormat pada Elena.

“Nona Elena, Tuan Samudra. Kita bisa mulai.”

Elena mengangguk.

Ia duduk di salah satu kursi, memberi isyarat pada Samudra untuk duduk di sebelahnya. Jarak di antara mereka, meskipun dekat, terasa seperti jurang tak berdasar.

Notaris mulai membaca. Bukan janji suci yang mengharukan, melainkan pasal demi pasal. Syarat demi syarat yang sudah Samudra tandatangani semalam.

Tentang kerahasiaan. Tentang ketaatan. Tentang pembagian keuntungan. Pernikahan ini, yang seharusnya sakral, adalah sebuah transaksi bisnis yang dingin.

Samudra mendengarkan, setiap kata menusuknya. Ini bukan pernikahan impiannya. Tidak ada Anya. Tidak ada senyum bangga dari orang tua. Tidak ada kilatan kamera media. Hanya keheningan yang mematikan, diselingi suara notaris yang monoton.

Ini adalah pernikahan siri, rahasia, tak terdaftar secara publik. Sah di mata agama, tapi tak berjejak di mata dunia. Sempurna untuk Elena. Neraka bagi Samudra.

Ketika notaris sampai pada bagian sumpah, Samudra merasakan pahit di lidahnya.

“Saudara Samudra, apakah Anda menerima Nona Elena sebagai istri Anda, dalam kontrak yang telah disepakati, untuk satu tahun ke depan?”

Samudra menelan ludah. Ia melirik Elena. Wanita itu menatap lurus ke depan, seolah tidak peduli dengan jawabannya.

“Ya,” Samudra berucap, suaranya serak. Hanya dua huruf, tapi terasa seperti ia baru saja menjual jiwanya.

Giliran Elena.

“Nona Elena, apakah Anda menerima Saudara Samudra sebagai suami Anda, dalam kontrak yang telah disepakati, untuk satu tahun ke depan?”

Elena menoleh ke Samudra sejenak. Mata hitamnya berkilat tajam.

“Ya,” katanya, tanpa emosi, tanpa jeda. Seolah ia baru saja menyetujui kesepakatan bisnis yang lain.

Notaris tersenyum tipis, lalu meminta mereka bertukar cincin. Sebuah cincin perak polos untuk Samudra, dan cincin emas putih sederhana untuk Elena. Tidak ada berlian, tidak ada ukiran mewah. Hanya simbol sebuah ikatan yang rapuh dan fungsional.

Samudra mengulurkan tangan. Elena meletakkan cincin itu di jarinya. Dingin. Tangannya tidak bergetar. Samudra melakukan hal yang sama pada Elena. Ia merasakan sentuhan dingin logam itu, bukan kehangatan janji.

“Dengan ini, saya menyatakan kalian berdua sah sebagai suami istri secara agama dan adat, sesuai dengan perjanjian yang telah ditandatangani,” kata notaris, lalu ia menutup dokumennya.

Samudra menatap cincin di jarinya. Sebuah lingkaran tanpa awal dan akhir, namun diukir dengan batas waktu satu tahun. Ini adalah pernikahannya. Ini adalah balas dendamnya. Ia harus membenamkan semua emosi, semua rasa malu, semua kemarahan. Hanya ada satu jalan ke depan: fokus pada tujuan.

Hancurkan Wisnu. Raih Megalith. Selamatkan namanya.

Notaris memberi isyarat terakhir, sebuah formalitas yang kosong.

“Tuan Samudra, Anda bisa mencium mempelai wanita.”

Samudra tertegun. Ciuman? Setelah semua ini? Setelah kekosongan ini? Sebuah kilasan bayangan Anya terlintas di benaknya, namun ia segera mengenyahkannya. Ini adalah bagian dari ‘pertunjukan’. Sebuah formalitas. Sebuah simbol yang bahkan dalam kesunyian ini harus dipenuhi. Mungkin untuk mengukir realitas baru ini ke dalam jiwanya.

Ia menoleh ke Elena. Wanita itu masih duduk tegak, tanpa ekspresi. Samudra menarik napas. Ia mendekatkan wajahnya. Ia melihat mata Elena. Mata itu tidak berkedip. Tidak ada perlawanan. Tidak ada sambutan. Hanya kekosongan yang membekukan.

Samudra memejamkan mata, memaksakan diri. Bibirnya hampir menyentuh bibir Elena, tetapi tiba-tiba, sebuah tangan terulur cepat. Jemari dingin Elena mendarat di dahinya, menghentikan gerakannya. Sebuah tembok tak terlihat, namun kokoh.

“Jangan sentuh,” bisik Elena, suaranya tajam, memutus setiap benang ilusi. Matanya menatap Samudra tanpa ampun.

“Kontrak kita tidak melibatkan drama percintaan, hanya jaringan.”

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel