Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Negosiasi Sang Ratu Gelap

“Aku butuh nama Ayahmu dan jaringanmu. Nikahi aku.”

Elena tidak bergeming. Matanya yang dingin menatap Samudra dari ujung kaki hingga kepala. Tidak ada keterkejutan, hanya penilaian tajam. Alarm rumah masih meraung-raung, memekakkan telinga, tapi Elena seolah tak mendengarnya. Ia berdiri di tengah ruangan, gaun sutra hitamnya membalut tubuh rampingnya dengan sempurna, kontras dengan Samudra yang berantakan, basah oleh keringat, dan penuh amarah yang tumpah ruah.

“Kau yakin, Tuan Arsitek?” Suaranya rendah, nyaris berbisik, namun menembus raungan alarm. Ada nada geli yang samar, menghina di sana.

“Dengan penampilan dan tingkah laku seperti ini, kau ingin mengusulkan pernikahan?”

Samudra mengepalkan tangan.

Malu.

Tapi amarah jauh lebih besar.

“Aku tidak datang untuk sopan santun. Pernikahanku dibatalkan. Karirku hancur. Aku butuh namamu. Aku butuh kekuasaanmu. Aku butuh itu, sekarang.”

Elena mengangkat satu alis. Perlahan, ia berjalan mendekati panel dinding, menekan tombol. Raungan alarm seketika terhenti, digantikan keheningan yang lebih menusuk daripada suara bising tadi. Keheningan itu menekan, memperkuat dominasi Elena.

“Kau terdengar seperti anak kecil yang merengek permen, Samudra,” kata Elena, menunjuk sofa kulit mahal di dekatnya.

“Duduk. Mari kita bicara bisnis.”

Samudra sempat ragu. Harga dirinya memberontak. Tapi ia tahu ia tak punya pilihan. Ia adalah pria yang baru saja dipermalukan di depan seluruh Jakarta. Ia duduk, tubuhnya kaku, matanya tetap menyala menatap Elena.

Elena tidak duduk bersamanya. Ia berdiri, bersandar pada meja marmer, melipat tangannya di depan dada. Posturnya tenang, namun memancarkan aura kekuasaan yang tak tergoyahkan.

“Jadi, kau ingin menikahiku. Untuk apa? Kartu nama? Akses ke lingkaran elit yang bahkan takkan melirikmu setelah skandal hari ini?”

“Aku punya proyek. Proyek Megalith. Aku punya visi. Aku punya kemampuan. Aku hanya butuh nama untuk membersihkan jalan,” Samudra membalas, mencoba terdengar percaya diri, namun suaranya bergetar.

Elena terkekeh pelan.

Bukan tawa yang ramah, melainkan sinis.

“Visi dan kemampuanmu tidak ada artinya jika kau tidak punya panggung. Dan panggungmu baru saja dihancurkan oleh seorang wanita muda yang lebih memilih rivalmu. Ironis, bukan?”

Pipi Samudra memerah. Setiap kata Elena adalah cambukan.

“Itu bukan urusanmu.”

“Tentu saja itu urusanku,” sahut Elena, suaranya naik satu oktaf, tanpa ada amarah, hanya otoritas.

“Jika kau ingin menikahiku, semua urusanmu adalah urusanku. Terutama yang memengaruhi namaku.”

Ia melangkah ke arah Samudra, berhenti tepat di depannya. Aroma parfum mahal, tajam dan dingin, menyergap indra Samudra.

“Baiklah, Samudra. Aku akan mempertimbangkan usulan gilamu ini. Tapi jangan kira kau akan mendapatkan pernikahan romantis yang kau impikan.”

Elena berbalik.

“Ikut aku.”

Ia berjalan menuju sebuah pintu tersembunyi di balik rak buku, yang Samudra tidak sadari keberadaannya. Ruangan itu tampak seperti perpustakaan pribadi, dengan rak-rak tinggi yang penuh buku kuno dan modern, serta sebuah meja kerja besar dari kayu gelap di tengahnya. Lampu redup menyinari ruangan, menciptakan suasana intim sekaligus mengintimidasi.

“Ini ruang kerjaku. Tempat di mana keputusan penting dibuat, dan rahasia disimpan,” Elena menjelaskan, matanya menatap Samudra, menantang.

“Di sini, kita akan membahas ‘pernikahan’ kita.”

Samudra merasa seperti bidak catur yang baru saja dipindahkan. Ia duduk di kursi yang ditunjuk Elena, sebuah kursi kulit yang terasa terlalu empuk, seolah sengaja dirancang untuk membuat seseorang merasa nyaman namun rentan. Elena duduk di kursi mejanya, di balik meja besar, menempatkan dirinya pada posisi kekuasaan.

Elena mengeluarkan selembar kertas dan pena bertinta emas.

“Baiklah, Samudra. Mari kita buat ini jelas. Aku tidak membutuhkan suami. Aku membutuhkan… sebuah perisai. Sebuah tameng untuk menutupi rumor konyol yang mulai beredar tentang warisan mendiang suamiku. Dan, secara kebetulan, aku bisa menggunakan seorang pria muda yang ambisius untuk mengelola beberapa aset yang terlalu kecil untuk kuperhatikan, tapi terlalu besar untuk dibiarkan.”

“Perisai?” Samudra bertanya, jijik.

“Tepat sekali,” Elena mengangguk.

“Jadi, ini syarat-syaratku. Dengarkan baik-baik. Ini bukan negosiasi. Ini adalah pengumuman.”

Samudra menelan ludah. Ia tahu ia harus mendengarkan.

“Pertama,” Elena memulai, suaranya datar, tanpa emosi.

“Pernikahan ini bersifat kontrak. Satu tahun. Setelah satu tahun, kita bisa memutuskan untuk memperpanjang, atau membatalkannya. Tanpa drama, tanpa tuntutan emosional.”

“Satu tahun?”

“Ya. Satu tahun. Cukup waktu untuk melindungiku dari rumor dan cukup waktu untuk memulihkan reputasimu. Selama itu, pernikahan ini akan sepenuhnya tersembunyi. Tidak ada upacara publik. Tidak ada pengumuman media. Tidak ada yang tahu, kecuali kita berdua, dan beberapa orang kepercayaanku yang akan menandatangani perjanjian kerahasiaan.”

“Bagaimana dengan proyekku? Bagaimana aku bisa membersihkan namaku jika tidak ada yang tahu aku menikahimu?” Samudra bertanya, protes.

Elena tersenyum tipis, senyum predator.

“Itu bagian dari ‘permainan’, Samudra. Kau akan membersihkan namamu dengan bekerja keras, menggunakan koneksi yang kuberikan, dan membuktikan bahwa kau bukan pria yang rapuh. Kau akan tetap tampil sebagai arsitek lajang yang fokus pada karier. Ini akan membuat mereka penasaran, dan itu lebih efektif daripada pengumuman murahan.”

Samudra terdiam. Ia tidak suka itu. Ia ingin memamerkan kekuasaannya. Tapi ia tahu, Elena benar.

“Kedua,” Elena melanjutkan, tanpa memberi Samudra kesempatan untuk bicara.

“Ketaatan penuh. Kau akan melakukan apa pun yang aku perintahkan, tanpa pertanyaan. Aku adalah kepala rumah tangga ini, dan kau adalah… mitra kerjaku. Dalam segala hal. Termasuk urusan bisnis dan sosial. Jika aku memintamu muncul di suatu acara, kau muncul. Jika aku memintamu diam, kau diam. Jika aku memintamu menyingkirkan seseorang, kau menyingkirkannya. Jelas?”

Samudra merasa darahnya mendidih. Ketaatan penuh? Ia tidak pernah tunduk pada siapa pun. Ia adalah Samudra, arsitek ambisius, bukan pesuruh.

“Aku tidak akan menjadi anjing peliharaanmu.”

“Kau tidak akan menjadi apa-apa jika kau menolak,” Elena membalas, suaranya menajam.

“Ini bukan tawaran. Ini adalah kondisiku. Kau mau, atau kau kembali ke kehancuranmu sendiri.”

Ia mencondongkan tubuh sedikit.

“Dan sebagai imbalannya, kau akan mendapatkan akses tak terbatas ke jaringanku. Aku akan memperkenalkanmu pada orang-orang yang bisa membuat atau menghancurkan kariermu. Aku akan memberimu kartu nama mereka, dan mereka akan tahu bahwa kau… di bawah perlindunganku. Ini adalah kartu liar yang tidak akan pernah kau dapatkan dengan cara lain. Tapi ingat, setiap koneksi yang kuberikan adalah utang. Utang yang harus kau bayar kembali.”

Samudra menatapnya. Ia membenci setiap kata yang keluar dari bibir wanita ini, namun ia juga tahu setiap kata itu benar. Ia dipecundangi. Dipermalukan. Ia tidak punya apa-apa.

“Apa jaminanku bahwa kau akan menepati janjimu?” Samudra bertanya, mencoba membalikkan keadaan.

Elena tertawa kecil.

“Jaminanku? Namaku, Samudra. Namaku adalah hukum di kota ini. Jika aku mengatakan sesuatu, itu terjadi. Lagipula, apa yang bisa kau lakukan jika aku ingkar? Kau tidak punya apa-apa untuk melawanku.”

Samudra mengepalkan tangannya. Ia ingin memukul meja itu. Ia ingin berteriak. Tapi ia tidak bisa. Ia terjebak.

“Ada satu hal lagi,” Elena berkata, menatapnya, “mengenai proyek Megalith-mu yang sangat kau banggakan itu.”

Samudra menatapnya, curiga.

“Ada apa?”

“Jika, dan hanya jika, proyek itu berhasil, kau harus menyerahkan dua puluh persen dari total keuntungan net untuk aset keluarga yang tidak bisa kuakses secara langsung. Anggap saja itu adalah biaya ‘jasa’ dan ‘kerahasiaan’ yang kuberikan padamu,” Elena menjelaskan.

“Ini akan menjadi salah satu syarat dalam perjanjian pra-nikah kita.”

Dua puluh persen. Jumlah yang sangat besar. Samudra merasa perutnya mual. Ia akan bekerja keras, dan sebagian besar hasilnya akan disedot oleh wanita ini.

“Itu tidak adil!” Samudra akhirnya meledak.

“Aku yang akan membangunnya! Aku yang akan bekerja!”

“Dan aku yang akan membuka jalan. Aku yang akan memberimu panggung. Tanpa aku, kau tidak akan punya apa-apa,” Elena membalas, suaranya tenang, namun penuh kekuatan.

“Pilihannya sederhana, Samudra. Nol persen dari nol, atau delapan puluh persen dari miliaran. Keputusan ada padamu.”

Samudra menatap tangannya. Gemetar. Ia bisa merasakan air mata mendesak di matanya, bukan karena sedih, tapi karena marah dan frustrasi yang luar biasa. Ia adalah Samudra, arsitek brilian, tapi sekarang ia hanya seorang pria yang harga dirinya diinjak-injak.

Tiga jam berlalu dalam neraka negosiasi satu arah itu. Elena tak bergeming. Setiap argumen Samudra dipatahkan dengan logika dingin dan kekuasaan tak terbatas. Elena memberinya dokumen. Perjanjian pra-nikah setebal buku, dengan syarat-syarat yang mengikat Samudra seperti rantai tak terlihat. Setiap kalimat adalah pengingat akan ketidakberdayaannya.

Akhirnya, Samudra mengambil pena.

Tangannya gemetar hebat. Ia menatap Elena. Wanita itu masih menatapnya, tanpa emosi, hanya menunggu.

Dengan tarikan napas panjang, Samudra membubuhkan tanda tangannya di atas kertas. Di setiap halaman. Di setiap klausul yang mengikatnya. Ia menjual dirinya. Jiwanya. Demi balas dendam. Demi kariernya.

Elena mengambil dokumen itu, membolak-baliknya sejenak, lalu menyimpannya rapi. Sebuah senyum tipis, misterius, terukir di bibirnya yang merah.

“Selamat datang di sangkar, Tuan Arsitek.”
Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel