Hari Yang Seharusnya Indah
Mentari pagi menembus celah gorden sutra, menerpa wajah Samudra. Hari ini, hari pernikahannya. Ia bangkit dari ranjang, langkahnya ringan, hatinya bergemuruh. Jam tangannya menunjukkan pukul tujuh pagi. Masih ada beberapa jam sebelum ia harus berdiri di altar, menunggu Anya, calon istrinya. Senyum tipis mengembang di bibirnya. Semua sempurna. Karier arsiteknya melesat, proyek multi-miliar yang ia garap sedang di ambang persetujuan akhir, dan sebentar lagi, ia akan menikahi wanita impiannya.
Ponselnya bergetar pelan di meja nakas. Pesan masuk. Dari Anya. Samudra meraihnya, jantungnya berdebar, mengira itu pesan manis sebelum hari besar mereka. Namun, yang muncul di layar bukan kata-kata cinta. Itu sebuah foto.
Fotonya buram, diambil dari sudut pandang yang ganjil, tapi cukup jelas. Anya. Calon istrinya. Berdiri di bandara. Bukan bandara Jakarta, jelas sekali. Latar belakang menunjukkan papan keberangkatan internasional. Di sampingnya, merangkul pinggangnya dengan posesif, berdiri Wisnu. Rival bebuyutannya. Senyum licik terukir di wajah Wisnu, sementara Anya, wajahnya terlihat malu-malu, tapi jelas bahagia.
Dunia Samudra runtuh. Tidak, lebih dari itu. Dunia itu meledak jadi jutaan kepingan, serpihannya menusuk ulu hatinya. Jemarinya gemetar. Ia membaca teks di bawah foto itu. Singkat. Menghancurkan.
“Maaf, Samudra. Aku tidak bisa. Wisnu dan aku sudah di Bali. Pernikahan dibatalkan.”
Hanya itu. Tiga baris kalimat, diakhiri titik, seolah itu adalah pemberitahuan rapat biasa. Nafas Samudra tercekat. Udara di ruangan itu mendadak menipis. Ini lelucon. Pasti lelucon. Ia menggeleng, matanya menyapu sekeliling, mencari kamera tersembunyi. Tidak ada. Hanya kamar mewah yang kini terasa dingin, kosong, dan mengejek.
Ia mencoba menelepon Anya. Tidak diangkat. Pesan WhatsApp-nya hanya tercentang satu. Wisnu. Ia mencoba menghubungi Wisnu. Nomornya tidak aktif.
Pernikahan dibatalkan. Beberapa jam lagi, ratusan tamu penting akan berkumpul. Media, yang sudah diundang secara eksklusif, akan meliput setiap detiknya. Kontrak proyek terbesar dalam hidupnya, yang bergantung pada citra sosialnya yang sempurna, akan hancur lebur. Martabatnya. Namanya. Masa depannya. Semuanya.
Hanya karena tiga baris pesan singkat dan satu foto murahan.
Samudra terduduk di tepi ranjang. Pikirannya kosong, lalu mendidih. Marah. Malu. Ia ingin berteriak, merobek baju pengantin yang sudah disiapkan, menghancurkan semua yang ada di ruangan itu. Tapi ia tak bisa bergerak. Tubuhnya kaku, lumpuh oleh pengkhianatan yang begitu kejam, begitu publik.
Pukul sepuluh pagi. Tamu-tamu mulai berdatangan di Grand Ballroom hotel bintang lima tempat pernikahannya akan digelar. Karangan bunga menjulang tinggi. Cahaya kristal berbinar. Musik orkestra mengalun lembut. Semua orang tersenyum, berbisik tentang pasangan muda yang sempurna.
Samudra masih di kamarnya. Manajernya, Pak Arman, mengetuk pintu dengan panik.
“Samudra, kau sudah siap? Media sudah di lokasi. Mereka bertanya-tanya.”
Samudra hanya menatap pantulan dirinya di cermin. Wajahnya pucat, matanya merah. Ini bukan dirinya. Ini adalah pria yang baru saja dicampakkan, yang seluruh hidupnya akan jadi bahan ejekan.
Ia membuka pintu. Pak Arman terkesiap.
“Ada apa, Samudra? Kau sakit?”
“Pernikahan dibatalkan,” ucap Samudra, suaranya serak. Ia menatap Arman, mencari jejak keraguan, tapi ekspresi Arman hanya berubah dari bingung menjadi terkejut, lalu panik total.
“Apa? Dibatalkan? Bagaimana bisa? Anya… dia tidak datang?” Arman tergagap.
Samudra mengangguk.
“Dia sudah pergi. Dengan Wisnu.”
Wajah Arman mengeras. Ia tahu betul siapa Wisnu. Rival bisnis Samudra yang paling sengit.
“Astaga. Ini… ini akan jadi bencana. Proyek Megalith… citramu…”
Samudra tahu. Ia tahu persis. Kehancuran ini bukan hanya hati, tapi juga dompet. Dan reputasi.
Dengan langkah berat, Samudra berjalan menuju ballroom. Ratusan pasang mata menatapnya. Bisikan-bisikan riuh mereda menjadi keheningan total. Kamera-kamera mulai berkedip. Ia melihat ibunya, wajahnya kebingungan. Ayahnya, rahangnya mengeras. Para kolega bisnis, pandangan mereka penuh pertanyaan dan kasihan.
Ia berdiri di depan altar yang dihiasi bunga-bunga putih, tempat yang seharusnya menjadi saksi sumpah setianya. Suara mikrofon berdesir. Samudra menarik napas panjang.
“Hadirin sekalian,” suaranya bergetar, tetapi ia memaksakan diri.
“Dengan berat hati saya memberitahukan… pernikahan hari ini… dibatalkan.”
Ledakan bisikan memenuhi ruangan. Kamera berkedip lebih cepat. Seseorang di barisan depan berteriak,
“Ada apa, Samudra? Di mana Anya?”
Samudra tidak menjawab. Ia hanya menunduk, menahan air mata yang mendesak. Rasa malu itu menjalar, membakar setiap inci kulitnya. Ia bukan lagi arsitek muda yang ambisius, yang disegani. Ia hanya seorang pria yang dipermalukan di depan umum.
Ia merasakan dirinya hancur berkeping-keping.
Sore itu, kota Jakarta terasa dingin dan kejam. Berita pembatalan pernikahannya sudah tersebar luas. Foto Anya dan Wisnu di bandara sudah jadi headline utama di semua media online. Komentar-komentar pedas, ejekan, dan caci maki membanjiri lini masa. Proyek multi-miliar yang ia harapkan, kini di ambang pembatalan. Reputasinya, karirnya, semuanya ludes.
Ia mengemudikan mobilnya tanpa tujuan. Otaknya kosong, kecuali satu pikiran: balas dendam. Dan bagaimana caranya menyelamatkan apa yang tersisa dari hidupnya. Ia butuh koneksi. Ia butuh nama besar. Nama yang bisa membungkam media, mengamankan proyek, dan menghancurkan Anya serta Wisnu. Ia butuh seseorang yang berada di atas segalanya, di luar jangkauan skandal murahan ini.
Elena.
Janda penguasa yang dijuluki ‘Ratu Gelap’. Wanita yang menguasai separuh jaringan sosialita dan bisnis Megapolitan. Wanita yang kekuasaannya tak bisa digoyahkan. Wanita yang, konon, bisa membuat apa pun terjadi.
Mobilnya melaju kencang, membelah lalu lintas sore yang padat. Amarah itu bergelora, membakar rasa malunya. Ia tak punya pilihan lain. Harga dirinya sudah tak ada artinya. Ia harus berjuang.
Samudra sampai di gerbang kediaman megah Elena. Gerbang besi tempa yang menjulang tinggi, dihiasi ukiran naga, seolah memperingatkan siapa pun yang berani mendekat. Ia menekan klakson berkali-kali, kasar, tidak sabar. Satpam yang berjaga keluar, terkejut.
“Maaf, Tuan. Anda tidak punya janji.”
“Singkirkan gerbang ini!” teriak Samudra, suaranya penuh amarah.
“Aku tidak butuh janji!”
Satpam itu ragu. Samudra tidak menunggu. Ia menginjak pedal gas, mobilnya melaju kencang, menabrak pintu gerbang besi itu dengan suara memekakkan telinga. Gerbang itu terbuka paksa, meninggalkan penyok besar dan engsel yang patah. Samudra tidak peduli. Ia menginjak gas lagi, mobilnya melaju langsung ke pintu utama rumah besar itu.
Ia keluar dari mobil, wajahnya merah padam. Tanpa mengetuk, ia menendang pintu kayu ukiran yang megah itu hingga terbuka lebar, mengabaikan suara bel alarm yang langsung berbunyi nyaring.
Ia melangkah masuk, keheningan rumah itu seolah mengejek kekacauan di hatinya. Di tengah ruang tamu yang luas, seorang wanita berdiri. Anggun, tenang, mengenakan gaun sutra hitam. Rambutnya disanggul rapi, matanya menatap Samudra dengan dingin, tanpa ekspresi apa pun. Elena.
Samudra menatapnya, matanya menyala. Ia tidak punya apa-apa lagi untuk kehilangan.
“Aku butuh nama Ayahmu dan jaringanmu,” ucapnya, suaranya parau tapi tegas. “Nikahi aku.”