Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Kontrol media dan ruang tersumbat

Elena menarik tangannya dari dahi Samudra, seolah sentuhan itu membakar. "Kontrak kita tidak melibatkan drama percintaan, hanya jaringan."

Suaranya sedingin es yang memecah kesunyian ruangan. Samudra menarik napas tajam. Hatinya mencelos. Bukan karena penolakan ciuman itu sendiri, tapi karena betapa telak setiap kata Elena menghantam harga dirinya.

Ia adalah seorang pria yang baru saja diikat, dilepaskan dari satu sangkar hanya untuk masuk ke sangkar yang lain, lebih mewah, lebih mengintimidasi.

Notaris itu mengemasi berkas-berkasnya dengan canggung. Suara kertas bergesek terasa nyaring dalam keheningan yang menyesakkan. Dua pelayan di sudut ruangan masih membeku, tatapan mereka kosong, seolah mereka tidak melihat apa pun, tidak mendengar apa pun.

Hanya robot yang terlatih sempurna. Elena menatap Samudra, matanya tak menunjukkan emosi, hanya kekuasaan yang tak terbantahkan.

"Ikut aku," katanya, lalu berbalik dan melangkah pergi tanpa menunggu jawaban.

Samudra mengikutinya, langkahnya kaku. Sepatu kulitnya bergesekan di lantai marmer, menciptakan suara pelan yang terasa begitu bising. Mereka menyusuri koridor panjang yang dihiasi lukisan-lukisan klasik, melewati pintu-pintu berukiran indah, hingga tiba di ujung sayap yang Samudra belum pernah lihat.

Elena membuka sebuah pintu ganda dari kayu gelap yang nyaris tak terlihat, menyatu sempurna dengan panel dinding. Di baliknya, bukan ruang keluarga yang hangat, bukan kamar tidur yang nyaman, melainkan sebuah ruangan futuristik yang kontras tajam dengan arsitektur klasik rumah itu.

Dindingnya dipenuhi layar monitor LED berukuran besar, berkelip-kelip menampilkan data. Puluhan rekaman CCTV dari berbagai sudut kota terpampang jelas: jalan raya yang ramai, lobi hotel bintang lima, restoran mewah yang eksklusif, bahkan klub malam yang remang-remang. Di salah satu sudut, sebuah panel data menampilkan grafik dan angka-angka yang bergerak cepat, mungkin fluktuasi saham, pergerakan dana, atau data-data intelijen sosialita.

Di tengah ruangan, sebuah meja melengkung dengan keyboard dan mouse nirkabel. Dua pria berjas hitam duduk di sana, mata mereka terpaku pada layar, jari-jari mereka menari di atas keyboard dengan kecepatan luar biasa.

Mereka menoleh sejenak saat Elena masuk, membungkuk hormat, lalu kembali fokus pada pekerjaan mereka, tanpa sepatah kata pun.

"Selamat datang di pusat kendali," ucap Elena, suaranya tenang, namun penuh otoritas yang dingin. Ia melangkah ke arah salah satu monitor.

"Ini gudang dataku. Setiap gosip, setiap pergerakan, setiap transaksi mencurigakan di Megapolitan, terekam di sini."

Samudra menatap layar. Ia melihat wajah-wajah yang dikenalnya: pengusaha, politisi, selebriti papan atas. Dan kemudian ia melihatnya. Foto Anya dan Wisnu di Bali. Bukan hanya satu, tapi serangkaian foto, dari berbagai sudut, bahkan video pendek.

Sebuah kilatan amarah melintas di mata Samudra. Elena tahu semuanya. Ia tahu bahkan sebelum Samudra tahu. Ini bukan hanya jaringan koneksi, ini adalah jaringan mata-mata.

"Mereka pikir mereka bisa bersembunyi," Elena melanjutkan, menunjuk salah satu layar yang menampilkan Anya tertawa di tepi kolam renang, menikmati liburannya.

"Tapi tidak ada yang bisa bersembunyi dari mataku. Atau dari jaringanku."

Rasa dingin merayapi punggung Samudra. Kekuatan Elena bukan hanya tentang koneksi dan uang, tapi juga informasi. Ini adalah sebuah kerajaan pengawas yang tak terlihat, membentang di seluruh kota.

Dunia ini jauh lebih kotor, lebih manipulatif dari yang ia bayangkan.

"Bagaimana dengan kita?" Samudra bertanya, suaranya tercekat.

"Pernikahan kita. Apa kau juga merekamnya? Memantaunya?"

Elena menoleh, matanya menajam. "Tentu saja. Tapi untuk tujuan yang berbeda." Ia menunjuk sebuah server besar di sudut ruangan yang tertutup panel kaca tebal. Lampu indikatornya berkedip-kedip hijau.

"Semua jejak pernikahan kita, semua dokumen, semua rekaman, tersimpan rapi di sana. Terenkripsi, terisolasi. Tidak ada yang bisa mengaksesnya kecuali aku. Atau jika aku mengizinkan."

"Jadi, kau memastikan tidak ada yang tahu, tapi kau punya bukti lengkap jika ada yang berani membocorkannya?" Samudra menyimpulkan, nadanya pahit.

Elena tersenyum tipis. Senyum predator yang tak bisa ditebak.

"Tepat sekali. Kontrol, Samudra. Itu adalah kunci. Rumor tentang kita tidak akan pernah keluar. Tidak akan ada satu pun jurnalis yang berani menulisnya. Aku akan memastikan itu."

Ia lalu menoleh ke dua pria berjas itu.

"Pastikan semua artikel negatif tentang Tuan Samudra, semua spekulasi tentang pembatalan pernikahannya, dihapus atau ditenggelamkan dengan berita lain. Prioritaskan berita tentang skandal keuangan CEO perusahaan X. Dan pastikan tidak ada yang menghubungkannya dengan saya. Biarkan dia tetap menjadi arsitek lajang yang sedang berjuang sendirian."

Para pria itu mengangguk, jari-jari mereka bergerak cepat di atas keyboard. Samudra melihat wajahnya di beberapa portal berita online, lalu perlahan menghilang, digantikan oleh berita-berita lain yang lebih sensasional.

Dalam hitungan menit, jejak kehancurannya mulai terhapus dari dunia maya. Sebuah bukti nyata kekuatan Elena.

"Ini harga yang harus kau bayar," Elena berkata, menatap Samudra dengan tatapan menilai.

"Kebebasan bergerak di dunia luar, tanpa beban skandal. Tapi di dalam rumah ini, kau adalah bagian dari jaringanku. Kau bergerak sesuai aturanku."

Ia kemudian menjelaskan pengaturan tempat tinggal mereka.

"Mulai sekarang, kau akan tinggal di sayap barat. Terpisah dari sayapku. Jangan pernah masuk ke sayap timur tanpa izin. Itu adalah wilayah pribadiku. Kita akan makan terpisah, kecuali untuk acara-acara tertentu yang akan kuatur. Paham?"

"Aku tidak bisa tinggal di sini seperti tahanan," Samudra membalas, suaranya meninggi, mencoba menahan amarah yang mendidih.

"Aku butuh privasi."

Elena menatapnya dengan pandangan dingin yang menusuk.

"Privasi? Kau pikir siapa dirimu? Kau adalah pria yang datang ke sini dengan kehancuran, memohon bantuanku. Kau sudah menjual privasimu saat menandatangani kontrak itu, Samudra."

Ia melangkah mendekati Samudra, mencondongkan tubuhnya sedikit, membuat Samudra merasakan dominasinya.

"Kau akan memiliki ruang kerjamu sendiri, di sayap barat. Di sana kau bisa bekerja, merancang, menelepon. Tapi di luar itu, setiap langkahmu, setiap interaksimu, akan kuawasi. Ini bukan rumah, Samudra. Ini adalah benteng. Dan aku adalah komandannya."

Samudra mengepalkan tangannya. Ia ingin berteriak, memukul meja, menghancurkan sesuatu. Tapi ia tahu itu sia-sia. Ia terperangkap. Setiap sudut rumah ini, setiap layar, setiap mata, adalah pengingat akan kekuasaan Elena yang terkuat. Ia merasa tercekik. Udara di ruangan itu terasa menyesakkan, seolah oksigennya dihisap habis oleh kehadiran Elena.

Dua hari berlalu dalam sangkar emas itu. Samudra menghabiskan sebagian besar waktunya di sayap barat. Ruangan yang Elena sebut "ruang kerjanya" sebenarnya adalah sebuah studio arsitek yang sangat lengkap, jauh lebih mewah dari kantornya sendiri. Meja gambar besar dari kayu jati, komputer canggih dengan layar ganda, rak-rak buku teknis yang berisi arsitektur hingga filosofi. Elena tidak main-main dalam memberikan fasilitas. Tapi ruangan itu terasa dingin, kosong, dan tidak punya jiwa. Bukan miliknya.

Ia mencoba menghubungi beberapa koleganya. Mereka semua terkejut. Berita tentang pembatalan pernikahannya memang sudah mereda, ditenggelamkan oleh berita-berita lain yang lebih heboh, persis seperti yang Elena janjikan. Tapi bisik-bisik masih ada.

Beberapa koleganya menanyakan apakah ia baik-baik saja, yang lain hanya berbasa-basi, mencoba mengorek informasi. Ia harus berbohong, mengatakan ia sedang fokus pada proyek baru yang sangat rahasia, menyembunyikan kenyataan pahit bahwa ia kini adalah suami rahasia seorang Ratu Gelap.

Setiap kali ia keluar dari sayap barat, Samudra merasa mata-mata Elena mengawasinya. Para pelayan yang berjalan hilir mudik, dengan seragam hitam rapi dan wajah tanpa ekspresi, seolah tahu setiap gerakannya. Ia mulai mengasah observasinya.

Mencoba membaca ekspresi mereka, mencari celah dalam benteng tak terlihat ini. Ia memperhatikan jadwal para pelayan, rute patroli keamanan, bahkan kebiasaan Elena sendiri. Di mana ia makan, kapan ia berolahraga, jam berapa ia tidur. Ia mencari pola, mencari kelemahan, mencari cara untuk memahami mekanisme kekuasaan Elena.

Ia menyadari bahwa Elena jarang sekali terlihat di sayap barat. Keberadaannya terkonsentrasi di sayap timur, yang terlarang baginya, atau di ruang kendali rahasia yang ia kunjungi sekali. Itu memberi Samudra sedikit kelegaan dari tatapan langsung Elena, namun juga memicu rasa penasaran yang membara. Apa yang Elena lakukan di sana? Apa yang ia sembunyikan di balik benteng pribadinya yang tak bisa ditembus?

Suatu sore, Samudra sedang merapikan meja kerjanya. Semua perlengkapan arsitek, kertas sketsa, pena teknis, sudah tersusun rapi. Meja itu tampak baru, mengilap, seolah belum pernah digunakan. Namun, saat ia membuka salah satu laci di bawah meja, tangannya berhenti.

Laci itu terkunci.

Aneh sekali. Ruangan ini seharusnya baru disiapkan untuknya, semua barangnya baru. Mengapa ada laci yang terkunci? Samudra mengerutkan kening. Ia mencoba menariknya lagi, tapi laci itu kokoh, tidak bergerak sedikit pun. Rasa penasaran yang kuat menggerogoti. Ia mendekatkan hidungnya ke celah sempit di antara laci dan bingkainya. Sebuah aroma tipis tercium. Bukan aroma kayu baru, atau kertas. Itu bau tembakau. Kuat, tajam, seolah baru saja dihirup. Dan bercampur dengan parfum asing.

Bukan parfum Elena yang mahal dan dingin. Parfum ini lebih berat, lebih maskulin, tapi ada sentuhan floral yang aneh, manis namun misterius. Aroma itu sangat kuat, seolah laci itu baru saja dibuka beberapa saat yang lalu, dan isinya baru saja disentuh.

Siapa yang menggunakan laci ini sebelumnya? Mengapa terkunci sekarang? Dan parfum siapa itu?

Samudra menatap laci terkunci itu, hatinya dipenuhi pertanyaan baru yang tak terduga. Sebuah celah kecil di tembok kekuasaan Elena, sebuah bisikan dari masa lalu yang tersembunyi.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel