Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 8

Terdengar suara langkah hentak kaki yang begitu keras. Tiga orang yang tengah bersantai di ruang tamu sampai mengalihkan pandangan yang semula fokus menatap layar lebar di depannya.

"Sial banget!" maki Princess. Ia terus saja menghentak-hentakan kakinya kesal.

"Sayang, kamu kenapa?" Louis bertanya kepada putri tercintanya itu.

"Papa." Berlari menghampiri papanya dan langsung memeluk Louis yang sedang duduk di sofa itu.

Indry dan Prince saling melempar pandang satu sama lain. Mereka bingung dengan sikap Princess saat ini. Tidak biasanya gadis cantik berambut pirang itu kesal. Biasanya gadis itu akan selalu tersenyum dan berteriak heboh memberitahukan sudah pulang.

Namun, hari ini sangat berbeda sekali. Bukan hanya itu saja, tumbem sekali Princess pulang terlambat. Ini bahkan sudah hampir jam sembilan malam. Termasuk larut bukan?

Indry dan Louis tentu merasa sangat cemas. Pasangan suami istri itu berusaha untuk menghubungi sang anak, tetapi tak kunjung diangkat. Syukurnya, Prince anak laki-laki mereka bilang kalau kakaknya itu sedang mengerjakan tugas. Walau begitu, mereka tetap bingung.

Mereka sangat tahu kalau anak perempuannya itu sangat tidak suka berada di luar pada malam hari. Kalau ada tugas, anaknya itu akan mengerjakan di rumah atau teman-temannya pada ke rumah.

Princess mengeratkan pelukannya. Louis yang tahu kalau putrinya itu sedang dalam suasana hati yang tidak baik mulai mengelus-ngelus punggung Princess dengan lembut. "Sebenarnya apa yang sudah terjadi, sayang?" bertanya lirih.

Akhirnya pelukan keduanya mulai terlepas. Namun, sepertinya Princess tidak ingin turun dari pangkuan ayahnya itu. "Ada dosen baru yang begitu menyebalkan. Gara-gara dia, Incess jadi dapat hukuman." Bibir memberenggut kesal. Jika mengingat kejadian tadi, ingin sekali ia menghajar dosen baru itu habis-habisan. Dosen sialan!

Kedua alis Louis berkerut sempurna. "Benarkah? Jadi, putri papa yang cantik ini mendapatkan hukuman?"

Princess mengangguk mantap. "Iya Pa. Padahal semua itu bukan sepenuhnya salah Inces." Nada manja.

Prince yang melihat hal itu hanya bisa memutarkan bola matanya malas. Kakaknya itu memang sangat manja terlebih kepada sang papa. Lihatlah, wanita yang selalu menjadi teman adu mulutnya itu seperti anak kecil saja. Duduk di pangkuan papanya. Pasti papanya itu merasa keberatan menahan bobot tubuh sang kakak yang tidaklah ringan. Bisa Prince tebak kalau berat tubuh Princess sekitar lima puluh lima kg. Termasuk ukuran tubuh yang begitu berat. Untung saja sang kakak memiliki tinggi hampir seperti dirinyaa, kira-kira 168 cm lah. Jadi, kakaknya itu tidak termasuk gemuk, tapi berisi.

"Alah! Palingan lo nya aja yang nggak nyadar salah," celetuk Prince tiba-tiba.

"Prince, sopan dengan kakakmu. Panggil dia kakak!" ingatkan Indry. Indry jelas tidak suka kalau anak bungsunya itu memanggil Princess begitu tanpa embel-embel kakak.

"Males Ma. Kami hanya berbeda beberapa menit," tolak Prince cepat.

"HUH!" Hembusan nafas kasar lolos begitu saja dari bibir mungilnya. Indry merasa anak-anaknya itu tidak pernah menurut dengan perkataannya. Jangankan menurut, takut saja tidak. Kadang Indry heran, apakah benar mereka berdua itu anak kandungnya. Anak yang wajahnya tidak ada mirip dengannya. Melainkan sangat mirip dengan ayahnya.

Princess hanya menatap tajam sang adik yang duduk di samping ayahnya itu. Jika saja orang tuanya tidak ada di sini terutama ayahnya. Sudah ia pastikan akan melakban mulut adik sialannya itu.

Louis tersenyum tipis melihat interaksi anak-anaknya itu. "Sudahlah. Jangan menatap adikmu segitunya." Ingatkan Louis kepda Princess.

Prince dan Princess nama yang bisa dikatakan sedikit narsis. Nama itu diberikan oleh Indry sendiri. Indry bilang kalau ia ingin anaknya menjadi pangeran dan putri di masa depan. Sebagai seorang suami, Louis hanya bisa menerima semua keputusan istrinya itu. Lagipula memang anak-anaknya itu pantas dengan nama itu. Lihatlah, paras keduanya memang bak putri dan pangeran. Hanya sifatnya saja yang tidak.

"Iya Pa," sahut Princess tidak rela.

Di tempat lain.

Mentari tengah terisak dengan posisi wajahnya ditutup selimut. Setelah makan malam, ia bergegas naik ke kamarnya karena merasa tidak enak badan. Untungnya sang Mama paham dan tidak masalah kalau tidak dibantu membereskan piring kotor. Hanya saja, tidak dengan dua pria yang menatapnya sinis.

Bahkan Ken, papa angkatnya itu mengatakan hal menyakitkan untuknya.

"Hiks … hiks." Mentari terus saja terisak. Kepalanya benar-benar pusing. Suhu badannya juga hangat sedari berada di kampus tadi. Sepertinya ia kembali demam. Ditambah dengan menangis seperti ini semakin membuat pusingnya bertambah.

Masih teringat jelas perkataan Ken yang berkata, "Lebih baik memelihara seekor anjing daripada membesarkan anak pembunuh sepertimu. Anjing bahkan masih bisa berterima kasih kepada Tuan yang merawatnya. Tidak seperti kamu yang tidak tahu balas budi sama sekali."

Sakit. Teramat sakit. Dirinya yang seorang manusia ini disamakan dengan seekor anjing yang notabenya adalah hewan yang tidak mempunyai akal pikiran.

Belum lagi, perkataan Langit di kampus tadi juga begitu menyakiti hatinya. Ayah dan anak itu selalu sukses menyakiti hatinya dengan perkatan yang tajamnya melebihi pisau tertajam di dunia.

Cukup lama Mentari menangis. Hampir setengah jam lamanya. Ia sangat yakin kalau tidak ada siapa pun yang mendengar tangisannya ini mengingat semua orang pasti masih berada di ruang makan.

Kali ini memang mereka makan malam cukup larut karena harus menunggu Ken. Kebiasaan yang selalu dilakukan oleh keluarganya itu adalah menunggu kepala keluarga pulang dahulu sebelum makan malam. Bisa dikatakan kalau budaya makan bersama baik itu sarapan, dan makan malam sangat wajib di keluarga ini.

Rasa pusing yang mendera tak kunjung hilang malah semakin parah. Mentari memutuskan untuk tidur saja. Untuk makan obat hal itu tidak mungkin mengigat dirinya yang sepertinya tak mampu untuk sekedar bangkit mengambil obat yang terletak di meja kecil yang lumayan jauh dari tempat tidurnya itu.

Perlahan, tapi pasti. Akhirnya, Mentari mulai menutup matanya. Ia berharap rasa pusing itu akan hilang keesokan harinya.

***

Langit menaiki anak tangga dengan cepat. Pria itu seperti sangat tidak sabar untuk sampai di kamarnya.

Tepat berada di depan pintu kamar, Langit menghentikan langkahnya. Diurungkan niat awalnya untuk tidur cepat.

Entah apa yang tengah dipikirkan seorang Langit, pria beralis tebal itu mulai melangkah menuju kamar milik Mentari yang sudah ia yakini tidak dikunci sama sekali.

Cklek.

Benar dugaannya. Seorang Mentari mana berani melawan perintahnya. Ia tersenyum miring dan mulai masuk.

Bisa Langit lihat kalau sosok gadis yang paling dibencinya itu tengah tertidur.

"Dasar gadis pemalas tidak tahu diri. Dia itu memang tidak tahu malu sekali. Seharusnya menolong mama bukan malah berlagak seperti tuan putri," sinisnya.

Kakinya terus melangkah dan saat ini Langit sudah duduk di tepi ranjang.

Sekarang, sosok Mentari terlihat jelas di matanya.

Bayangan Prince yang begitu perhatian kepada sosok Mentari tiba-tiba terlintas di benaknya. Dan hal itu tentu membuat Langit emosi.

"Gadis murahan!" Mengepalkan tangannya kuat.

Tangannya terulur untuk menampar Mentari, tetapi diurungkan niatnya itu. Tangannya mengantung di udara.

"Sudahlah. Dia sedangt tidak sadar."

Sepertinya kali ini hati nurani seorang Langit bekerja. Terbukti dari ia yang mengurungkan niat jahatnya itu. Biasanya, ia tidak akan segan-segan untuk berlaku kasar kepada Mentari meski gadis itu tengah tertidur sekalipun.

Semua bekas luka yang ada di tubuh Mentari adalah ulahnya. Ulahnya sedari Mentari tinggal di rumahnya dan sang mama mengangkat menjadi anak.

Kira-kira sekitar lima belas tahun silam dan pada saat itu umurnya adalah enam tahun. Bayangkan seorang anak kecil sudah berlaku kasar kepada orang lain. Jelas, Ken dan Karina tidak tahu apa yang dilakukan oleh putra mereka.

Mereka mengenal sosok Langit sebagai anak yang baik hati dan begitu penurut kepada orang tua. Memang tidak salah sich anggapan keduanya itu. Hanya saja mereka tidak pernah tahu perlakuan anak mereka kepada Mentari yang malang. Bukan hanya berkata kasar, tetapi juga melakukan kekerasan fisik. Semua itu hanya dilakukan Langit kepada Mentari seorang.

Merasa tidak ada gunanya terus berada di sini. Langit pun mulai beranjak. Kali ini, ia akan membiarkan gadis yang paling dibencinya itu tidur nyenyak.

Baru lagi ingin melangkahkan kaki, tiba-tiba saja tangannya di tarik oleh Mentari. Langit yang tidak siap atau kaget alhasil malah jatuh menimpa tubuh gadis yang matanya masih terpejam itu.

"Bun, Mentari rindu. Tidak bisakah bunda datang menghampiri Mentari walau hanya sekejap?" racau gadis itu. Ia semakin mengeratkan pelukannya. Mentari mengira kalau orang yang tengah dipeluknya itu adalah sosok ibu kandunganya, Lisa.

Langit memasang raut wajah kaget setengah mati. Baru kali ini ia melakukan kontak fisik sedekat ini terhadap Mentari. Bahkan dua asset berharga milik gadis itu terasa jelas olehnya.

Langit menahan nafasnya. Gugup. Hal itu yang ia rasakan kali ini. Bagaimana tidak gugup coba? Posisi sekarang sangatlah intim dengan seorang gadis. Ia ini seorang pria normal.

Langit berusaha untuk melepaskan diri, tetapi gagal. Tubuhnya masih dipeluk erat oleh Mentari. Gadis yang biasanya lemah dan selalu patuh kali ini malah terlihat kuat.

"Bun, jangan pergi. Jangan tinggalkan Mentari. Di sini, hanya mama Karina yang menerima kehadiran Mentari saja. Sedangkan mereka semua tidak. Mentari sudah tidak kuat lagi hidup seperti ini, Bun." Mentari mulai terisak.

Langit tak bergeming dibuatnya. Dibiarkannya gadis yang tengah terisak itu semakin memeluknya erat.

"Bun, apa memang Mentari ini pantas untuk dibenci? Apa semua ini adil? Bukankah ayah yang melakukan tindakan jahat itu?" Tangisannya terdengar begitu pilu di telingat langit.

Hati pria itu mengatakan kalau sesungguhnya seorang Mentari tidak pantas untuk dibenci. Sebab memang bukan gadis itu yang melakukannya. Melainkan ayahnya.

Seketika Langit menggeleng pelan. Akal sehatnya tidak menerima semua itu. Walaupun bukan Mentari yang membunuh kakaknya, tapi tetap saja ia bersalah. Sebab gadis itu adalah anak dari orang yang telah membunuh sang kakak. Otomatis kesalahan itu beralih ke tangan Mentari mengingat pria brengsek itu sudah tidak ada lagi di dunia. Lebih tepatnya di neraka.

Cup.

Langit membelalakkan matanya. Bibirnya dan Mentari saat ini sedang saling tertempel satu sama lain. Ia hanya diam tak bereaksi sama sekali. Ini adalah ciuman pertama seorang Keysan Langit Pratama, dan yang mencuri ciuman pertamanya adalah gadis yang paling dibencinya. Bukan gadis yang dicainta seperti kebanyakan orang-orang.

"Gadis sialan!" murka Langit. Ia langsung menjauh dari sosok Mentari yang sialnya sampai sekarang belum sadar.

Diusapnya dengan kasar bibir yang sudah terkontaminasi itu. Lebih tepatnya terkontaminasi dengan hal yang begitu menjijikkan menurut Langit.

Dengan tergesa, Langit langsung pergi meninggalkan tempat itu. Ia marah dan kesal. Namun, jantungnya berdegup sangat keras tidak seperti biasa.

Langit sudah pergi. Sedangkan tetesan air mata mulai jatuh begitu saja dari seorang Amanda Mentari.

***

Langit yang sudah berada di kamarnya langsung menghempaskan tubuhnya kasar.

"Sial! Sial!" umpat Langit kesal setengah mati. Kedua tanganya yang terkepal kuat memukul-mukul kasur dengan membabi buta.

Jijik. Jelas! Siapa yang tidak jijik dicium oleh orang yang paling dibenci. Ciuman pertama pula. Selama ini, Langit memang tidak pernah tertarik dengan gadis manapun itu. Sampai sekarang, Langit tidak pernah menjalin hubungan, sama seperti Prince. Berbeda sekali dengan dua sahabatnya yang sangat suka sekali gonta ganti pasangan.

Ia juga tidak tahu kenapa sampai tidak ada satu pun gadis yang bisa menarik perhatiannya. Jika dibilang dirinya ini tidak normal atau seorang gay. Jelas, hal itu tidak mungkin.

Ia sangatlah normal sebagai seorang lelaki. Mungkin, memang belum ada gadis yang tepat saja untuk saat ini. Langit sangat yakin dengan hal itu.

"Aku akan membuat perhitungan dengannya. Lihat saja."

Merasa tidak akan bisa tidur. Langit pun memutuskan untuk pergi. Tepatnya pergi ke rumah Mike. Mike yang tinggal seorang diri.

Bisa dikatakan kalau Langit lebih terbuka dengan sosok Mike. Bercerita dengan Mike cukup bisa membuatnya lega. Mike bukanlah tipe orang yang menghakami meski tindakannya yang ia lakukan salah.

"Semoga Mike belum tidur." Mengambil jaketnya asal.

Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Waktu yang larut untuk bertemu seperti apa yang seorang Langit lakukan.

Karina dan Ken yang belum tidur dan masih asyik menonton TV di ruang tamu begitu keheranan melihat anak mereka yang terlihat ingin pergi.

"Nak, kamu mau ke mana?" tanya Karina kepada sang anak.

Langit tersenyum lembut. "Mau ke rumah Mike, Ma."

"Malam-malam begini kenapa ke sana?" Kali ini Ken buka suara.

"Mau ngerjain tugas. Langit lupa."

Karina dan Ken saling melempar pandang satu sama lain. "Apa harus laru malam begini," ujar Karina khawatir. Karina takut kalau anak semata wayangnya itu kenapa-kenapa.

"Benar, besok saja perginya." Ken menatap sosok Langit intens.

Langit mendekati kedua orang tuanya itu kemudian mengecup pipi keduanya secara bergantian. Tak lupa sebuah senyum manis seorang Langit berikan kepada kedua orang tua tercintanya itu. "Tidak bisa Ma, Pa. Tugas ini harus selesai malam ini karena besok adalah deadlinenya. Kalian tenang saja, Langit tidak akan kenapa-kenapa."

Hembusan nafas panjang lolos begitu saja dari keduanya. Mereka tidak akan mungkin bisa membujuk atau pun melarang sang anak kalau sudah berkaitan dengan kuliah begini.

Ken dan Karina sangatlah tau kalau Langit sangat terobsesi dengan nilai sempurna.

"Ya sudah kalau begitu." Karina berusaha untuk tersenyum senang.

"Terima kasih, Ma. Langit izin menginap ya."

"Tentu," sahut Ken.

Memang lebih baik anaknya itu menginap saja daripada harus pulang entah jam berapa nanti. Tentunya hal itu akan sangat berbahaya. Anaknya memang seorang laki-laki, tetapi hal itu tidak menutup kemungkinan kalau sang anak tidak menghadapi yang namanya kejahatan.

Di luaran sana banyak orang jahat yang selalu beraksi di larut malam begini.

"Langit pamit." Menyalam kedua tangan orang tuanya itu.

"Hati-hati."

"Tentu."

Sosok Langit terlihat sedikit berlari. Kali ini, ia harus berbohong dengan kedua orang tuanya. Tidak ada tugas atau apa pun itu. Jika dihitung-hitung entah berapa banyak kebohongan yang ia lakukan kepada kedua orang yang paling berarti dalam hidupnya. Tak terhitung banyaknya.

Ia ke rumah Mike hanya ingin menyampaikan keluh kesahnya saja, tidak lebih. Menginap di rumah Mike untuk saat ini adalah pilihan yang paling tepat. Ketimbang dia berada di kamarnya yang pastinya tidak akan tidur.

Butuh waktu yang cukup lama yaitu sekitar satu jam. Akhirnya Langit sampai juga di rumah sahabatnya itu. Sebuah rumah minimalis yang terlihat elegan.

Rumah yang diberikan oleh orang tua Mike tepat pria itu berulang tahun tujuh belas tahun. Sejak saat itulah Mike mulai tinggal seorang diri.

"Sepi sekali. Apa dia sudah tertidur ya?" batin Langit bertanya-tanya.

Langit mulai membunyikan bel.

Satu menit kemudian, pintu pun terbuka. Tampaklah sosok Mike yang tengah memakai baju tidur. Matanya terlihat sulit sekali terbuka. Bisa Langit tebak kalau sahabatnya itu pasti sudah tertidur.

"Langit? Untuk apa lo larut malam gini bertamu, hah?! Ganggu mimpi gue aja lo."

"Seharusnya lo seneng karena kedatangan gue di larut malam begini, mimpi jorok lo terhenti." Tertawa geli.

"Sialan lo!" ketus Mike.

"Daripada lo mimpi jorok terus, sana gih nikah." Langit geleng-geleng kepala.

"Bacot banget sich lo. Masuk gih, dingin tau!" sewot Mike.

Diganggu oleh Langit malam larut begini merupakan kesialan yang besar untuknya.

Langit mengangguk pelan dan melangkahkan kakinya memasuki rumah yang terlihat rapi. Sangat rapi malah. Mengingat kalau sosok Mike adalah pria yang begitu tidak bisa melihat sesuatu yang berantakan. Semua itu mungkin dikarenakan dia yang dididik oleh sang Mama yang juga begitu menyukai kerapian seperti dirinya ini. Jarang-jarang ada pria tipe Mike di dunia ini.

Kini, Langit sudah duduk di Sofa ruang tamu. Mike saat ini sedang berada di dapur membuatkan minum untuknya.

"Nih, lo minum teh aja, ya. Kopi gue lagi habis." Meletakkan dua gelas teh panas beserta dua piring kue kering di atas meja.

Langit mengangguk sambil tersenyum. Tentu dia tidak masalah dengan itu semua. Walau dirinya yang pecinta kopi. Meminum teh bukanlah hal yang buruk.

"Terima kasih," kata Langit tulus. Ia pun mulai meminum teh buatan sahabatannya itu. Udara di luar memang sangatlah dingin. Dirinya saja yang memakai jaket kini merasa menggigil.

"Lo ke sini pasti mau ngomong sesuatu kan?" tebak Mike tepat sasaran.

Mendengarnya Langit manggut-manggut membenarkan tebakan sang sahabat. Memang benar ada yang ingin ia katakana kepada Mike.

"Ada apa? Apa lo berubah pikiran untuk tidak melakukan hal keji itu kepada Mentari." Memakan roti kering.

"Huh! Hal itu tidak mungkin," sahut Langit cepat. Berubah pikiran dari rencana yang sudah ia susun jauh-jauh hari? Itu tidak mungkin.

Mike mengerutkan keningnya. "Jadi karena apa?" Merasa penasaran.

"Sebenarnya bukan hal yang penting sich. Jujur, gue ke sini karena tidak bisa tidur. Itu sich alasan terkuatnya."

Mike semakin mengerutkan keningnya. Dirinya benar-benar tidak paham dengan apa yang dikatakan oleh seorang Langit. Ia benar-benar bingung.

"Jadi lo nggak ada mau ngomongin sesuatu gitu?"

Langit menghembuskan nafas kasar. "Mike, ke sini gue memang mau ngomong sama lo. Dan gue ingin menginap di sini. Lo nggak keberatan kan?"

Mike menggeleng kuat. "Tidak. Gue fine-fine aja kalau memang lo nginep di sini."

"Thanks." Langit menepuk pelan pundak sahabat baiknya itu.

"Oh iya. Gimana persiapan untuk minggu ini? Beres semua kan?" tanya Langit antusias.

"Beres sich. Cuma apa lo yakin bakal ngelakuin itu?"

Langit terlihat tidak suka. "Jangan bilang kalau lo kasian sama gadis sialan itu!"

Mike diam sejenak. Memang dia kasihan dengan Mentari. Menurutnya, gadis baik seperti Mentari tidak pantas untuk mendapat perlakuan keji itu.

"Inget ya Mike. Lo nggak boleh gagalin rencana yang udah kita susun," peringatkan Langit.

"Langit, tolong lo pikirkan lagi. Lo harus mikirin nasib Mentari kedepannya. Kalau dia hamil bagaimana?"

Langit tersenyum miring. "Ya malah bagus dong. Biar dia malu sampai tidak berniat untuk melanjutkan hidup."

"Gue rasa itu terlalu berlebihan. Lebih baik kita ubah rencana saja ya," bujuk Mike.

"NGGAK! GUE NGGAK MAU!" tolak Langit mentah-mentah.

Seketika Mike memijat kepalanya yang tiba-tiba berdenyut.

"Lo harus ingat Mike. Semua ini ide lo!" kata Langit menekankan perkataannya.

Mike tentu saja ingat kalau semua itu adalah idenya. Dan jujur, ia sangat menyesal telah mengusulkan hal itu kepada Langit. Dia tidak menyangka kalau Langit benar-benar ingin mewujudkan ide yang tercetus begitu saja dari mulutnya itu.

"Intinya pria itu harus standby tepat pukul tujuh malam hari minggu ini!"

Mike yang tidak bisa berkata-kata lagi hanya bisa mengangguk.

"Lo nggak harus merasa bersalah begitu, Mike. Gadis murahan seperti dia memang pantas mendapatkan hal itu." Langit tersenyum puas dan kembali meneguk tehnya.

"Mentari, maafin gue," batin Mike terbayang wajah Mentari.

Ia sangat yakin Mentari pastinya akan hancur kalau semua rencana yang sudah lama tersusun ini berjalan dengan lancar.

Langit terus meneguk tehnya sampai habis. Dia bahkan tak merasakan panasnya teh itu. Dirinya sangat tidak sabar menunggu hari minggu. Dimana kedua orang tuanya akan berpergian ke rumah sang nenek seperti yang biasa dilakukan.

Itu akan menjadi kesempatannya untuk menyiksa seorang Mentari. Bukan siksaan yang biasa ia lakukan yang itu berupa siksaan fisik, tetapi batin juga.

Langit sangat ingin menghancurkan seorang Mentari hancur berkeping-keping. Yaitu dengan menghilangkan keperawanan gadis malang itu.

Ia sangat yakin jika nantinya keperawanan Mentari hilang atau bahkan sampai mengandung. Mengandung anak dari pria yang tidak jelas. Pasti mamanya akan membenci sosok Mentari. Tidak akan ada lagi yang mau menerima seorang Amanda Mentari. Langit bisa pastikan hal itu.

Bukankah anak haram seperti seorang Mentari sangat pantas jika memiliki anak haram juga? Buah kan tidak jatuh jauh dari pohonnya.

"Tunggu saja gadis sialan! Aku begitu menantikan keterpurukanmu itu. Kalau bisa keterpurukan yang berujung kematian!" kata Langit dalam hati.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel