Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 9

Hari minggu yang ditunggu oleh seorang Langit sudah tiba. Pria tampan beralis tebal itu tengah tersenyum senang. Saat ini adalah harinya. Hari dimana ia akan menghancurkan seorang Amanda Mentari berkeping-keping sampai tidak tersisa.

Diliriknya jam yang sudah menunjukkan pukul satu siang. Ia sangat yakin kalau Mama dan Papanya sudah pergi sekitar tiga jam yang lalu.

Dirinya baru saja bangun karena tadi malam begadang. Lebih tepatnya ia tidak bisa tidur saking tak sabarnya untuk menunggu hari ini tiba.

Hari ini, ia akan bersikap pura-pura baik kepada Mentari. Bahkan kalau perlu dirinya akan meminta maaf. Maaf palsu tentunya. Sampai kapanpun Langit tidak akan pernah meminta maaf atas semua perbuatan buruk yang telah dirinya lakukan kepada gadis itu. Karena bagi Langit, ia sama sekali tidak bersalah. Salahkan saja nasib Mentari yang malang.

Langit pun langsung bangun dari tidurnya. Bunyi keroncongan begitu terdengar dari perutnya saat ini.

"Aku sangat lapar. Lebih baik aku turun, nanti saja mandinya," monolog Langit. Jangankan mandi, pria itu bahkan belum cuci muka sama sekali. Benar-benar jorok. Untung saja tampan.

Tidak membutuhkan waktu lama, Langit akhirnya sampai di ruang makan. Bisa ia lihat kalau sosok Mentari berada di sana. Tentu Langit sedikit bingung. Untuk apa gadis yang memakai daster itu duduk di sana? Tidak mungkinkan kalau Mentari tengah menungunya? Menunggu dirinya untuk makan siang.

"EKHM." Berdehem lumayan keras.

Sontak saja, Mentari langsung menolehkan pandanganya tepat ke arah Langit yang kini berjalan mendekat. Senyum pun mengembang di wajah cantiknya itu. Jujur, ia sangat senang melihat kehadiran Langit.

Langit membalas senyuman Mentari. Hal yang tidak pernah dilakukan olehnya selama ini. Mentari yang begitu kaget sampai sampai terbengong karena tidak percaya dengan apa yang dilihatnya kali ini. Seorang Langit yang begitu membencinya kini tengah membalas senyumannya? Benar-benar terasa seperti mimpi.

"Ada apa?" tanya Langit lembut sambil duduk di samping Mentari.

Mentari yang tesadar langsung menggeleng. "Ah tidak ada." Netranya terus memandangi wajah tampan Langit keheranan.

Sikap Langit kali ini benar-benar aneh tidak seperti biasa. Biasanya, pria yang begitu membencinya itu selalu bersikap ketus apalagi tidak ada orang tua mereka seperti sekarang ini.

"Ayo makan,' kata Langit mengajak Mentari. Mentari hanya bisa mengangguk kecil. Otaknya masih begitu terkejut dan tidak bisa menerima kejadian saat ini.

Langit yang memang sangat kelaparan, begitu lahap makannya. Dia tidak peduli kalau ia dianggap Mentari sebagai orang yang rakus. Toh, hal itu bisa dikatakan benar. Ia memang sangat rakus dengan makanan yang dimasak oleh gadis berambut panjang hitam pekat itu.

"Dia makannya lahap sekali," kata Mentari dalam hati.

Mentari memasukkan sesuap demi sesuap nasi ke dalam mulutnya. Sebenarnya, dirinya tidak terlalu berselera makan. Hal itu bisa saja disebabkan karena dirinya ini belum pulih betul. Mentari masih terus mengkonsumsi obatnya. Karena obat itu, lidahnya terasa begitu pahit. Semua makanan yang masuk ke mulutnya itu akan terasa pahit dan tidak berasa sama sekali. Hambar.

"Akhirnya." Langit tersenyum puas.

Perutnya sudah kenyang sekarang. Ternyata melewatkan sarapan adalah hal yang terburuk. Terbukti dengan dirinya yang harus menahan rasa perih sedari tadi. Namun, ia abai karena matanya masih begitu mengantuk.

Matanya terpejam, tetapi perutnya terus berbunyi. Cacing-cacingnya itu mendemonya habis-habisan.

"Terima kasih untuk makanannya. Benar-benar enak sekali," puji Langit. Ia menatap intens sosok Mentari.

Mendengarnya, Mentari sampai terkejut karena tidak menyangka kalau Langit akan berkata seperti itu. Berkata terima kasih. Benar-benar tidak diduga sama sekali.

"Minum ini." Langit menyodorkan segelas air putih kepada gadis yang wajahnya tengah memerah menahan rasa sakit akibat tersedak.

Dengan ragu, Mentari mengambil segelas air pemberian seorang Langit. Tak butuh waktu lama, gelas itu sudah kosong tak tersisa.

"Lain kali, makannya pelan-pelan ya." Mengusap sisa noda makanan di bibir Mentari dengan jarinya. Ia juga memberikan senyuman terbaiknya kepada gadis yang tengah mematung itu.

Jantung Mentari rasanya ingin terhenti begitu saja. Tindakan pria beralis tebal itu benar-benar tak bisa diterima oleh nalarnya. Apakah mungkin sifat seseorang bisa berubah seratus delapan puluh derajat dalam semalam? Rasanya sangat mustahi.

Jelas-jelas kemarin, Langit masih bersikap begitu dingin dan ketus terhadapnya. Mungkinkah pria tampan itu terbentu kepalanya sampai bisa berubah total begini.

"Kenapa memandangku seperti itu? Ada yang aneh ya?" lirih Langit.

Ya Tuhan! Apalagi ini? Kenapa Langit berkata begitu? Kemana sapaan 'lo' 'gue' yang selalu disematkan oleh pria itu? Seperti bukan sosok Langit saja.

"Tidak. Hanya kaget saja," sahut Mentari jujur. Dirinya memang sangat kaget.

Sudur bibir Langit tertarik ke atas. "Ah, kamu pasti kaget dengan sikapmu yang aneh ini ya. Wajar sich karena selama ini aku sudah jahat kepadamu." Memasang wajah sedih.

"Aku benar-benar menyesal. Tidak seharusnya aku melakukan hal kejam seperti itu kepadamu."

Lidah Mentari begitu kelu dan tak sanggup untuk sekedar mengeluarkan sepatah kata pun.

Tak berapa lama, dengan beraninya Langit menggenggam kedua tangan Mentari. Tangan yang begitu kasar dan begitu kurus. "Maafkan aku Mentari atas semua sikap dan perbuatan jahatku kepadamu. Aku benar-benar menyesal." Langit berkata seolah-olah tulus. Siapa pun yang melihat pasti tidak akan menyangka kalau pria itu tengah bersandiwara. Langit sudah sangat cocok menjadi artis sinetron. Aktingnya benar-benar memukai.

Tak kunjung mendapat respon dari Mentari. Langit pun memasang wajah memelas.

"Kamu tidak mau memaafkan aku ya?" Menatap Mentari lekat.

Helaan nafas lolos begitu saja. Raut wajah Langit begitu memancarkan aura kesedihan. Sampai Mentari yang melihatnya merasa kebingungan. Ia bingung akan menjawab apa.

Semua perlakuan Langit kepadanya selama ini memang sangatlah keterlaluan dan tidak manusiawi sekali. Mentari hanyalah seorang manusia biasa yang pasti memiliki rasa sakit hati. Namun, tak pernah terbesit di hatinya sedikit pun untuk membenci dan menyimpan dendam kepada pria itu.

Hening beberapa saat.

Langit merasa kalau usahanya ini sia-sia, akhirnya dengan berat hati mulai menarik tangannya.

Tanpa disangka-sangka Mentari menarik tangan Langit yang hampir terlepas itu. "Saya maafkan."

"Benarkah?" Berbinar.

Mentari mengangguk sambil tersenyum. "Ya."

"Ya ampun aku senang sekali. Terima kasih Mentari. Aku senang sekali. kamu memang gais yang baik." Memeluk sosok Mentari erat.

Mentari yang tidak pernah menduga kalau sesungguhnya pria yang tengah memeluknya kali ini hanya berpura-pura menyesal dan mempunyai rencana jahat untuknya. Ia mengira kalau Langit memang tulus meminta maaf kepadanya dengan semua yang terjadi.

Dengan begini, tentunya Mentari akan merasa hidupnya mulai menemukan titik terang."Tuhan, terima kasih karena kamu sudah menyadarkannya. Aku sangat senang sekali. Akhirnya, orang yang selama ini aku kagumi dan cintai sudah mengakui kesalahannya," batin Mentari senang.

Rahasia yang selama ini ia pendam adalah rasa cintanya yang begitu besar kepada seorang Langit. Mentari tidak tahu kapan tepatnya ia bisa menjatuhkan hati kepada pria yang selalu menyakitinya itu. Rasa cinta ini hadir begitu saja. Memang konyol, tetapi itulah kenyataannya. Ia tidak bisa menapik perasaannya kepada seorang Keysan Langit Pratama yang notabenya adalah saudara angkatnya.

Malam ketika ia mengingau, sebenarnya ia sudah sadar. Dirinya kaget karena sudah berani memeluk sosok Langit yang dirinya kira adalah Bundanya. Setelah itu, dengan gilanya ia malah mencium bibir Langit. Respon Langit yang begitu marah dan jijik membuat seorang Mentari begitu bersedih hati. Hatinya hancur bereping-keping.

Keduanya masih berpelukan dengan erat. Mentari sampai meneteskan air mata saking terharunya. Tangis kebahagiaan.

Tanpa Mentari sadari kalau Langit tengah tersenyum jahat. "Cih! Nikmatilah kebagiaan sesaatmu ini." Langit berkata dalam hati.

***

Hari sudah malam. Jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Langit kini sedang berada di ruang tamu menunggu kehadiran seseoarang. Sedangkan Mentari sudah tidur dari sejam yang lalu. Gadis itu begitu kelelahan karena bekerja bakti seperti mencabut rumput dan memangkas daun-daun.

Mentari tidak sendiri melainkan dibantu oleh Langit. Langit begitu banyak membantu Mentari kali ini. Hari weekend melelahkan pertama kali untuk seorang Langit. Pria itu biasanya tidak sudi untuk melakukan hal seperti itu. Namun, kali ini berbeda. Demi membuat Mentari begitu yakin dengan permintaan maafnya. Ia rela seperti ini. Menjadi seorang pembantu dadakan. Begitulah anggapan Langit.

"Sialan! Pria itu kemana sich? Kenapa belum sampai juga?" gerutunya kesal memandangi jam yang terus berputar.

Langit merasa begitu gregetan. Pria yang disewa oleh Mike sahabatnya sudah terlambat sepuluh menit. Kesal. Tentu saja.

Dirinya benar-benar tidak sabar sekali. Mentari sebenarnya bukan karena lelah makanya terlelap begitu cepat. Sesungguhnya, Langit sudah menaruh obat tidur ke dalam minuman gadis malang itu.

Satu jam berlalu. Namun, pria itu tak kunjung datang juga. Langit menggigit bibirnya kesal. Nafas pria yang tengah mengenakan kaos berwarna biru laut itu memburu.

"Brengsek!" makinya.

Dengan geram dan kesal, Langit pun merogoh ponselnya. Ia akan menghubungi sahabatnya yang tidak becus itu.

Panggilan telepon akhirnya tersambung juga.

"Hey! Gimana sich lo?! Kenapa pria itu tak kunjung datang juga?!" semprot Langit.

"Maaf Langit. Gue udah hubungi dia tapi, tak kunjung diangkat," sahut pria dari dari sebrang sana dengan nada bersalah.

"Lo jangan bercanda ya. Gue udah nunggu malam ini, sialan!" Dadanya naik turun karena begitu marah. Lelucon macam apa ini? Langit tentu tidak ingin kalau rencananya ini hancur berantakan. Tidak! Tidak boleh! Hanya kali ini kesempatan yang ia punya.

Menunggu! Oh tidak bisa. Biarpun sang Mama dan Papanya itu selalu berkunjung di hari weekend ke rumah sang nenek. Ia tidak ingin lagi berpura-pura baik terhadap Mentari. Benar-benar memuakkan dan menjengkelkan.

"Maafin gue, Langit. Gue udah berusaha."

"Gue nggak mau tahu. Pria itu harus datang. Atau kalau memang tidak memungkinkan, lo aja yang kemari."

"Untuk apa?"

Langit tersenyum bak iblis. "Tentu saja untuk nodai gadis sialan itu."

"Tidak! Gue nggak mau!"

"Lo harus tanggung jawab dengan kerja lo yang nggak becus. Ingat! Gue udah ngeluarin uang banyak untuk hal ini!"

"Maaf Langit gue tetep nggak bisa. Mungkin ini pertanda dari Tuhan kalau lo nggak boleh ngelakuin hal itu kepada gadis sebaik Mentari."

"Jangan bawa-bawa Tuhan, Mike. Gue nggak mau tahu, lo harus ke sini sekarang juga."

Tut …

Sambungan telepon terputus begitu saja.

"Halo, Mike."

Langit melihat layar benda pipih yang menunjukkan kalau sambungan teleponnya itu sudah berakhir.

"Sialan! Brengsek!" Membuang ponselnya ke sembarang arah.

Langit benar-benar marah dan kesal sekali. Sahabatnya itu benar-benar tidak bisa diandalkan. Sia-sia saja ia menghabiskan uang yang tidak sedikit jumlahnya untuk membayar pria yang akan menodai seorang Mentari.

Tahu begitu, dirinya tidak akan menyerahkan semuanya kepada sang sahabatnya yang tidak becus. "Sial! Sial!" Mengacak-ngacak rambutnya tak karuan.

Sekarang, Langit bingung harus melakukan apa. Rencananya terancam gagal total.

Cukup lama ia terdiam. Hingga akhirnya sebuah ide melintas di kepalanya.

"Kenapa aku tidak kepikiran?" Menyunggingkan senyum.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel