Bab 7
Princess mengepalkan kedua tangannya erat. "DASAR LO TUA BANGKA YANG NGGAK PUNYA HATI NURANI." Princess berteriak sekuat tenaga. Masa bodoh dengan citranya yang akan buruk karena sudah berkata kasar begitu di area kampus. Ia tidak peduli sama sekali. Persetan dengan semuanya.
Dirinya benar-benar kesal setengah mati dengan pria sialan itu.
Matanya menatap nanar ke arah makalah yang harus dikumpulkan hari ini. Akibat tumpahan kopi itu, tulisan makalahnya sebagian tidak bisa dibaca.
"Sial banget nasib gue hari ini. Alamat dimarahai Pak Bara," ucapnya nelangsa.
Bisa Princess bayangkan dirinya yang akan dimarahi habis-habisan oleh Pak Bara. Dosen yang terkenal galak dan tidak segan-segan mempermalukan mahasiswa yang tidak tunduk dan taat dengan semua aturan.
Untuk kembali ke rumah mengambil Flashdisknya yang tertinggal, rasanya sangat mustahil. Hal itu memerlukan waktu yang lumayan. Dirinya pasti akan terlambat. Dan hal itu akan lebih mengerikan lagi.
"Inces, inces. Kenapa lo ini bisa lupa dengan hal sepenting itu?" Princess memukul-mukul kepalanya pelan. Ia begitu menyesali sikap pelupanya yang berujung petaka begini.
Dengan langkah gontai Princess berjalan menuju ruang kelasnya. Lima belas menit lagi kelas pertama akan dimulai. Kelasnya Pak Bara lebih tepatnya.
"Semoga saja Pak Bara kena macet atau mendadak sakit supaya tidak masuk," doa Princess sambil menggenggam kedua tangannya. Doa yang jahat memang. Namun, kalau terwujud dirinya akan senang sekali. Itu tandanya makalahnya bisa diprint ulang. Alamat tidak dimarahi dan mendapat nilai C dech.
Pria yang menabrak Princess tadi ternyata tidak pergi. Pria itu hanya berjalan tak jauh setelah itu memutuskan untuk bersembunyi melihat tingkah gadis yang telah berani mengatainya Tua Bangka. Jelas dirinya tidak akan terima dikatai seperti itu.
Pria tampan yang sudah matang itu tak lain adalah Raka Sanjaya. Pria tampan yang berusia empat puluh tahun. Usia yang begitu matang. Namun, percayalah kalau Raka tidak terlihat seusianya itu. Banyak yang menduga kalau dirinya ini berumur tiga puluh tahunan.
Karena kesal dibilang Tua Bangka, tanpa sadar Raka berjalan menghentak-hentakkan kakinya seperti anak kecil. Mulutnya juga terus berkomat-kamit.
Di ruang kelas.
Princess bergerak gelisah. Bibirnya terus menjadi korban gigitannya. Ia begitu gugup. "Ya Tuhan tolonglah ciptaanMu yang malang ini."
Matanya menatap horot ke arah pintu yang tertutup itu.
"Pagi anak-anak."
Suara seseorang yang begitu tidak ingin diharapkan hadir oleh Princess. Gadis cantik berambut pirang itu rasanya ingin menangis dan berteriak. Atau bila perlu kabur dari kelas ini sekarang juga. Dirinya benar-benar tidak sanggup lagi.
"Sebelum kita memulai kelas kali ini. Bapak akan memperkenalkan dosen baru. Beliau yang nantinya akan menggantikan bapak."
"Bapak harap kalian bisa terus bersikap sopan kepadanya. Kepada khususnya wanita, jangan ganjen atau genit dan semacamnya. Karena beliau ini sangat tampan dan single. Namun, maaf kalian tidak ada satu pun yang cocok dan pantas bersanding dengan beliau." Tersenyum lebar.
"Cih! Dia ini sekalian promosi atau bagaimana sich!" lirih Princess tidak senang dengan perkataan sang dosen.
Seperti apa sich rupa dosen baru itu sampai berbicara segitunya? Paling juga seorang dosen tua seperti Pak Bara yang kepalanya botak ditengah karena kebanyakan mikir. Princess sangat yakin dengan hal itu.
"Ayo Pak Raka silahkan masuk."
Tak berapa lama masuklah seorang pria tampan mengenakan kemeja biru laut lengan panjang dipadukan celana panjang hitam. Benar-benar style orang dewasa.
"Nah, ini Pak Raka." Pak Bara sangat antusias sekali. Dirinya yang pria saja begitu terpesona dengan Raka. Mereka hampir seumuran, hanya saja wajah keduanya sangat jauh berbeda sekali.
"Salam kenal semuanya. Saya Raka Sanjaya yang akan mengantikan Pak Bara selaku dosen kalian selama ini."
Terdengar tepuk tangan riuh dari semuanya. Mereka terlihat begitu senang melihat Raka. Hanya satu orang saja yang terlihat tidak senang. Orang itu adalah Princess. Princess langsung menutup wajah dengan tasnya itu.
"Mampus gue! Pria yang gue maki itu ternyata dosen di sini. Habislah nilai gue kedepannya," ujar Princess dalam hati. Dunia memang sempit ya. Bisa-bisanya pria yang menabraknya adalah dosen baru.
"Walaupun bapak tidak akan lagi mengajar kalian. Namun, tugas makalah yang bapak berikan tolong dikumpulkan sekarang juga. Hari ini menjadi pertemuan terakhir kita. Barang siapa yang tidak mengumpul siap-siap mendapat nilai C."
Jderr!!
Bak tersambar petir di siang bolong. Wajah Princess langsung memucat. Sepertinya aliran darahnya tidak lancar kali ini.
Ia meneguk ludahnya kasar. Bagaimana ini? Habislah sudah riwayatnya.
"Mama, Papa. Tolongin Inces," ujarnya dalam hati.
***
"Astaga! Kenapa bisa seperti ini? Mereka benar-benar keterlaluan." Prince berkata kesal sambil tangannya sibuk membersihkan rambut Mentari yang sudah putih dengan tepung dan telur.
Tatapan Mentari kosong. Rasa amis dari telur yang dilemparkan kepadanya begitu menyeruak penciuamannya saat ini.
Ingin marah rasanya sangat tidak ada gunanya. Sampai kapanpun dirinya ini tidak berdaya melawan mereka semua. Mereka yang begitu membencinya.
Mentari tidak pernah merasa mengganggu siapapun. Hanya satu alasan ia terus-terusan diperlakuakn seperti ini. Semua itu karena statusnya. Statusnya sebagai anak haram dan pembunuh.
Keduanya kini berada di rooftop. Prince langsung berlari ke sini tatkala mendengar suara tawa menggelegar dari arah kantin. Mereka semua menertawakan Mentari yang sudah dilempar puluhan telur juga tepung dalam waktu bersamaan.
"Maafkan aku yang tidak bisa membantumu." Prince merasa bersalah.
Mentari menggeleng pelan. " Tidak perlu meminta maaf. Saya sudah biasa diperlakukan seperti ini." Tersenyum hambar.
Mentari sangat ingat dengan jelas wajah kepuasan mereka semua. Puas karena sudah memperlakukan dirinya sehina itu. Ada satu orang yang terlihat paling puas. Orang itu adalah Langit. Pria yang seharusnya adalah adik angkatnya.
Ia berada di kantin tadi juga karena perintah Langit. Tidak bisa menolak, Mentari terpaksa ke sana. Dan teryata di sana, ia sudah disambut oleh para gadis yang siap menyerbunya.
Bukan hanya lemparan tepung dan telur saja yang ia dapatkan, tetapi juga hinaan dan pukulan bertubi-tubi dari beberapa orang yang jelas terlihat sangat membencinya.
Mendengarnya, Prince semakin merasa iba. Hidup gadis di depannya ini begitu berat.
"Sebaiknya, kamu ganti baju. Pakailah bajuku ini." Menyodorkan paper bag berukuran besar.
Mentari menggeleng pelan. "Tidak usah. Saya tidak ingin terus merepotkan Anda," tolak Mentari.
"Aku tidak pernah merasa direpotkan. Pakai saja," bujuk Prince.
Mentari terdiam sejenak. Lalu tak berapa lama akhirnya mengangguk.
Hanya sebuah senyuman tipis yang bisa ia berikan kepada pria berhati malaikat itu.
"Gantilah di sana. Aku akan menjaga di tangga. Kamu tenang saja, aku tidak akan mencuri kesempatan dalam kesempitan." Prince pun berlari menuju tangga di mana orang lain mungkin akan ke sini. Posisinya juga tengah membelakangi Mentari.
Di rooftop tidak ada tempat ganti. Kalau turun ke bawah tepatnya ke kamar mandi. Takutnya bukan malah bisa berganti baju. Mentari malah akan dikerjai lagi oleh gadis-gadis itu.
Mentari melihat pakaian yang diberikan oleh Prince. Bisa ia tebak kalau pakaian ini adalah pakaian ganti pria itu. Lihatlah, pria itu tengah mengenakan pakaian olahraga, atau lebih tepatnya pakaian basket. Mengingat hari ini adalah hari kamis jadwal dimana seorang Prince bermain basket bersama dengan gengnya.
Ia terlihat ragu. Apakah dirinya harus mengenakan pakaian pria berkulit seputih susu itu? Mentari yakin kalau pakaian Prince ini pastilah sangat mahal harganya. Ia juga tidak enak hati terus merepotkan pria itu.
Kalau ia memakai pakaian ini, itu artinya Prince akan terus memakai seragam basket yang sudah basah oleh keringat itu. Tentu hal itu akan membuatnya merasa bersalah. Namun, kalau bajunya ini tidak diganti. Apakah dirinya sanggup terus mencium bau amis?
Ini saja, kepala pusing dan ingin muntah rasanya.
"Sudahlah. Kali ini aku akan egois." Mentari berujar yakin.
Meski ragu, Mentari mulai menanggalkan pakaiannya satu persatu. Hanya butuh waktu selama lima menit. Ia sudah berganti pakaian.
Pakaian yang memang terlihat kebesaran untuk dipakai olehnya. Mengingat tubuh dan tinggi Prince yang jauh diatasnya. Tubuhnya ini mungil dan kurus.
"Saya sudah selesai."
Sontak, Prince langsung berbalik. Matanya mengerjap-ngerjap kecil.
"Haha. Kamu terlihat seperti anak SMP." Prince tidak bisa menahan tawanya melihat baju miliknya yang begitu kebeseran di tubuh Mentari.
"Ukuran tubuh kita berbeda," ujar Mentari yang tidak marah ditertawakan seperti itu oleh Prince.
Prince pun secara perlahan mulai melangkah mendekat ke arah gadis yang begitu menggemaskan di matanya itu.
Tanpa Mentari duga sebelumnya, Prince ternya menggulung celana dan lengan baju yang Mentari kenakan.
Mentari seolah terpesona dengan yang dilakukan Prince saat ini. Benar-benar sesuatu yang manis.
"Nah, begini lebih baik." Prince tersenyum lebar sampai deretan gigi rapinya terlihat. Jangan lupakan lesung pipi yang menghiasi wajah tampannya itu.
Siapapun gadis yang melihatnya pasti tidak bisa menapik kenyataan kalau Prince itu tampan. Termasuk Mentari.
"Hebat ya, ternyata lo di sini sama sahabat gue." Tiba-tiba terdengar suara pria yang terlihat jengkel.
Seketika Mentari dan Prince menolehkan pandangannya. Bisa keduanya lihat kalau sosok Langit tengah tersenyum sinis. Lebih tepatnya senyum sinis itu diberikan khusus untuk Mentari seorang.
Langit berjalan mendekati keduanya. "Lo kasi apa sama sahabat gue, sampe dia begitu peduli sama lo." Menatap Mentari lekat.
"Langit hentikan," kata Prince.
Tentu Langit tidak akan menuruti permintaan sang sahabat sekaligus sepupunya itu. Melihat Mentari yang tengah mengenakan pakaian Prince. Mood Langit mendadak buruk seketika.
"Ah, apa lo jual diri sama sahabat gue? Pinter lo ya."
"Tidak!" sahut Mentari lantang. Ia bukanlah gadis seperti itu.
"Langit! Jaga omongan lo."
Langit tertawa mengejek. "Kenapa? Ucapan gue nggak salah tuh." Melirik bergantian ke Mentari dan Prince. Jujur, melihat Mentari seperti ini semakin membuat ia membenci gadis itu.