Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 6

Suasana makan malam terasa begitu khidmat. Semuanya tampak menikmati makanan masing-masing tanpa berniat membuka pembicaraan sama sekali. Mereka terlalu asyik dengan pikiran masing-masing. Tentu suasana seperti ini sangat langka sekali terjadi di keluarga Pratama itu.

Biasanya, sang Mama akan membuka pembicaraan walau hanya sebentar saja. Namun, kali ini wanita yang masih sangat cantik itu walaupun usianya sudah tidak muda lagi hanya fokus makan sesekali melirik ke arah Mentari.

Karina masih sangat kepikiran dengan Mentari, perihal bekas-bekas luka itu. Seorang Ibu, tentu dia khawatir. Bagaimana jika Mentari kenapa-kenapa? Hal itu tentu saja tidak boleh terjadi sebab ia sangat menyayangi gadis muda itu.

Mentari menahan rasa pusing yang tiba-tiba saja melanda. Dia terus memasukkan suapan demi suapan makanan itu ke mulutnya. Dirinya itu adalah tipe orang yang tidak terlalu banyak makan. Mungkin itu sebabnya Mentari memiliki tubuh kurus.

"Dia itu kenapa?" batin Langit memperhatikan Mentari intens. Bisa ia lihat kalau gadis berambut panjang sepunggung berwarna hitam pekat it uterus memegangi kepalanya.

"Alah! Ngapain aku peduli. Bukannya bagus ya kalau gadis sialan itu mati?" batinnya lagi. Langit pun berusaha untuk tidak peduli kepada Mentari seperti yang biasa ia lakukan selama ini.

Mentari hanyalah objek mainannya saja. Gadis itu ia perlakuan dengan sangat tidak baik. Seperti memperlakukan hewan bukan manusia.

"Papa sudah selesai." Ken langsung bangkit dari duduknya. Ia mengembangkan senyum menatap anak istrinya itu. Namun, tidak kepada Mentari. Senyumnya langsung pudar ketika tak sengaja netranya berpapasan dengan Mentari.

Mentari hanya bisa tersenyum kecut. Sampai kapanpun pria yang ia anggap sebagai Papa itu tidak akan pernah bisa menerimanya. Dirinya saja yang terlalu berharap selama ini.

Mana mungkin Ken bisa menerima ia yang berstatus sebagai anak pembunuh? Pembunuh putrinya pula. Mentari selalu mengingatkan dirinya sendiri tentang itu.

Namun, bagaimanapun ia berusaha mengingatkan dirinya sendiri akan hal itu. Tetap saja hatinya merasa sakit. Jika dipikir-pikir yang membunuh kan ayahnya, bukan dirinya. Apa pantas semua rasa kebencian itu dilimpahkan kepadanya?

"Langit juga sudah selesai." Sama-sama beranjak seperti sang ayah.

Kedua anak itu sama-sama menaiki anak tangga. Mereka saling merangkul satu sama lain. Siapapun yang melihat pasti akan iri dengan kedekatan ayah dan anak itu. Terlihat sangat harmonis dan menyayangi satu sama lain.

Mentari yang melihat semua itu jujur hatinya terasa tercubit. Ia ingin juga merasakan kasih sayang seorang ayah. Itu adalah harapan terbesarnya.

Karina melirik Mentari sekilas. Dapat dirinya tebak kalau Mentari pasti merasa sedih melihat kedekatan sang suami dan anak laki-lakinya itu.

Tanpa Mentari sadari kalau Karina bangkit dari duduknya dan langsung memeluk gadis malang itu. "Jangan sedih ya, Sayang. Ada Mama yang akan selalu menyayangimu. Dan Mama yakin kalau Papa Ken lambat laun akan menerimamu juga. Hanya perlu sedikit waktu saja." Mengeratkan pelukannya.

Tentu saja Mentari merasa kaget sekaligus terharu. "Terima kasih, Ma sudah selalu sayang kepada Mentari." Mulai terisak.

Sebenarnya terbuat dari apa hati mamanya itu? Kenapa begitu baik hati? Karina begitu tulus kepadanya. Biarpun Karina bukanlah mama kandungnya, tetapi sosok Karina sudah melebihi ibu kandung saja.

Langit yang sebenarnya belum sampai ke kamarnya. Kembali menuruni anak tangga. Tangannya seketika terkepal tatkala melihat sang mama dengan gadis yang paling dibencinya itu tengah berpelukan.

"Aku benar-benar tidak rela kasih sayang mama terbagi begitu besar kepadanya. Awas aja, aku akan membuat perhitungan dengan gadis sialan itu!" makinya dalam hati.

Sepertinya dia harus melaksanakan rencananya ini dalam waktu dekat. Ia ingin mamanya itu membenci sosok Mentari. Dan hanya cara ini saja yang terpikirkan olehnya.

"Kita tunggu saja tanggal mainnya." Tersenyum bak iblis.

Di kamar.

Ken menghela nafas dan langsung menghempaskan tubuhnya ke kasur. Bukan hanya tubuhnya saja yang lelah, tetapi hatinya juga. Ia lelah terus memendam rasa kebencian ini selama lima belas tahun lamanya.

Rasa benci yang semakin lama semakin besar. Jujur, rasa benci itu membuat dirinya merasa tidak sehat dan tidak bahagis tentunya. Untuk menghilangkan rasa benci itu sepertinya mustahil. Bagaimana mungki ia tidak membenci anak dari orang yang telah membunuh putrinya. Buah hatinya.

Ken mengarahkan satu tangnnya ke laci yang berada tidak jauh dari tempatnya saat ini. Diambilnya sebuah figura berukuran sedang. Air matanya langsung lolos begitu saja. Figura itu menunjukkan dirinya yang sedang memeluk erat sang putri. Kala itu putrinya berumur lima tahun.

Putrinya itu memang sangat dekat dengan dirinya. Bukankah hal yang biasa kalau anak perempuan itu sangat dekat dengan sang ayah ketimbang dengan sang ibu?

Jika putrinya selalu lengket dengannya. Putranya, Langit sangat lengket dengan ibunya.

Mengingat kenangan-kenangan indah itu membuat Ken merasa ingin memutar waktu saja.

"Putri Papa, bagaimana kabarmu, Nak? Kamu baik-baik saja kan di sana." Memeluk erat figura itu.

Seandainya anaknya itu masih hidup pasti sudah besar dan akan tumbuh menjadi gadis yang canitk. Ken sangat yakin dengan hal itu.

"Papa rindu denganmu." Mulai terisak.

Seperti inilah dirinya jika teringat dengan sosok putrinya itu. Ken yang terlihat cool akan berubah menjadi sosok serapuh ini.

Perjalanan hidupnya sangatlah penuh dengan lika-liku. Dulu, ia harus tinggal di panti asuhan selama belasan tahun lamanya. Pernah hampir menjadi buta dan terbunuh. Dan lima belas tahun silam ia malah harus kehilangan putri tercintanya.

Takdir begitu kejam kepadanya. Baru lagi merasakan kebahagiaan sesaat, ia malah harus merasakan kepedihan seumur hidup.

"Papa sangat ingin bertemu denganmu." Semakin terisak. Biarlah ia dianggap sebagai pria tua yang cengeng. Ken tidak peduli dengan semua itu.

Ken terus terisak. Dan tanpa pria itu sadari kalau Karina tengah berada di depan pintu kamar. Di celah pintu yang tidak tertutup sempurna itu, ia bisa melihat semuanya. Melihat sang suami yang tengah menangis pilu.

"Mama tahu hal ini sangat berat untukmu, Pa. Namun, tahukan kamu kalau aku paling menderita di sini? Aku adalah seorang Ibu yang harus kehilangan anaknya. Anak yang dikandung selama sembilan bulan kemudian dibesarkan dengan rasa kasih sayang."

"Tentu hatiku begitu sakit dan hancur berkeping-keping rasanya. Selain itu batinku sangat tersiksa melihatmu begitu membenci anak yang tidak bersalah."

Karina menatap sendu ke arah suaminya. Ia sangat tidak ingin takdir seperti ini yang harus dihadapi oleh keluarganya itu.

Ikhlas. Mungkin kata itu yang harus ia tanamkan selalu dalam hatinya. Ikhlas merelakan putrinya yang sudah tenang di surga sana. Tuhan sangat menyanyangi anaknya itu makanya diambil begitu cepat. Bukankah semua orang akan menghadapi sebuah kematian? Hal itu hanya lebih cepat saja untuk putrinya.

Dengan adanya Mentari, jujur Karina merasa tidak terlalu sedih atas kepergian putrinya yang begitu cepat.

***

"ASTAGA!" pekik Princess kaget.

Mulutnya terbuka lebar tatkala melihat makalah yang sudah begitu susah payah dikerjakannya itu berakhir tragis seperti ini. Kopi sialan itu sungguh sudah membuat makalah indahnya menjadi hancur lebur seperti ini.

"Makalahku." Princess merasa jantungnya hampir tidak bisa berdetak rasanya. Sudah banyak waktu yang ia habiskan untuk membuat makalah itu. Ia bahkan rela begadang dan membiarkan mata cantiknya itu mempunyai kantung hitam besar yang sangat menjengkelkan. Princess adalah tipe gadis yang begitu memperhatikan penampilan. Ya, walaupun sampai sekarang status jomblo happy masih disandang gadis cantik itu.

Banyak pria yang menyatakan cinta kepadanya, tetapi semuanya harus menerima rasa kecewa akan perasaan yang tidak terbalas. Bukan Princess ingin bersikap jahat. Dirinya memang benar tidak tertarik kepada mereka semua. Sampai sekarang belum ada pria yang bisa meluluhkan hatinya sama sekali.

"HEY, LO YA!" Geram Princess. Wajahnya mendongak untuk melihat gerangan yang sudah menabraknya.

"Maaf, saya tidak sengaja. Lagipula, kamu juga salah tidak melihat jalan dengan benar."

WHAT?! Ingin sekali Princess memaki.

Permintaan maaf apa itu? Jelas terdengar tidak tulus dan ikhlas.

"Sabar Incess. Kamu nggak boleh emosi. Ini di kampus." Princess menarik nafasnya dalam-dalam kemudian menghembuskannya. Berulang-ulang dia melakukannya. Ia memutuskan untuk berbicara sopan kepada pria minus akhlak dihadapannya itu.

Princess bisa saja memaki pria di depannya itu saat ini juga. Pria yang terlihat sangat dewasa. Sepertinya pria itu tidak pernah ia lihat sebelumnya.

"Tuan yang terhormat! Kopi Anda itu sudah membuat makalah saya menjadi seperti ini." Berusaha untuk tenang.

Pria itu terlihat santai. "Lantas?"

"Lantas?" Princess terlihat tidak percaya. Baru kali ini ia bertemu dengan makhluk semenyebalkan ini.

"Anda harus tanggung jawab!"

"Tanggung jawab apa! Saya sudah meminta maaf. Sudahlah. Saya sangat sibuk." Hendak pergi.

Namun, langkahnya langsung dihadang oleh Princess. "Enak saja. Maaf aja nggak guna tau!" Sepertinya dirinya sudah tidak bisa lagi berkata sopan.

"Lo harus tanggung jawab dengan ikut ke ruangan gue, setelah itu lo jelasin sama dosen kalau lo yang udah buat hasil kerja keras gue begini." Menatap tajam.

Pria itu tersenyum miring. "Maaf Nona. Anda ini sangat berlebihan sekali. Jelas-jelas semuanya bukan murni kesalahan saya. Lihatlah, di sana ada CCTV. Saya bisa saja membela diri jika anda begitu ngotot." Melengos pergi begitu saja.

Princess terpaku dibuatnya. Memang benar sich ini, jika semua itu bukan murni kesalahan pria itu. Namun, tetap saja pria itu bersalahkan?

Princess mengepalkan kedua tangannya erat. "DASAR LO TUA BANGKA YANG NGGAK PUNYA HATI NURANI." Princess berteriak sekuat tenaga. Masa bodoh dengan citranya yang akan buruk karena sudah berkata kasar begitu di area kampus. Ia tidak peduli sama sekali. Persetan dengan semuanya.

Dirinya benar-benar kesal setengah mati dengan pria sialan itu.

Matanya menatap nanar ke arah makalah yang harus dikumpulkan hari ini. Akibat tumpahan kopi itu, tulisan makalahnya sebagian tidak bisa dibaca.

"Sial banget nasib gue hari ini. Alamat dimarahai Pak Bara," ucapnya nelangsa.

Bisa Princess bayangkan dirinya yang akan dimarahi habis-habisan oleh Pak Bara. Dosen yang terkenal galak dan tidak segan-segan mempermalukan mahasiswa yang tidak tunduk dan taat dengan semua aturan.

Untuk kembali ke rumah mengambil Flashdisknya yang tertinggal, rasanya sangat mustahil. Hal itu memerlukan waktu yang lumayan. Dirinya pasti akan terlambat. Dan hal itu akan lebih mengerikan lagi.

"Inces, inces. Kenapa lo ini bisa lupa dengan hal sepenting itu?" Princess memukul-mukul kepalanya pelan. Ia begitu menyesali sikap pelupanya yang berujung petaka begini.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel