Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 5

Semilir angin menyapu dan menggelitik kulit wajah Mentari. Senyum mengembang di wajah cantiknya itu. Gadis cantik yang mempunyai mata besar dan bulu mata lentik itu hanya seorang diri saja di tempat ini. Tempat ini adalah pavoritnya di kampus. Atap. Di sinilah seorang Amanda Mentari berada.

Di jam istirahat begini, tempat ini memang rutin sekali ia kunjungi. Tidak ada satu pun temannya di sini. Atau lebih tepatnya, tidak ada yang mau berteman dengannya. Hal itu dikarenakan statusnya yang terkenal dengan anak pembunuh dan anak haram.

Memang menyedihkan hidup yang harus ia jalani. Dunia ini seolah menolak dirinya habis-habisan. Namun, bukan berarti begitu seorang Mentari tidak bersyukur kepada Tuhan sang Maha pencipta.

"Sejuk banget." Menikmati semilir angin.

Di saat yang bersamaan. Muncullah sosok pria tampan berkulit seputih susu. Orang itu tak lain adalah Prince Dwy William. Ia memang cukup sering ke mari. Tidak sesering Mentari sich. Karena hal itu akan mencurigakan. Ketiga sahabatnya pasti akan curiga dengan dirinya yang selalu bilang ingin ke perpus. Namun, malah berakhir di tempat ini.

Diliriknya gadis cantik yang mengenakan kaos lengan panjang berwarna hitam disertai dengan rok panjang hitam pula. Rambut gadis cantik di depannya itu tidak dikepang seperti biasa. Tak lupa kacamata tebal yang selalu dikenakannya.

Jika semua orang mungkin akan menilai penampilan Mentari saat ini benar-benar kampungan dan norak. Namun, tidak dengan Prince. Semua orang bisa berkata kalau Mentari itu jelek, kutu buku, culun, dan lain sebagainya. Bagi Prince, sosok Mentari sangat cantik. Paling cantik dari semua gadis yang ada di kampus ini.

Pria tampan yang memiliki lesung pipi itu langsung duduk di sebelah Mentari. Mentari yang terlalu asyik menikmati semilir angin sampai tidak sadar kalau di sampingnya sudah ada sosok Prince yang tengah menatapnya.

"Ekhm." Berdehem pelan.

Sontak saja gadis cantik yang semulanya terpejam itu langsung membuka mata dan menatap ke samping. "Prince?" cicitnya pelan. Ia begitu kaget melihat sosok Prince berada di sini. Memang sich pria itu selalu saja pergi ke sini. Namun, seharusnya pria itu sedang berkumpul dengan gengnya kan? Sebab tadi tak sengaja Mentari melihat gerombolan empat pria tampan dan paling populer di kampus sedang duduk-duduk nyantai di kantin.

"Ah, ternyata kamu tahu juga namaku, ya. Aku pikir nggak tahu tuh." Tersenyum lembut.

Mentari balas tersenyum, tetapi hanya sebuah senyuman kaku. Tidak mungkinlah dia tidak tahu nama pria yang sedang duduk di sampingnya ini. Bahkan mahasiwa baru saja pasti tahu siapa itu Prince bersama ketiga pria tampan lainnnya.

"Sedang apa?" tanya Prince.

"Tidak ada. Hanya ingin di sini saja," sahutnya gugup.

Bagaimana mungkin Mentari tidak gugup harus berhadapan dengan pria tampan seperti Prince. Mungkin, kalau gadis lain akan pingsan. Ini saja, jantungnya berdegup tak karuan karena berada dekat dengan pria yang tengah mengenakan kemeja panjang putih dipadukan celana jeans hitam.

Kulit pria itu yang seputih susu sampai menyatu dengan warna bajunya. Bisa Mentari tebak kalau Prince begitu menyukai semua yang berbau putih. Lihatlah, sepatu pria itu juga putih.

"Sudah makan siang?" Lagi-lagi Prince bertanya. Dirinya seolah sudah sangat dekat dengan Mentari. Padahal, mereka tidak sedekat itu.

Mentari menggeleng pelan.

"Kebetulan kalau begitu. Aku juga belum makan."

Perkatan Prince itu jelas membuat Mentari bingung. Jelas-jelas Mentari tadi melihat sosok Prince di kantin. Jadi, tidak mungkinkan belum makan. Dahinya kini tengah berkerut sempurna.

Prince yang seakan tahu dengan pikiran Mentari itu langsung berujar, "Di kantin tadi aku tidak berselera, tetapi di sini aku malah kelaparan."

"Kita makan bareng ya. Kebetulan Mamaku masak bekal banyak hari ini." Prince terlihat antusias.

Mentari tak langsung mengiyakan ajakan pria itu. Dirinya terlihat berpikir sejenak.

"Sepertinya bukan ide yang buruk makan bersamanya. Aku juga laper. Tadi, nasi gorengnya kan tidak habis karena harus buru-buru pergi," batin Mentari.

"Ya sudah. Kita makan di sana ya. Saya juga bawa bekal."

Prince mengangguk senang. Mereka pun beranjak dari duduknya menuju sebuah bangku panjang yang tak jauh dari sana. Biasanya, memang di sana Mentari memakan bekalnya. Dirinya bisa dikatakan hampir tidak pernah makan di kantin. Itu bukan karena dirinya tidak punya uang atau apa. Mama Karina selalu memberikannya uang saku yang nominalnya lebih dari cukup.

Alasannya tidak makan di kantin hanya satu. Ia takut akan diganggu oleh Langit ataupun para gadis yang terang-terangan membencinya.

Keduanya duduk saling berhadapan.

"Apa aku boleh mencoba bekalmu?" tanya Prince ragu.

"Tentu saja." Mentari tersenyum tipis.

Hal itu tentu saja membuat seorang Prince begitu kesenangan. Keduanya pun akhirnya saling berbagi makanan satu sama lain.

Mentari tidak tahu mengapa kalau kali ini dirinya bisa merasa nyaman dengan orang asing. Jika saja boleh, ia ingin sekali berteman dengan pria tampan di hadapannya ini.

"Sudahlah Mentari. Jangan terlalu banyak bermimpi kamu. Dengan dirinya bersikap baik dan mau berada di dekatmu saja, syukur." Mentari berkata dalam hati. Dirinya harus sadar diri kalau berteman dengan pria seperti Prince adalah sesuatau yang mustahil.

Tak membutuhkan waktu lama hanya sekitar sepuluh menit saja. Kotak bekal berwarna pink dan putih itu sudah tandas tak tersisa.

Prince terlihat kebingungan. Ia lupa membawa botol minumnya. Pasti ketinggalan di kelas. Dirinya benar-benar sangat kenyang dan butuh air saat ini.

Mentari yang baru saja menghabiskan setengah isi botol minumnya itu sedikit melirik ke arah Prince.

"Apakah Anda mau minum air bekas saya ini?" tanya Mentari ragu-ragu.

Prince menatap Mentari tidak percaya. Benarkah gadis cantik di depannya itu menawarkan minuman itu kepadanya?

"Ah, maaf. Anda pasti tidak mau ya." Mentari merasa sedikit malu. Mulutnya ini sudah sangat lancang. Bisa-bisanya ia menawarkan air minum bekasnya kepada seorang Prince. Benar-benar sudah melewati batas walau niatnya adalah untuk menolong pria bekulit seputih susu itu yang seperti sedang kehausan.

"Siapa bilang. Aku sangat membutuhkannya." Mengambil botol minum dari tangan Mentari.

Prince langsung meneguk botol yang airnya tinggal setengah itu dengan sekali teguk.

Mentari tanpa sadar tersenyum. Ia senang kalau Prince terlihat tidak merasa jijik sama sekali meneguk botol minum bekasnya itu.

"Terima kasih." Prince menyerahkan botol minum berwarna pink bergambar kelinci kepada sang empunya.

"Sama-sama."

Bertepatan dengan itu. Bel lonceng masuk pun terdengar.

"Sudah masuk. Ayo kita bergegas." Tanpa sadar Mentari menarik tangan Prince untuk mengikutinya.

Prince tentu sedikit kaget. Namun, tak lama setelah itu ia pun tersenyum. Dirinya benar-benar senang bisa digandeng oleh gadis pujaan hatinya itu. Sepertinya, hubungannya dengan Mentari sudah mulai ada kemajuan.

Di saat yang sama pula, terlihat seorang pria tampan tak jauh dari keduanya tengah mengepalkan tangannya erat. "Dasar gadis jalang!" makinya.

***

"Prince pulang, Ma." Langsung memeluk sang Mama yang tak lain adalah Indry.

"Eh, anak bontot Mama udah pulang." Membalas pelukan sang anak.

Satu menit kemudian, pelukan keduanya akhirnya terlepas. Prince tak henti-hentinya tersenyum.

"Sepertinya anakku ini sedang senang sekali," batin Indry merasa geli. Sangat jarang sekali anak bungsunya itu tersenyum seperti ini. Biasanya mah selalu pasang wajah datar seperti tembok.

"Tumben lo senyum kayak orgil gitu!" ujar gadis cantik yang sedang menonton TV sambil memakan cemilan berupa keripik kentang.

Bukannya marah. Prince malah semakin mengembangkan senyumnya.

"Hay kakakku sayang." Memeluk sang kakak yang hanya berbeda sepuluh menit saja darinya.

"Ih, kenapa nih anak! Lepas! Jijik banget gue!" Mendorong tubuh sang adik jauh-jauh.

"Princess, jangan seperti itu kepada adikmu," ingatkan Indry.

"Ya udah. Prince pamit mau ke kamar."

"Iya sayang. Nanti malam turun ya untuk makan malam," ingatkan Indry.

"Pasti Ma." Prince mengacungkan kedua jempolnya dan setelah itu bergegas menaiki anak tangga untuk menuju kamarnya.

"Idih! Anak itu pasti kesambet. Aneh banget!" kata Princess.

Indry hanya geleng-geleng kepala melihat kedua anaknya yang sejatinya tidak pernah akur itu. Namun, benar juga yang dikatakan oleh putri sulungnya itu. Tidak biasanya Prince memeluk dan memanggil Princess dengan sebutan kakak. Biasanya, anak laki-lakinya itu selalu memanggil anak perempuannya dengan nama. Ataupun menambahkan embel-embel 'nenek lemper'.

"Mama mau ke kamar adikmu dulu ya," pamit Indry tiba-tiba. Entah mengapa dirinya mendadaka kepo dengan apa yang telah terjadi kepada sang anak. Ia memutuskan untuk bertanya kepada Prince.

Princess hanya bisa menghembuskan nafas kasar dan memutar bola matanya malas. Jiwa kepo Mamanya itu tidak pernah hilang ternyata. Syurkurnya di rumah ini hanya Mamanya saja yang begitu. Padahal, sebenarnya Princess juga seperti Mamanya. Sama-sama kepo. Hanya saja gadis cantik yang berambut pirang dengan mata sipit seperti Louis itu tidak menyadarinya.

Princess Dewy Williama atau yang sering disapa Princess atau Incess adalah gadis cantik yang ngomongnya ceplas-ceplos seperti sang Mama. Mudah tersenyum dan marah. Sangat manja kepada Papanya dan selalu bertengkar dengan adiknya yaitu Prince.

Ia kuliah di kampus yang berbeda dengan sang adik. Sedari SMP dirinya memang tidak pernah satu sekolah dengan adiknya itu. Alasannya simple, jika dia satu sekolah dengan Prince seperti di Sekolah dasar. Mereka pasti akan sering bertengkar. Sampai wali kelas begitu bingung menghadapi keduanya.

Karena itu, Indry dan Louis sepakat untuk tidak menyatukan anak-anak mereka di sekolah yang sama. Jika Prince kuliah di jurusan ekonomi berbeda dengan Princess yang mengambil jurusan Pendidikan.

Kalau Prince bilang, kakaknya itu sangat tidak pantas mengambil jurusan begitu mengingat Princess yang ngomongnya ceplas-ceplos da nasal jeplak. Sangat tidak memenuhi kriteria sebagai seorang pendidik.

Belum lagi, Princess adalah orang yang sangat mudah sekali marah. Menurut Prince, anak muridnya pasti akan menangis dan tidak mau diajar lagi oleh sang kakak.

Di lain sisi.

Terlihat Mentari sedang berada di dapur. Dia sudah menyelesaikan semua cucian piring kotor yang jumlahnya tidak terlalu banyak mengingat rumah ini yang hanya ada empat orang saja penghuninya. Ia pulang terlebih dahulu dibandingkan dengan Langit yang belum pulang sama sekali.

Ia saat ini sedang memotong sayuran untuk membuat makan malam.

Tadi, ketika pulang. Suasan rumah begitu sepi. Bisa Mentari tebak kalau sang Mama pasti tengah tertidur. Karena memang seperti itu biasanya.

Maklumlah, Mamanya itu juga bekerja. Hanya saja pulangnya lebih awal dari sang Papa.

"Sayang, kamu udah pulang?" Karina terlihat kaget dan langsung menghampiri sosok Mentari.

Sudur bibir Mentari tertarik ke atas. "Iya Ma. Hari ini salah satu dosen tidak masuk di jam akhir. Jadi, lebih cepat pulang."

"Ah ternyata begitu." Karina manggut-manggut. Ia langsung mengambil alih pekerjaan Mentari yang tengah memotong sayur.

"Loh Ma kok diambil? Biar Mentari aja."

"Sebaiknya kamu istirahat, Sayang. Biar Mama aja yang masak."

"Tapi, Ma_"

"Sudahlah. Untuk hari ini saja kok. Besok kalau memang kamu sudah pulih betul baru boleh bantuin Mama kayak biasa." Mengelus-ngelus rambut Mentari dengan sayang.

"Ah iya. Langit juga sudah pulang kan?" tanya Karina tiba-tiba teringat anak laki-lakinya itu.

Mentari menggeleng. "Belum, Ma. Tadi Mentari pulang naik bus."

Karina mendesah kecewa. "Kenapa sich kalian ini tidak pernah pulang bareng?"

"Maaf, Ma." Mentari langsung menundukkan kepalanya.

"Kamu tidak usah minta maaf sayang. Sudahlah, istirahat sana."

"Baik, Ma." Dengan langkah terburu Mentari langsung menaiki anak tangga satu persatu. Ia takut kalau-kalau Mama angkatnya itu akan mencercanya dengan sebuah pertanyaan. Pertanyaan dimana dirinya tidak pernah pulang bersama dengan Langit.

"Aku harus berbicara dengan Langit nanti." Karina bermonolog.

Akan ia pastikan kalau mulai sekarang, kedua anaknya itu akan selalu pulang bersama. Kasian Mentari yang pasti tidak nyaman harus naik bus.

Tak lama setelah itu, sosok Langit akhirnya pulang juga. Bisa ia lihat kalau suasan rumah begitu sepi. Hanya terdengar suara keran yang berasal dari dapur.

"Dia pasti sedang memasak. Lebih baik aku ke sana. Aku harus memberinya peringatan untuk tidak ganjen kepada Prince." Mempecepat langkahnya.

"Eh, gadis sialan! Lo jangan ganjen ya sama_" ucapannya seketika terhenti ketika mendapati sosok Mamanya yang berada di dapur bukan Mentari.

"Langit? Kamu sudah pulang Nak?"

Langit langsung memasang senyum lebar. Sepertinya Mamanya itu tidak mendengar apa yang telah ia ucapkan. Pasti karena suara air keran yang begitu kuat.

Karina pun mematikan air keran dan berjalan ke arah putranya itu.

"Kamu tadi bilang apa, Nak? Mama tadi nggak denger."

Cepat-cepat Langit menggeleng. "Ah, tidak ada Ma. Paling Mama salah denger tadi." Berkata setenang mungkin.

"Benarkah?"

"Iya."

"Ya sudahlah. Karena kamu baru pulang pasti capek. Istirahat sana gih."

"Hmm iya Ma. Oh iya, Mentari mana ya?" Langit menyapukan pandangannya. Ia terlihat mencari sosok gadis yang sedari tadi membuat hatinya kesal.

Di kampus tadi ketika ingin mencari Prince yang ternyata tidak berada di perpus malah melihat sosok Mentari tengah menggandeng tangan sahabat sekaligus sepupunya itu. Jujur, Langit sangat tidak suka dengan itu semua.

Ia tidak suka kalau Mentari dekat dengan Prince. Bukan ia cemburu atau apa ya. Jelas hal itu tidak mungkin baginya. Ia hanya tidak suka gadis rendahan dan tidak sederajat seperti Mentari mendekati sepupunya itu. Hal itu akan merusak nama baik keluarga besarnya.

Mentari dan Prince sangatlah tidak sederajat. Bagaikan langit dan bumi. Walaupun Mentari telah diangkat menjadi anak oleh mamanya itu. Tetap saja gadis itu hanyalah anak angkat belaka.

"Mentari mama suruh istirahat. Wajahnya masih pucat begitu. Mama tidak tega membiarkannya kecapean," terang Karina.

"Cih! Lagi-lagi mama sangat peduli kepadanya!" ujar Langit dalam hati. Tentu hal itu sangat tidak disukainya. Kapan sich Mamanya itu membenci sosok Mentari? Dirinya benar-benar begitu muak.

"Dan ada hal yang ingin mama sampaikan padamu, Nak." Seketika Karina memasang wajah serius. Sepertinya ia harus segera menyampaikan hal ini.

"Ada apa ma?" Tiba-tiba saja perasaan Langit langsung tidak enak. Sebenarnya apa yang akan disampaikan oleh wanita yang telah melahirkannya itu? Mentari tidak mungkin mengadu tentang apa yang sudah diperbuatnya kepada sang Mama kan?

Tidak! Pasti bukan karena hal itu. Ia sangatlah mengenal sosok Mentari. Mentari mana ada keberanian untuk menyampaikan semuanya. Gadis cantik yang bernasib malang itu hanya bisa diam tanpa melakukan hal apapun.

Dibully dan dihina saja olehnya dan teman-teman kampus. Mentari hanya diam. Tidak ada perlawanan sama sekali. Hanya terlihat pasrah saja.

"Kamu nggak ada masalah apapun dengan Mentari kan?"

Deg.

Jantung Langit seakan berhenti berdetak. Bagaimana ini? Apakah Mamanya sudah mengetahui semuanya? Apa benar jika gadis itu mengadu? Gawat.

Karina mengerutkan keningnya melihat respon anaknya yang aneh. Anaknya itu terlihat cemas. "Langit?"

"Eh Ma. Maksud Mama kenapa bertanya seperti itu?"

"Jawab dulu pertanyaan Mama jangan bertanya balik."

"Langit sama Mentari tidak ada masalah apapun kok. Kami cukup dekat satu sama lain." Langit memaksakan senyumnya. Untung saja dirinya tidak terlalu gugup dan Mamanya itu tipe orang yang tidak peka.

"Kamu jujur kan?" Karina menatap sang anak intens.

Langit mengangguk cepat. "Iya dong. Untuk apa Langit bohong coba. Nggak ada gunanya."

"Syukurlah kalau begitu." Bernafas lega.

"Mama senang mendengarnya. Kalau begitu, mama harap kalian kedepannya akan pulang bersama. Bukan hanya berangkat saja."

"Maksud Mama?"

"Mama maunya kamu kalau ke kampus berangkatnya sama-sama Mentari pulangnya juga begitu. Kalian ini kan saudara. Jadi harus saling membantu. Kasian dia harus naik bus."

"Tidak sudi aku mempunyai saudara sepertinya." Langit berkata dalam hati.

"Baik Ma."

"Baguslah kalau begitu. Di kampus, kamu harus selalu memperhatikannya ya. Mama rasa ada orang yang sudah berbuat jahat kepada Mentari."

Kedua alis Langit berkerut sempurna.

"Mama lihat kalau Mentari banyak mempunyai bekas luka. Pasti ada orang yang selalu menyiksanya. Mama harap kamu bisa menemukan orangnya. Setelah itu lapor ke mama."

"Uhuk!" Langit terbatuk-batuk dibuatnya.

Ya Tuhan! Bisa habis dirinya kalau sang Mama tahu yang sebenarnya. Ialah pelaku yang disebutkan mamanya itu.

'Sialan! Bagaimana ini? Ternyata mama sudah melihat bekas-bekas luka itu."

"Paling itu hanya luka biasa. Setahu Langit, tidak ada satu pun orang yang menggangu Mentari. Kami ini sekelas. Bisa aja luka itu didapat karena kecerobohannya."

Karina menggeleng kuat. Jelas, ia tidak setuju dengan apa yang dikatakan oleh sang anak. "Tidak! Bekas lukanya begitu banyak. Mama sangat yakin kalau bekas-bekas itu dilakukan oleh seseorang." Karina bersikeras.

Tak ingin membuat sang mama curiga. Langit pun dengan berat hati berkata, "Ya sudah Ma. Mulai besok Langit akan mengawasi dan menemukan orang yang telah berani menggangu Mentari."

Mendengarnya, Karina pun tersenyum senang. Anaknya itu memang pria yang baik hati. "Baguslah kalau begitu. Mama senang mendengarnya."

"Sialan! Aku harus mengintrogasinya segera. Pasti dia sengaja menunjukkan bekas-bekas lukanya itu kepada Mama," batinnya geram. Akan ia pastikan kalau malam ini Mentari tidak akan tidur nyeyak.

Di kamar.

Mentari membaringkan tubuhnya yang sudah segar. Aroma sabun mint begitu menyeruak di indera penciumannya. Ia memang sangat menyukai semua yang berbau mint. Alat-alat mandinya pasti beraroma mint. Mamanya itu memang sangat memperhatikannya.

Senyum lebar menghiasi wajahnya. Hari ini dirinya begitu senang. Senang karena ingatan akan Prince muncul. Benar-benar hari yang indah. Ia merasa mempunyai seorang teman sekarang.

Ucapan pria itu yang mengatakan akan selalu makan siang dengannya di rooftop tentu membuatnya bahagia setengah mati. Itu tandanya ia tidak akan sendirian lagi.

"Ah iya, kadonya." Mentari langsung bangkit dan berjalan ke arah lemari pakaiannya.

"Aku lupa untuk memberikannya ini." Mentari menatap kotak berukuran sedang berwarna putih lengkap dengan hiasan pita diatasnya. Dirinya benar-benar lupa untuk memberikan kado ini kepada pria yang bernama Prince itu.

Hitung-hitung kado ini sebagai ucapan terima kasihnya kepada Prince yang selama ini telah membantunya.

"Besok aku harus memberikannya. Semoga saja dia suka." Mentari memeluk kotak itu erat. Besar harapannya kalau Prince akan suka dengan kadonya ini. Kado berupa baju rajut yang ia buat sendiri.

Cklek.

Terdengar suara pintu dibuka. Mentari langsung mendongakkan kepalanya dan cepat-cepat menyembunyikan kotak itu. Ia sudah bisa menebak siapa yang masuk kali ini. Siapa lagi kalau bukan Langit yang selalu suka masuk kamarnya sesuka hati. Jika sampai ia mengunci pintu. Pria itu pasti akan mengirim pesan makian untuknya.

Untuk memaki secara langsung. Hal itu hanya bisa dilakukan kalau sosok Karina dan Ken tidak ada.

"Enak banget lo ya bisa santai-santai gini sedangkan mama gue capek di dapur!" sinis Langit memperhatikan Mentari yang sedang duduk di tepi ranjang.

"Maaf." Mentari langsung menundukkan kepalanya.

Lagi-lagi seperti ini. Dirinya tidak akan pernah bisa berdaya melawan seorang Langit. Hanya kata maaf yang bisa ia katakana kepada pria beralis tebal itu.

Langit berdecak sebal. "Gue benar-benar muak harus denger kata maaf lo yang nggak guna itu!" Menatap Mentari tajam.

Tidak ada respon apa-apa dari Mentari. Gadis yang tengah memakai dress selutut dengan rambutnya yang basah itu hanya bisa terus menunduk. Dia tidak akan pernah berani menatap Langit secara terang-terangan. Pria itu begitu mengerikan untuknya.

Dengan langkah cepat, Langit menuju ke arah Mentari. Mentari menggigit bibir bawahnya kuat karena takut. Ia takut kalau Langit akan menyakitinya. Seketika matanya pun terpejam.

"Ah sial!" Langit mengibaskan tangannya kesal.

Ia harus bisa mengontrol emosinya kali ini. Kalau tidak ia akan keterusan. Di rumah sekarang sedang ada mamanya. Jadi, dirinya tidak akan bisa leluasa untuk memberi pelajaran kepada gadis sialan di depannya itu.

"Lo beruntung kali ini karena ada Mama di rumah. Jika tidak, gue sudah menjambak rambut lo itu!" Menggertakkan giginya.

Langit memperhatikan tubuh Mentari yang terlihat bergetar.

"Mulai besok lo akan pulang sama gue."

Tak ingin berlama-lama, Langit pun langsung bergegas untuk meninggalkan kamar itu.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel