Bab 4
Karina tidak bisa memejamkan matanya. Sedari tadi dirinya berusaha untuk memejamkan matanya. Namun, hasilnya nihil. Tentu saat ini sudah larut. Bisa Karina lihat jarum jam yang telah menunjukkan pukul sebelas malam.
Netranya memandang langit-langit kamarnya yang berwarna putih itu. Alasannya tidak bisa tidur seperti ini karena begitu kepikiran dengan Mentari. Anak dari almarhum Lisa. Lisa ternyata bukanlah sepupunya. Dia bukan anak kandung dari omnya itu. Melainkan anak dari pria lain. Ibunya Lisa saja yang mengaku-ngaku.
Namun, walau begitu. Karina tetap menganggap sosok Lisa sebagai keluarganya. Almarhum Lisa dulu memang pernah berbuat jahat di masa lalu, tetapi itu sudah lama berlalu. Lisa sudah berubah. Sayang, wanita cantik itu harus pergi dengan cepat. Mentari tidak terlalu mirip dengan Lisa. Hanya mata dan hidungnya saja yang mirip. Selebihnya mirip Adam.
Adam. Pria yang sudah membuat hatinya patah hati lebih dari sekali. Dulu, ketika masih berstatus sebagai tunangan pri itu. Adam melukai hatinya dengan berselingkuh. Dan yang kedua adalah ketika Adam membunuh putrinya lima belas tahun silam. Pria berwajah teduh itu begitu kejam kepadanya.
"Ma, kenapa belum tidur?" Ken memeluk sang istri yang masih terjaga itu.
"Mama belum mengantuk, Pa," jujurnya.
Mendengarnya, Ken hanya bisa tersenyum salah satunya mengelus pipi istrinya dengan sayang. Masih bagaikan mimpi bagi seorang Ken bisa hidup dengan Karina selama ini. Lebih dari dua puluh tahun lamanya. Mereka sudah tidak lagi muda. Dalam hitungan tahun, mungkin anak semata wayang mereka Langit akan menikah dan mereka akan mempunyai cucu.
Karina membalikkan tubuhnya yang awalnya telentang menjadi menghadap sang suami. Netra keduanya pun bertemu.
"Kamu sedang memikirkan apa?" Ken bisa menebak kalau istrinya itu pasti tengah memikirkan sesuatu sampai tidak bisa tidur begini. Ia sangatlah mengenal istrinya itu.
"Aku memikirkan Mentari, Pa."
Sontak, Ken langsung memasang wajah tidak suka. Karina tahu kalau suaminya itu pasti tidak akan suka dengan dirinya yang menyebut nama Mentari. Ken memang membenci Mentari karena sosok Adam.
Namun, menurut Karina hal itu sangatlah tidak adil untuk gadis malang itu? Mentari tidaklah bersalah di sini. Gadis malang itu seharusnya tak patut untuk dibenci. Namun, apalah daya dirinya. Sudah berulang kali dirinya berkata kepada sang suami untuk mulai menyanyangi dan tidak membenci sosok Mentari.
Hal itu sama sekali tak pernah dihiraukan oleh suaminya itu. Karena itu dirinya hanya pasrah saja. Setidaknya sang suami sudah berjanji untuk tidak menyakiti gadis yang paling disayanginya itu. Hal itu sudahlah cukup.
"Pa, tolong dengarkan Mama ya," pintanya. Ia memasang wajah memelas.
Hembusana nafas lolos begitu saja dari bibir Ken. Kalau sudah begini, mana tega dia dengan sang istri. Wantia yang paling dicintainya dan ibu dari anak-anaknya.
"Baikhlah." Akhirnya dengan terpaksa Ken mengangguk. Kali ini, ia akan mendengarkan sang istri yang pasti akan menceritakan sosok Mentari.
Karina tersenyum senang mendengarnya.
"Terima kasih." Melayakangkan sebuah kecupan singkat di bibir.
Karina menarik nafasnya dalam dan hal itu bisa dirasakan oleh Ken.
"Mama sangat heran dengan keadaan Mentari. Tubuhnya banyak terdapat bekas luka. Dan jujur hal itu membuat Mama begitu bertanya-tanya. Sebenarnya apa yang sudah terjadi?" Karina mengatakan hal yang sedari tadi menggangu pikirannya.
Ken hanya diam. Dirinya jelas tidak tahu. Ia tidak pernah tahu kalau gadis yang sangat disayang oleh sang istri begitu keadaannya. Tentu saja dirinya tidak tahu. Selama ini, Ken tidak peduli dengan sosok Mentari sama sekali.
Karina terlihat berpikir. Ia mengingat bekas-bekas luka Mentari yang dilihatnya tadi. Ia menyalahkan dirinya sendiri yang baru mengetahui hal seperti itu sekarang. Selama ini, Mentari memang selalu mengenakan pakaian yang begitu tertutup sampai kulit tubuhnya tak terlihat. Hal itulah yang mungkin membuat ia sampai tidak tahu dan baru tahu sekarang.
Mungkin, kalau Mentari tidak sakit seperti ini. Pasti sampai sekarang dia tidak akan tahu perihal hal itu.
"Mama yakin kalau luka-luka itu didapatkannya dari seseorang. Pasti ada yang menyiksanya."
Ken lagi-lagi terdiam. Sepertinya apa yang dikatakan istrinya masuk akal. Jika lukanya tidak banyak mungkin saja hal itu karena kecerobohan. Namun, jika luka-lukanya banyak berarti ada orang yang sengaja membuatnya.
"Sudahlah, Ma. Kan hanya bekas luka. Jangan terlalu dipikirkan."
Karina menggerutu kesal. "Bagaimana Mama tidak kepikiran coba. Bukan hanya ada banyaknya bekas luka di tubuh Karina. Kakinya juga membiru lho, Pa. Dia juga jatuh sakit seperti itu."
"Jadi, maunya Mama gimana?" Ken sudah tidak bisa mengatakan hal apapun lagi kecuali itu. Ia ingin tahu apa yang diinginkan oleh sang istri.
"Mama akan menyelidiki orang yang telah berbuat begitu kepada anak kita."
"Dia bukan anak kita," potong Ken. Sampai kapanpun, dirinya tidak akan sudi menganggap anak dari pria yang sudah membunuh putrinya itu sebagai anaknya. Tidak akan pernah bahkan sampai kiamat datang sekalipun.
"Pa,"
"Sudahlah, Ma. Lebih baik kita tidur. Ini sudah larut." Ken dengan cepat memejamkan matanya. Ia menarik sang istri ke dalam pelukannya.
Karina tentu diam. Tidak mungkin dirinya berkata-kata lagi kalau suaminya sudah bilang begitu. Kalau dirinya tetap nekat. Takutnya sang suami akan marah dan berujung memaki Mentai keesokannya harinya. Karina sangat yakin dengan hal itu. Karena hal itu pernah terjadi.
"Maafkan Mama yang baru tahu sekarang perihal kondisimu. Namun, Mama berjanji akan segera mencaritahu." Karina berkata dalam hati. Sejujurnya, dirinya merasa sedih karena suaminya ini belum bisa menerima sosok Mentari sebagai seorang anak.
Begitu malang nasib Mentari. Gadis muda itu harus kehilangan orang tua dan malah menanggung kebencian dari semua orang atas sesuatu yang tidak gadis itu perbuat.
***
Pagi hari yang cerah.
Semua anggota keluarga keluarga Pratama tengah berada di ruang makan. Mereka melakukan aktivitas yang tidak boleh dilewatkan yaitu sarapan.
"Makan yang banyak ya, sayang." Karina menambahkan nasi goreng ke piring Mentari setelah itu Langit.
Ken dan Langit memandang Mentari sengit. Karina tidak menyadarinya, tetapi Mentari sadar akan hal itu. Sudah sering sekali ayah dan anak itu memandangnya begitu sampai rasanya Mentari sudah terbiasa. Di rumah ini, hanya Karina seorang yang begitu peduli padanya dan sangat menyayanginya.
"Terima kasih, Ma." Mentari tersenyum tulus. Seandainya tidak ada sosok Karina di rumah ini. Dirinya tidak tahu akan memilih untuk melanjutkan hidup atau malah mengakhirinya. Karena Karinalah, Mentari merasa ada orang yang begitu sayang kepadanya. Karina adalah sumber kebahagiaannya.
"Sama-sama sayang. Jangan lupa nanti dimakan obatnya ya," ingatkan Karina.
Sebenarnya, Karina melarang Mentari untuk masuk kampus hari ini. Karena bagaimanapun, Mentari belum sembuh betul. Namun, Mentari terus meyakinkan wanita yang sudah dianggap sebagai Ibu kandungnya itu bahwa ia akan baik-baik saja.
"Iya, Ma," sahut Mentari sambil tersenyum simpul.
Ken menatap tajam ke arah Mentari. Jika saja boleh memilih, ia sangat tidak sudi untuk berada di satu meja makan yang sama dengan Mentari, seorang anak pembunuh. Namun, ia tidak ingin mengecewakan sang istri. Semua itu dilakukannya untuk sang istri tercinta. Karena itu, dia berada di sini.
"Aku jijik melihat wajah polosnya itu. Semakin aku melihatnya, kenangan menyakitkan itu semakin tergiang," batin Ken yang seolah melihat wajah Adam di Mentari.
Bukan hanya sosok ayah itu saja yang sangat tidak suka dengan Mentari. Sang anak juga sama. Langit sangat tidak suka kalau Mamanya begitu perhatian kepada Mentari. Mamanya itu hanya boleh perhatian dengannya saja.
"Sialan! Awas aja. Senyummu itu akan menjadi tangisan nanti," batin Langit sambil mengepalkan salah satu tangannya.
Mentari terus melahap nasi goreng yang dibuat oleh Karina. Hari ini dirinya tidak memasak seperti biasa. Biasanya, ia akan membantu Karina dan membuat bekal sendiri. Bekal untuknya dan juga Langit. Namun, kali ini semuanya Karina yang melakukan.
Kalau seandainya bisa, Mentari ingin berada di rumah untuk beristirahat. Tubuhnya masih terasa lemas. Kakinya juga masih sangat sakit untuk berjalan.
Sayangnya hal itu tidak bisa seorang Mentari wujudkan. Mana mungkin dirinya bisa cuti lagi. Jika hal itu sampai terjadi, ia sangat yakin Langit akan marah dan menyiksanya.
Tidak! Ia tidak ingin disiksa lagi. Biarkan sejenak dirinya tidak mengalami yang namanya penyiksaan.
"Aku sudah selesai." Langit langsung beranjak dari duduknya. Senyum terpancar dari wajah tampannya.
"Kamu mau langsung berangkat?" tanya Karina kepada sang anak.
"Iya, Ma. Ada tugas kelompok yang belum rampung," dustanya. Ia hanya beralasan saja. Tidak mungkin dirinya sampai belum merampungkan tugas kuliah apalagi itu tugas kelompok.
"Tumben." Karina tentu keheranan.
"Hehe. Iya, Ma. Semalamkan, Langit nggak masuk karena menjaga Mentari." Berusaha meyakinkan sang Mama.
"Ah, iya juga ya." Karina manggut-manggut.
"Ya udah, Langit berangkat ya." Mencium tangan sang Mama, selanjutnya tangan sang Papa.
"Hati-hati kamu ya, Nak." Ken tersenyum lembut kepada anaknya itu. Anak yang wajahnya sangat mirip dengannya. Bak pinang dibelah dua. Seandainya saja putrinya itu masih hidup. Pasti dia akan sangat cantik.
Karena Langit sudah hendak berangkat. Mentari juga bergegas.
"Mentari juga pamit ya." Menyalim tangan Karina.
"Iya sayang. Hati-hati." Mencium pipi Mentari secara bergantian.
Mentari hanya bisa memnbungkukkan badannya pelan pertanda hormat kepada Ken yang terlihat acuh. Untuk bersalim dengan ayah angkatnya itu sangatlah tidak mungkin. Mana sudi pria itu. Pernah sekali Mentari berusaha menyalim Ken. Hal yang dapatkan adalah sebuah makian. Karena itu, dirinya tidak pernah lagi lancang untuk mencoba menyalim tangan ayah dari pria yang bernama Langit.