Bab 3
Terlihat raut kesedihan yang begitu dalam di wajah wanita yang kecantikannya seolah tak pudar dimakan oleh waktu. Padahal, umurnya sudah memasuki kepala lima. Siapa lagi kalau bukan Karina.
Karina begitu sedih melihat gadis malang yang tengah terbaring lemah itu.
"Sayang, kenapa bisa sampai begini? Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa kakimu sampai membiru begitu?" Melirik ke salah satu kaki Mentari yang sudah dioleskan salep.
Bisa Karina lihat kalau lengan, leher dan wajah Mentari terdapat banyak bekas luka. Ia sangat tidak tahu kenapa bisa gadis cantik yang sudah ia anggap sebagai anak sendiri itu bisa memiliki luka begitu.
Cklek.
Suara pintu kamar dibuka. Ia langsung mengalihkan pandangannya untuk melihat siapa gerangan yang datang. Dan ternyata yang datang adalah suami dan anak laki-lakinya yang tampan.
"Ma, lebih baik kamu keluar. Biar Langit yang jaga Mentari di sini," titah Ken. Sejujurnya suami dari Karina itu tidak pernah menyukai sosok Mentari. Dengan melihat Mentari, wajah Adam langsung terbesit di kepalanya. Tentu Ken sangat tidak sudi dengan itu semua. Mengingat orang yang telah membunuh putrinya adalah sesuatu yang paling menjengkelkan dan menjijikkan di dalam hidupnya.
Jika saja bukan Karina memohon dan terus memaksanya. Ken sangat enggan harus membesarkan anak seorang pembunuh.
"Mama mau di sini, Pa," sahut Karina menolak.
"Papa sudah mengantuk. Lagian ini sudah malam Ma. Kita baru aja pulang." Ken tersenyum lembut sambil mendekati sang istri. Semoga saja, istrinya itu bisa mengerti. Jujur, ia memang sangat capek. Ingin cepat-cepat tertidur rasanya setelah menempuh perjalanan yang sangat jauh.
Dengan berat hati Karina pun mengangguk. Memang jam masih menunjukkan pukul tujuh malam. Itu artinya, masih terlalu dini untuk tidur. Namun, mengingat mereka yang sudah menempuh perjalanan jauh karena itu harus segera beristirahat.
Karina pun beranjak.
"Langit, jaga Mentari baik-baik ya, Nak." Mengusap bahu sang anak.
"Tentu, Ma." Tersenyum manis.
Melihat senyuman itu, Karina merasa lega. Anaknya itu pasti bisa menjaga Mentari sebaik mungkin.
"Mama sama Papa pamit, ya." Langit mengangguk. Seperti biasa sebelum orang tuanya itu tidur. Langit akan memeluk keduanya secara bergantian. Ia sangat menyayangi kedua orang tuanya itu. Menurut Langit, sosok keduanya begitu sempurna. Sampai rasanya, ia tak kekurangan kasih sayang barang sedikitpun. Hanya, sedikit iri saja melihat sang Mama yang begitu sayang dengan Mentari.
Pintu pun ditutup perlahan.
"Akhirnya mama dan papa pergi juga." Tersenyum miring. Dengan begini, ia bisa leluasan menyiksa Mentari.
Kamar kedua orang tuanya itu berada di lantai tiga. Jadi tidak akan mungkin bisa mendengar apapun nanti. Ditambah lagi orang tuanya sedang kelelahan pasti langsung tertidur.
Ken dan Karina tidak pernah tahu apa yang telah diperbuat anak laki-lakinya itu kepada Mentari. Ken memang membenci Mentari, tetapi pria yang sangat mirip dengan Langit itu tidak pernah menyiksa Mentari paling hanya mengatakan kata kasar. Itu pun jarang. Ken lebih sering diam dan memasang ekspresi datar jika bertemu dengan Mentari.
Langit bisa bebas menyiksa Mentari kalau keduanya sedang pergi, tidur dan juga ketika mereka berada di luar dan di kampus. Waktu dan tempat itu merupakan surga tersendiri bagi seorang Langit.
"Cih! Dasar lemah!" cemoohnya. Langit pun berjalan ke tempat Mentari berbaring.
Tanpa pikir panjang, Langit langsung menarik rambut gadis yang belum sadarkan diri itu.
Saking kuatnya tarikan Langit, Mentari pun langsung tersadar. Matanya terlonjak kaget.
"Akhirnya sadar juga lo!" Melepaskan tarikannya itu.
Mentari langsung berusaha duduk. Bisa ia lihat kalau saat ini dirinya sudah berada di kamar.
"Apa yang terjadi? Kapan aku masuk ke kamar? Dan ini, kenapa aku pakai diinfus segala?" batin Mentari bertanya-tanya. Seingatnya, ia tengah tertidur di ruang belajarnya.
"Enak banget lo ya. Gara-gara lo gue nggak kuliah." Menatap Mentari kesal.
Bukan hanya tidak kuliah. Langit juga harus memaksakan makanan buatanya itu masuk ke dalam mulutnya yang selalu saja hampir keluar.
"Maaf." Seketika Mentari langsung menundukkan kepalanya. Ia memang tidak tahu apa yang sudah terjadi. Namun, dengan melihat keadaannya sekarang. Bisa ia pastikan kalau dirinya jatuh sakit dan Langit harus repot menjaganya.
Mendengarnya, Langit berdecak. "Gue nggak butuh maaf lo! Lo pikir maaf aja cukup gitu?!" Menarik dagu Mentari. Otomatis wajah gadis cantik itu langsung mendongak.
Tatapan keduanya bertemu. Mentari akui kalau pria yang selalu menyiksa dirinya ini begitu tampan bak titisan dewa. Sayang, sifat pria itu yang sangat bertolak dengan wajahnya yang sempurna. Begitulah anggapan seorang Mentari.
"Terpesona lo kan sama ketampanan gue!" ejak Langit.
Sontak semburat merah muncul begitu saja di wajah Mentari. Dirinya begitu malu telah tertangkap basah oleh seorang Langit.
Langit pun akhirnya melepaskan tangannya dari dagu gadis cantik itu. Mentari yang seperti ini, tanpa kacamata tebal dan rambut kepang duanya adalah dirinya yang asli. Ia hanya bisa bernampilan seperti itu di rumah saja. Jika di kampus ataupun keluar, dirinya harus mengenakan kacamata tebal dan bila perlu berkepang dua seperti yang selama ini dilakukan. Dan semua itu semata-mata karena ia yang menuruti perintah dari seorang Keysan Langit Pratama.
Mentari menebak alasan Langit menyuruhnya seperti itu supaya tidak ada orang yang mau dekat dengannya. Dan ternyata hal itu sangat berhasil.
Tidak ada yang mau berteman dengannya. Jangankan berteman, untuk dekat-dekat dengannya saja tidak ada yang sudi. Hanya satu orang yang selalu mencoba dekat dan menolongnya. Orang itu adalah Prince. Pria tampan yang memiliki kulit seputih susu dan terkenal cuek.
Jika mengingat Prince. Ia jadi teringat dengan kado yang sudah disiapkan sekian lama untuk pria itu. Mentari tahu kalau kemarin itu adalah ulang tahunnya. Ia bahkan diundang. Namun, tentu dirinya tidak akan pergi ke pesta.
Rencananya kadonya itu akan diberikan ketika kuliah nanti khususnya di rooftop kampus. Tempat yang menjadi favoritnya selama menjadi seorang Mahasiswi. Di sana juga, Prince selalu mendatanginya. Kalau ditanya apakah ia berteman dengan pria itu? Jawabannya adalah tidak. Mana berani Mentari mengganggap orang seperti Prince sebagai temannya.
Langit memperhatikan sosok gadis di depannya itu. Masih pucat, tetapi tak seperti tadi.
"Masakin gue!" Langit berujar tiba-tiba.
"Tidak ada penolakan!" lanjutnya.
Cacing-cacing diperutnya itu minta diisi. Dirinya hanya sarapan tadi pagi dan itu hanya sedikit. Jadi, wajarlah malam hari begini dirinya kelaparan.
"Baik," lirih Mentari hampir tidak terdengar.
"Tidak usah dilepas. Biar gue yang bantu bawain impus lo," kata Langit mencegah Mentari yang hendak melepas paksa selang infus.
Tentu Mentari dibuat terkejut dengan perkataan yang dilontarkan oleh Langit. Tumben, langit begini. Bukankah akan repot jika pria itu melakukannya? Kalau Langit membawakan infusnya itu tandanya pria itu akan menungguinya memasak.
"Ayo! Jangan bengong!" ketusnya.
Lagi-lagi hanya anggukan yang bisa seorang Mentari berikan.
Keduanya pun mulai melangkah untuk menuju ke dapur.
"Aneh! Tumben aku mau membantunya begini," batin Langit keheranan dengan dirinya sendiri.
"Alah, palingan aku nggak mau dia sampai pingsan lagi dan tidak jadi memasak," batinnya berusaha meyakinkan kalau yang dilakukannya ini adalah wajar.
Cukup lama akhirnya masakan tersaji di hadapan Langit. Hampir satu jam lamanya.
Namun, tumben pria itu tidak marah-marah karena Mentari yang begitu lambat masaknya.
Kali ini, Mentari memasakkan tumis udang kesukaan Langit. Untung, bahan di kulkas masih lengkap. Mentari sangat tahu apa yang disuka dan tidak disukai Langit. Buah laut menjadi makanan kesukaan seorang Langit. Sangat berbanding balik dengan Mamanya, Karina yang tidak menyukai makanan itu.
Mata Langit langsung berbinar melihat masakan yang terhidang di depannya itu. Tanpa ingin membuang waktu, ia langsung makan dengan lahapnya. Dirinya benar-benar kelaparan.
Mentari yang melihatnya tersenyum samar. Ia begitu senang karena Langit begitu menyukai masakan buatannya. Pria itu memang membencinya. Namun, mau dan tidak pernah mencemooh semua makanan yang ia masak.
Hanya dalam waktu sekejap. Langit sudah menghabiskan semuanya.
"Akhirnya, cacing sialan ini bisa tenang juga." Tanpa sadar Langit tersenyum.
Jelas Mentari melihatnya. Senyuman yang jarang sekali pria itu berikan kepadanya.
Karena makanannya sudah habis. Mentari berniat mengambil piring kotor itu. Ia akan mencucinya.
"Tidak usah! Lebih baik lo istirahat aja." Langit beranjak dari duduknya.
"Tapi_"
"Biar gue yang beresin."
"Jangan kegeeran lo ya. Gue gini karena nggak mau lo terus sakit."
Mentari tentu saja tahu akan hal itu. Semua yang dilakukan Langit kepadanya kali ini hanya tidak ingin kalau dirinya terus sakit. Karena besok, Mentari yakin kalau pria ini pasti menyuruhnya untuk pergi ke kampus.
Tidak boleh ada kata libur dalam kamus hidup Mentari jika pria itu berkuliah. Kalaupun pria itu libur, ia juga harus rela libur. Dirinya sudah seperti hewan peliharaan yang mengikuti semua kata Tuannya.
"Terima kasih," ujar Mentari tulus.
"Hmm." Memasang wajah datar.
"Lo harus sehat besok. Gue nggak mau libur lagi. Awas aja!" ancam Langit tidak main-main.
Bisa dikatakan kalau Langit sangat terobsesi dengan nilai sempurna. Hari ini saja, dirinya langsung menelepon para dosen yang bertugas untuk meminta izin. Ia meminta izin untuknya dan juga Mentari.
Mereka berada di kelas yang sama. Keduanya sama-sama berprestasi di kampus. Terlebih lagi Langit yang selalu mendapat IPK sempurna yaitu 4,0. Benar-benar luar biasa. Bukan hanya itu saja, Langit juga selalu menjadi perwakilan kampus.
Langit dimata orang-orang adalah paket komplit. Sudah tampan, tinggi, tajir, pintar, baik lagi. Langit hanya tidak baik kepada Mentari saja. Semua orang di kampus juga tahu.
Mereka semua tidak tahu kalau Mentari tinggal satu atap dengan Langit. Hanya orang-orang tertentu saja yang tahu.
"Kenapa belum tidur?" katanya dingin.
Mentari tersenyum kikuk. Bagaimana dirinya mau tidur coba jika Langit masih berada di sini.
Seolah tau kalau gadis berwajah pucat itu sedang kebingungan. Langit pun kembali berujar, "Gue akan tidur di sini mastiin lo. Sama yang gantiin impus juga."
"Apa?!" Mentari berteriak dalam hati. Pria di depannya itu sedang tidak bercanda kan? Jika pria itu berada di kamarnya? Bagaimana mungkin matanya ini bisa tertutup?
"Tidur sekarang!"
"I-ya."
Mentari pun dengan cepat membaringkan tubuhnya. Walau begitu berat untuk memejamkan matanya ini, dirinya terus memaksa.
Perintah seorang Langit tidak boleh ia bantah. Jika tidak, pria tampan itu tidak segan-segan untuk menyiksanya.
"Ya Tuhan. Semoga, esok hari aku masih bisa merasakan udara yang sejuk ini," kata Mentari dalam hati. Dengan Langit yang berada di kamarnya, sungguh membuat hatinya was-was. Was-was kalau pria itu akan melakukan hal gila semisal mencekik dirinya mungkin. Semoga saja semua itu hanya pikiran parnonya saja.